Di ruang kelas itu pak guru duduk di kursi depan Heni, muridnya untuk melanjutkan pelajaran. Kursi sebelah Heni kosong karena Tini, teman Heni tidak masuk sekolah karena sakit.
"Sampai mana tadi ?" - pak guru mencoba mengingat pertanyaan Heni.
"Warna kuning pak"- Heni menyahut.
Pak guru terdiam. Disekanya wajah dan tangannya dengan saputangan yang di keluarkan dari kantong saku celana untuk mengeringkan keringat. Sementara Heni menunggu dengan sabar. Dengan tangan lentiknya Heni mengipas-ipaskan daun bunga pemberian pak guru tadi untuk mengusir gerah di ruang kelas itu. Belum sepatah katapun keluar dari pak guru. Rasanya berat sekali untuk mengeluarkan kata-kata. Ruangan jadi hening. Hanya desah nafas mereka berdua saja terdengar samar. Pelan-pelan air mata pak guru meleleh.
"Maafkan nduk, aku susah menjelaskan warna kuning kepadamu" - suara pak guru sedikit bergertar, kadang tersendat. Karena kepekaan pendengaran saja Heni mengenal pak guru sedang menangis. Heni tercenung.
"Maaf kan pak, saya telah bikin bapak susah".
"Tidak, tidak. Aku senang mengajarimu apa saja semampuku. Hanya karena keterbatasanku kadang aku sedih, tidak bisa memberi sesuatu yang terbaik kepadmu. Aku tahu warna pelangi, warna daun, warna bunga, warna langit, warna binatang, warna rumah, warna jendela, semuanya indah. Dunia ini penuh warna. Aku pernah melihatnya. Karena kecelakaan petasan waktu remaja saja aku sekarang tidak bisa membedakan warna, seperti kamu. Kita sama-sama tuna netra" - suara pak guru datar.
"Iya pak, kita syukuri saja apa yang kita miliki sekarang. Barangkali Yang Maha Kuasa menciptakan indera pendengaran, perasaan dan penciuman kita melebihi dari pada orang normal" - sambut Heni, gadis tujuh belas tahun yang lagi tumbuh nanis, montok, yang karena keterbatasannya masih duduk di kelas empat SD.