Mohon tunggu...
Sun-Shines
Sun-Shines Mohon Tunggu... -

You Can Not Manage What You Can Not Measure

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kegagalan Pencapaian Target Penerimaan Pajak Mengancam Nawacita

14 Maret 2016   14:17 Diperbarui: 14 Maret 2016   14:47 4592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tax ratio Indonesia masih jauh di bawah negara G-20 lainnya seperti Australia, Unites Kingdom (UK), Perancis, dan Turki yang telah menembus diatas 25 persen, bahkan berada di bawah rata-rata tax ratio negara Asean dan negara-negara Sub Sahara Afrika. International Monetary Fund (IMF) memperkirakan bahwa tax ratio Indonesia seharusnya 21,5 persen.

Mengapa tax ratio Indonesia masih rendah, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara miskin di Afrika? Pertanyaan ini membutuhkan jawaban panjang, karena permasalahan yang ada sangat kompleks. Sejatinya,tax ratio dapat dipergunakan sebagai sebuah indikasi untuk melihat besarnya beban pajak (tax burden) yang harus ditanggung oleh masyarakat dan/atau pelaku usaha. Oleh karena itu,  pemerintah tidak mau mengajukan angka tax ratio yang terlalu tinggi karena khawatir akan menambah beban finansial yang harus ditanggung oleh masyarakat, yang selanjutnya akan mengganggu pertumbuhan ekonomi serta iklim usaha.

Ditjen Pajak sendiri sudah mengupayakan untuk meningkatkan tax ratio ini, karena memang Tax Gap di Indonesia masih cukup besar. Salah satu upayanya adalah melalui ekstensifikasi. Dengan ekstensifikasi, Ditjen Pajak berupaya keras untuk meningkatkan jumlah Wajib Pajak, memperluas basis pajak. Hal ini mengingat bahwa jumlah masyarakat dan/atau pelaku usaha yang sudah memenuhi syarat menjadi Wajib Pajak namun belum mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) jumlahnya tidak sedikit.  Mereka memilih untuk bersembunyi dengan cara tidak mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak, agar terhindar dari kewajiban membayar pajak.

Bulan Januari lalu,Dirjen Pajak‎ Ken Dwijugiasteadi yang saat itu masih menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) mengatakan, "Data statistik kita menunjukkan orang kelas menengah di Indonesia dengan belanja Rp 100.000-Rp 200.000 per hari mencapai 129 juta‎. Nah, WP Orang Pribadi yang tercatat hanya 27 juta orang".

Pernyataan  Dirjen  Pajak tersebut merupakan  sinyalemen kuat bahwa masih banyak Wajib Pajak yang belum memenuhi kewajiban perpajakannya. Jika data potensi yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) itu dapat segera ditindak lanjuti, maka target tax ratio sebesar 13,25 persen, atau bahkan lebih dari itu, bukanlah sesuatu yang mustahil. Masalahnya adalah, dengan desain dan konstruksi yang dimiliki oleh Ditjen Pajak saat ini, berapa banyak yang dapat ditindaklanjuti segera?

Selain ekstensifikasi, Ditjen Pajak juga melakukan intensifikasi, atau meningkatkan jumlah pembayaran pajak dari masyarakat dan pelaku usaha yang sudah memiliki NPWP. Hal ini tentu butuh upaya yang luar biasa ekstra, mengingat tidak sedikit jumlah Wajib Pajak yang melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion) dengan modus yang bermacam-macam.  

Dengan kemungkinan adanya tax avoidance maupun tax evasion, maka tak pelak lagi bahwa Surat Pemberitahuan (SPT) yang dilaporkan oleh Wajib Pajak seringkali tidak sesuai dengan kenyataan riil. Sebagai contoh, SPT dengan status Nihil atau status Kurang Bayar yang tidak lebih dari Rp 25.000 setiap bulan acapkali digunakan Wajib Pajak untuk menyembunyikan potensi pajak riil yang cukup besar, jauh di atas yang dilaporkan di dalam SPT. Dengan kata lain, tingginya angka kepatuhan pelaporan SPT, tidak berbanding lurus dengan tingkat kepatuhan pembayaran pajak. Modus ini luar biasa banyak pelakunya dan cukup efektif menggerogoti tax ratio. Untuk menurunkan perilaku ini diperlukan penindakan yang cepat dan massive, dan untuk mensukseskannya diperlukan kemampuan dan kewenangan yang memadai.

Fokus Pada Tugas Utama

Saat ini, jumlah pegawai Ditjen Pajak sudah lebih dari 35.000 orang. Dengan jumlah sebesar itu, tentu bukan perkara sulit untuk mengoptimalkan kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi. Namun jika design dan konstruksi organisasinya tidak dibangun untuk fokus ke masalah itu, maka jumlah pegawai sebesar itu tidak akan mendatangkan hasil optimal. Belum lagi jika kompetensi pegawainya banyak yang kurang memenuhi kualifikasi, tentu hal ini menjadi persoalan tersendiri yang tidak mudah untuk bisa segera diselesaikan, mengingat status pegawai Ditjen Pajak adalah Aparat Sipil Negara (ASN).

Jika diperhatikan, dalam satu atau dua bulan belakangan initerlihat bahwa fokus Ditjen Pajak adalah mengejar target pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi melalui e-Filing (internet). Hal ini cukup paradoks, karena pelaporan SPT adalah kewajiban Wajib Pajak, bukan kewajiban utama Ditjen Pajak. Kegiatan mengejar target kepatuhan pelaporan SPT ini jelas menguras energi Ditjen Pajakyang tidak sedikit, yang pada akhirnya akan menurunkan fokus Ditjen Pajak dalam upayanya mengamankan penerimaan. Apalagi mengingat bahwa pengetahuan masyarakat Indonesia terhadap internet masih belum bagus dan akses internet di Indonesia-pun belum merata. Indonesia bukan seperti Korea yang menyediakan akses internet dimana- mana(termasuk di dalam kereta bawah tanah!), mensubsidi akses internet bagi kaum miskin, orang tua dan penyandang cacat, dan bahkan belum lama ini memasang internet satu gigabyte per detik di setiap rumah tangga (= 200x lebih cepat dari rata-rata koneksi internet di USA)!

Kesuksesan Nawacita Tergantung Penerimaan Pajak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun