Senjata ATACMS (Army Tactical Missile System) di Perang Ukraina-Rusia oleh Joe Biden.
Superioritas Udara Rusia telah dibuktikan dengan memborbardir akademi militer dan rumah sakit di wilayah Timur Tengah Ukraina di awal September 2024, mengakibatkan jatuhnya korban jiwa lebih dari 50 warga sipil serta 200 lainnya luka-luka. Rudal-rudal balistik Rusia tersebut merobek jantung gedung utama Institut Komunikasi Militer Poltava, menyebabkan luluh lantaknya bangunan utama dan gedung-gedung yang terletak di sekitarnya. Serangan-serangan udara lainnya juga terus dilancarkan di titik-titik target yang menyebar di berbagai kita melalui ruang udara Ukraina. Response dari Presiden Ukraina Volodomyr Zelensky adalah mendesak Gedung Putih agar tetap memberikan pasokan  rudal jelajah jarak jauh untuk membalas serangan Rusia. Dengan membawa rincian target-target utama  yang akan diserang.
 Keputusan strategis Presiden Joe Biden menjelang masa akhir pemerintahannya terkait konflik Ukraina-Rusia, telah memantik silang pendapat dan reaksi yang beragam dari para pemimpin dunia. Pemberian otorisasi pengoperasian rudal jelajah jarak jauh dengan tipe Balistik Taktis dengan kemampuan penembakan hingga 300 km. Kesepakatan ini menjadi kesepakatan politik  lethal' bagi kedaulatan dan jantung pertahanan negara Beruang Merah. Kebijakan ofensif  tersebut merupakan permintaan dari President Zalensky agar bisa merebut momentum dalam upaya memenangkan perang untuk mengembalikan teritorial Kursk dan memperkuat kekuatan artileri militer strategisnya. Dengan kemampuan mobilitas yang terintegrasi dengan HIMARS, flight ceiling balistik hingga ketinggian 50.000 feet, dan kecepatan rudal hingga 3 mach (3 kali kecepatan suara), tentu saja alutsista ini menjadi bahaya nyata bagi pemerintahan President Putun di Moskow.
2. Perubahan Radikal' Doktrin Pertahanan Nuklir Rusia.
Semenjak 'runtuh'nya Uni Soviet dan wilayah sebagian besar pecahannya dikuasai oleh Rusia, doktrin pertahanan dan disuasi nuklir negara tersebut telah mengalami beberapa evolusi atau perubahan dalam lebih dari satu dekade. Perubahan minor terjadi di tahun 2010 dan 2020. Namun, akibat dari keputusan politik luar negeri Presiden Biden di masa akhir pemerintahannya, berhasil memaksa Presiden Rusia Vladimir Putin membuat suatu keputusan revolusioner' penggunaan senjata berhulu ledak nuklir dalam mendukung kebijakan luar negerinya di percaturan politik dunia.
Sejarah mencatat keputusan krusial dimulai di awal era milenium. Dimana pengesahan doktrin disuasi nuklir yang terkenal dengan sebutan Dokumen 2010'. Dalam dogma pertahanan tersebut memberikan hak untuk menggunakan senjata nuklir dalam dua keadaan: "negara asing menggunakan nuklir atau senjata pemusnah massal jenis lain dilakukan untuk melawan [Rusia] dan (atau) sekutunya" dan situsi kontijensi jika terjadi agresi terhadap Federasi Rusia, selain menggunakan senjata nuklir tsb juga menggunakan senjata konvensional ketika eksistensi negara berada di bawah ancaman."
Perubahan lanjutan dilaksanakan pada tahun 2020, pemerintahan Moskow mengesahkan dokumen  "Tentang Prinsip-Prinsip Dasar Kebijakan Negara Federasi Rusia tentang Disuasi Nuklir." Legislasi ini menambahkan dua situasi yang ditetapkan pada tahun 2010 untuk pengaktifan senjata nuklir Rusia. Yaitu pengaktifan senjata dimulai ketika muncul peluncuran rudal balistik yang menyerang wilayah Federasi Rusia dan / atau sekutunya," atau serangan (mungkin dengan senjata konvensional) terhadap "situs-situs pemerintah atau militer Rusia yang penting di Federasi Rusia, yang jika diganggu atau diserang akan melemahkan aset atau respons dari kekuatan nuklirnya".
Setelah adanya keputusan dari Presiden Biden untuk memberikan bantuan rudal balistik jarak jauh di akhir tahun 2024, maka Pimpinan Kremlin memutuskan secara bulat dan radikal terhadap doktrin daya tangkal nuklirnya, point-point yang diubah adalah sebagai berikut : Pertama, Moskow akan mempertimbangkan "agresi terhadap Rusia oleh negara non-nuklir mana pun, tetapi dengan partisipasi atau dukungan negara nuklir" sebagai "serangan bersama" terhadap Rusia. Kedua, Rusia akan mempertimbangkan penggunaan senjata nuklir jika "menerima informasi yang dapat dipercaya tentang peluncuran besar-besaran senjata serangan udara dan ruang angkasa dan penyeberangannya di perbatasan negara Rusia," termasuk serangan oleh "pesawat strategis dan taktis, rudal jelajah, pesawat tak berawak, pesawat hipersonik, dan pesawat lainnya." Ketiga, Rusia akan memiliki "hak untuk menggunakan senjata nuklir jika terjadi agresi terhadap Rusia dan Belarus sebagai anggota Negara Kesatuan [Rusia-Belarus]," termasuk serangan yang dilakukan oleh musuh yang "menggunakan senjata konvensional dan menciptakan ancaman kritis terhadap kedaulatan Rusia beserta aliansi dekatnya". Menjadi suatu perhatian dan persepsi serius dari pemimpin Barat atau dunia, bahwa Rusia sedang bersiap untuk menyiapkan senjata nuklirnya untuk ditembakkan ke negara-negara yang dinilai sebagai ancaman atau musuh walaupun negara tersebut tidak memiliki kemampuan atau persenjataan nuklir sesuai doktrin awal.
3. Ketakutan Skenario Politik Global' kembali ke Dualisme Aliansi Militer Dunia.
Seperti sebuah Dj Vu ' kondisi perpolitikan geopolitik global saat ini memberikan sinyal atau riak seperti akan kembali ke era perang dingin (cold war). Yaitu suatu kondisi dimana negara-negara yang berkonflik membangun aliansi pertahanan atau militernya seperti halnya Blok Barat (NATO) dan Blok Timur (CSTO). Ciri khas dari persaingan tersebut meliputi perlombaan untuk mendapatkan kekuatan militer yang lebih unggul kemudian memicu era spionase teknologi militer, perang atas penyebaran ideologi, dan uji coba serta penggunaan senjata nuklir sebagai persenjataan untuk fungsi deterensi pertahanan negara.
Selama Perang Dingin, ancaman penggunaan senjata nuklir untuk dimulai saat Perang Korea (25 Juni 1950-27 Juli 1953), ketika Amerika Serikat melalui otorisasi Presiden Harry S. Truman berupaya untuk memberi sinyal' kepada Tiongkok dan Uni Soviet, dengan mengizinkan pengerahan komponen senjata nuklir ke Guam, meskipun ia melihat penggunaan senjata nuklir oleh negara adidaya menjadi pilihan terburuk untuk mengakhiri konflik.
Tak hanya itu, politik disuasi nuklir juga digunakan pada  saat ketegangan muncul pada tahun 1954-1955 di Selat Taiwan. Pemerintahan Beijing memberi otorisasi untuk membombardir pulau-pulau lepas pantai yang berbatasan dengan Pulau Formosa, dan Amerika Serikat berpikiran bahwa Beijing berencana untuk menyerang Taiwan. Presiden Mao Zedong sepertinya tidak memperhitungkan atau mengantisipasi cara bertindak Amerika Serikat yang membawa kapal induk bersenjata nuklir ke daerah tersebut atas perintah Eisenhower. Secara tegas presiden AS yang memberikan kemenangan kepada pihak Sekutu saat PD ke II mengatakan senjata nuklir dapat "digunakan sebagai peluru atau apa pun" jika perang pecah dengan negeri Tirai Bambu di perairan sekitar Taiwan.
Perang urat syaraf antara dua kekuatan nuklir dunia pun memuncak saat terjadi Krisis Rudal Nuklir Kuba di bulan Oktober 1962. Ancaman todongan senjata pemusnah massal' di halaman terluar teritorial Amerika Serikat atau sejauh sekitar 989 Nm dari Ibukota Washington D.C. Dengan operasi clandestine' Uni Soviet  memposisikan rudal balistik jarak menengah berhulu ledak nuklir di Kuba. Nikita Khrushchev berusaha meningkatkan posisi strategis Soviet dan menggunakan ancaman nuklir untuk melindungi Kuba dari invasi negeri Paman Sam. Situasi tersebut memaksa Presiden Kennedy untuk mendeploy pasukan strategis AS dalam status siaga DEFCON 2, selangkah lagi menuju status darurat perang. Baik Kennedy maupun Khrushchev sebenarnya tidak menginginkan perang, tetapi politik disuasi nuklir tetap menjadi opsi terburuk namun efisien' untuk memaksalan kehendak politik suatu bangsa di kawasan.
Menilik dari catatan sejarah di atas, kemungkinan seburuk apapun bisa terjadi dan bersifat fluktuatif. Kejatuhan rezim Bashar Al Ashad tanpa perlawanan yang berarti di tangan pemberontak yang mendapat dukungan negara Barat, peningkatan eskalasi perang Timur Tengah yang melibatkan Libanon, Iran dan Milisi Yaman Houti juga semakin memperkuat kohesi ideologi masing-masing negara yang terlibat konflik. Ditambah berdasar laporan intelijen, guna mendukung kebijakan politik Rusia atas Ukraina, Korea Utara mengirimkan pasukannya sekitar 10.000 personel di wilayah Oblast, Ukraina untuk memperkuat pertahanan militernya.