Terkadang teori belajar terasa baru bagi sebagian mereka yang baru saja melanjutkan studi pada pendidikan strata satu (S1) pada setiap perguruan tinggi pendidikan. Lebih khusus yang mengambil program studi pendidikan keguruan. Lalu pertanyaannya, apakah teori belajar itu? adapun rasa ingin tahu yang tinggi itu menyebabkan mereka lalu bertanya ketika tatap muka dengan dosen di kampus atau dalam pembelajaran e-learning (blended learning).
Sesungguhnya, teori belajar secara sadar dan tidak sadar hal itu telah berlangsung dan kita mengalaminya sejak kita berada di sekolah, mulai dari sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas. Artinya kita sejak sekolah sesungguhnya kita telah mengalami teori belajar dalam membangun rangkaian kompetensi yang menurut Bloom kompetensi dibagi menjadi tiga yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.
Agar lebih muda untuk memahami teori belajar maka selanjutnya akan disinergikan atau melihat relevansi antar teori belajar tanpa harus melihat perbedaan padangan para ahli pada setiap teori belajar tersebut.
Kita memulainya dengan sebuah pertanyaan mendasar "Apa itu Belajar?". Sudah barang tentu kita mememiliki jawaban yang bermacam-macam. Namun esensi belajar lebih menekankan pada pencapaian tujuan hidup melalui pengalaman (interaksi) yang mampu mengubah pola pikir dan perilaku sepanjang hidupnya. Sebagai contoh ada seorang anak usia SD bercita-cita ingin menjadi guru maka niat atau minat tersebut akan memengaruhi cara belajar di sekolah dan di luar sekolah. Jika sebelumnya anak itu malas belajar akan mejadi semangat belajar, jika sebelumnya anak itu kurang pandai berbicara di depan kelas maka dia akan menyususun rencana latihan berkomunikasi di depan kelas sampai hal itu dapat dicapainya.
Baca juga: Pendekatan Objektivisme, Behaviorisme, dan Kognitivisme dalam Pembelajaran di Kelas
Teori belajar telah dikemukakan olah para ahli. Menurut Baharudin & Wahyuni (2015:15) belajar dapat membawa perubahan bagi si pelaku, baik perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Selanjutnya Cronbach dalam Baharudin & Wahyuni (2015: 16) berpendapat bahwa "learning is shown by change in behavior as result of experience".Â
Intinya pengalaman sebagai sarana perubahan perilaku. Hal yang sama dikemukakan Morgan dkk (1986) dalam memberi konsep belajar yaitu pengalaman mengakibatkan adanya perubahan tingkah laku dan hal itu relatif tetap. Agar dapat memahami teori-teori di atas maka perhatikanlah contoh berikut ini.Â
Seorang anak pada awalnya belum memiliki kemampuan mengoperasikan komputer di rumahnya, kemudian si anak itu meminta untuk diajari mengoperasikan komputer. Setelah melalui proses latihan maka anak itu menjadi tahu cara mengoperasikan komputer dan menjadi ahli komputer ketika sudah dewasa.
Setiap melakukan proses belajar khuususnya yang terjadi di sekolah maka terdapat aliran-aliran belajar yang memengaruhi proses belajar. Seperti aliran behaviorsme, kognitivisme, dan konstruktvisme. Aliran-aliran belajar ini dikemukakan oleh ahli yang berbeda-beda dengan perbedaan padangan terhadap belajar. Namun alangkah baiknya kita tidak memperdebatkan perbedaan yang ada melainkan mencari dan menemukan relevansi antar teori belajar hingga membentuk suatu konsep belajar yang komprehensif (utuh).
Pavlov memandang bahwa belajar didasarkan pada stimulus dan respon. Artinya akan ada respon ketika subjek merasa ada rangsangan dari lingkungan sekitarnya. Hal itu dibuktikan dalam percobaanya terhadap seekor anjing. Respon yang diberikan bisa terjadi secara alami tanpa latihan (unresponse conditioning) dan respon bisa terjadi secara sengaja atau latihan (conditioning stimulus).Â
Oleh Pavlov dinamai teori classical conditioning dan menghasilkan hokum belajar yaitu pemerolehan, pemadaman, generalisasi, diskriminasi, dan kondisioning tandingan. Teori yang ditemukan Pavlov memberikan gambaran yang jelas bahwa siswa sebagai subjek dalam pembelajaran memerlukan ruang alami dan ruang yang dikondisikan sebagai sarana (objek) dalam memahami lingkungan sekitar.
Terdapat pula penelitian lainnya yang mengamati perilaku human organisme. Throndike dalam eksperimennya yang terinspirasi atas eksperimen Pavlov menemukan teori yang menguatkan teori belajar dalam aliran behavior. Throndike melakukan eksperimen terhadap seekor kucing dalam keadaan lapar yang dimasukan ke dalam sebuah kotak transparan. Kotak tersebut akan terbuka bila kucing menyentuh tombol bel yang sudah disiapkan di dalam kotak.Â
Sedangkan daging ditempatkan di luar kotak. Hasil eksperimen tersebut menunjukan bahwa dimulai dari proses coba-coba (trial and eror) hingga menjadi sebuah konsep dan dilakukan ketika kucing tersebut akan keluar dari kotak hanya dengan sekali gerak. Throndike menemukan hubungan stimulus respon (S-R) melalui prosedur yang aparatus yang sistematis (Fudyartanto dalam bukunya Baharudin & Wahyuni). Hasil eksperimen tersebut oleh Throndike menghasilkan hukum belajar yaitu hukum kesiapan (Law of Readiness), hukum latihan (Law of Exercise), dan selanjutnya hukum efek (Law Effect) atas protes orang Amerika kala itu.Â
Dari teori Throndike ini memberikan padangan adanya hubungan stimulus-respon terhadap proses belajar siswa di kelas. Ditekankan bahwa ketika siswa memulai dengan aksi coba-coba maka siswa akan memberi makna terhadap aktivitasnya (objek) jika berdasarkan pengalamannya bahwa aktivitas tersebut merugikan maka perlahan siswa akan tidak melakukan aktivitas tersebut. Namun sebaliknya jika aktivitas itu mendatangkan keuntungan maka besar peluang untuk melakukannya secara terus menerus.
Berdasarkan aliran behaviorisme yang dikemukakan Pavlov dan Throndike semakin menguatkan persepsi kita (guru) dalam memandang kebutuhan belajar siswa. Siswa memerlukan ruang yang cukup sebagai sarana belajar yang dilengkapi dengan serangkaian rangsangan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Siswa dalam pandangan sebagai subjek belajar diberi kesempatan untuk mengalami sendiri melalui respon coba-coba hingga mengkonstruk konsep sendiri berdasarkan pengalaman yang diterima.
Ketika seorang guru mencermati dengan benar padangan para ahli pada aliran behaviorisme maka terdapat hubungan yang esensial antara pandangan para ahli behavior dengan pandangan para ahli kognitif. Agar dapat menambah wawasan kita sebagai guru maka dirasa perlu mendalami konsep belajar menurut aliran kognitivisme.
Baca juga: Eksperimen Teori Belajar Behaviorisme Menurut Ivan Patrovich Pavlov Pada Hewan Peliharaan
Piaget seorang tokoh kognitif yang telah banyak dijadikan rujukan oleh kaum akademisi terutama dalam memahami aspek kognitif. Piaget mamandang siswa (subjek) pebelajar yang memerlukan manipulasi dan adanya interaksi antara siswa dengan lingkungannya (Trianto, 2008: 41). Ditenkankan bahwa mental dilibatkan dalam proses belajar sehingga siswa mampu mencapai, mengingat, serta menggunakan pengetahuan (Baharudin & Wahyuni, 2015: 126). Artinya pada aliran kognitivisme ini melibatkan aspek-aspek mental dalam pembelajaran sebagai syarat untuk mengkonstruk pengetahuan berdasarkan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi tersebut dimaknai sebagai proses berpikir, memahami, dan mengetahui.
Hal itu menurut Piaget setiap individu pada saat lahir sampai dengan dewasa dibagi ke dalam empat tahap perkembangan kognitif. Tahap-tahap perkembangan tersebut yaitu sensorimotor (lahir sampai usia dua tahun), praoperasional (dua sampai tujuh tahun), operasional kongkret (tujuh sampai sebelas tahun), dan operasi formal (sebelas tahun sampai dewasa) (Trianto, 2008: 42). Mempelajari tahapan-tahapan tersebut sesungguhnya dapat dimaknai sebagai suatu perubahan yang didasarkan pada pertumbuhan dan perkembangan.Â
Mental seseorang cenderung akan mengikuti proses pertumbuhan fisik yang dialaminya dan sebaliknya proses pertumbuhan fisik akan memengaruhi mental seseorang. Kendati adanya perbedaan antara pertumbuhan dan perkembangan. Akan tetapi pertumbuhan dan perkembangan yang dialami human organisme sejak lahir sampai dewasa memiliki hubungan yang saling memengaruhi. Contohnya, siswa yang memiliki ukuran tubuh tinggi cenderung lebih menguasai siswa yang memiliki ukuran tubuh kecil.Â
Hal itu berkaitan dengan mental yang merupakan unsur perkembangan. Atau contoh lainnya yaitu ketika masih kecil siswa belum memiliki rasa tertarik terhadap lawan jenis tetapi hal itu akan berubah ketika siswa sudah bertumbuh menjadi seorang remaja makan akan muncul rasa tertarik terhadap lawan jenisnya.
Paparan di atas sudah seharusnya menjadi landasan yang kuat bagi guru ketika mengajar di sekolah. Siswa memerlukan interaksi dengan objek belajarnya sehingga informasi yang diterima dari sumbernya dapat dikelola melalui proses berpikir, memahami, hingga mengetahui apa yang dipelajarinya. Dalam hal ini disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan kognitif siswa. Hasil belajar tersebut tentunya akan membentuk sebuah konsep yang akan memengaruhi perilaku siswa terhadap setiap situasi tertentu.
Teori kognitif ini disampaikan juga oleh Kohler. Hal itu diperkuat dengan penelitian yang dilakukannya terhadap seekor simpanse yang diberi nama Sultan. Dalam penelitiannya Sultan (Simpanse) dimasukan ke dalam sangkar yang tentunya luas dan lebih tinggi dari ukuran tinggi simpanse.Â
Terdapat empat kali percobaan untuk memahami aspek kognitif simpanse. Dari hasil eksperimennya tersebut menghasilkan sebuah paradigma baru dalam aliran kognitivisme yaitu proses belajar didasarkan pada pemahaman (insight). Dengan kata lain bahwa aktivitas memahami suatu objek merupakan syarat dalam mengembangkan kemampuan intelektualnya. Memahami suatu objek melalui proses berpikir, memahami dan mengetahui.
Apa yang ditemukan Kohler sejalan teori kognitif yang disampaikan Piaget bahwa untuk memahami sebuah situasi tertentu (objek) maka terdapat tiga tahapan dalam skema kognitif setiap individu yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Singkatnya asimilasi adalah proses penerimaan dan proses pengitegrasian informasi yang diperoleh dengan pengalaman yang sudah ada sebelumnya. Sedangkan akomodasi adalah proses penyediaan ruang kreasi kognitif untuk mencocokan informasi yang sudah terskemakan dengan informasi yang baru diperoleh melalui objek yang diamati.Â
Sementara ekuilibrasi adalah penyeimbangan antara proses asimiliasi dan akomodasi dalam skemata kognitif seseorang. Jadi hal ini jelas memberi padangan yang luar biasa mendalam tentang peran guru sebagai fasilitator pembelajaran hendaknya menekankan aspek pemahaman terhadap objek yang dikaji siswa. Di sini objek bisa menjadi peransang aktivitas siswa tetapi juga objek bisa menjadi mental berupa motivasi diri untuk mempelajari bahan kajian yang diberikan.
Proses belajar dipandang perlu maka peneliti seperti Jean Piaget dan Vygotsky sebagai pelopor konsep belajar konstruktivisme. Aliran kontruktivisme merupakan aliran yang mengakomodasi teori belajar menurut pandangan behavior, kognitif, dan psikologi sosial.Â
Hal itu dikemukakan Baharudin & Wahyuni (2015: 163) bahwa konstruktivisme merupakan perpaduan teori belajar yang sudah ada sebelumnya sebagai jalan untuk membangun pengetahuannya sendiri. Artinya siswa diberi kesempatan untuk mengkonstruk pengetahuannya sendiri berdasarkan apa yang diamati dan dipelajari. Siswa dipandang sebagai makhluk yang telah memiliki pengalaman-pengalaman pada awalnya.Â
Sehingga informasi yang diterima oleh indera diproses dalam skema kognitif untuk membentuk sebuah konsep terkait objek yang dipelajari. Untuk mewujudkan hal itu maka siswa perlu aktif dalam pembelajaran. Hal itu ditegaskan Slavin bahwa dalam melaksanakan pembelajaran guru hanya sebagai fasilitator sedangkan siswa harus aktif selama proses pembelajaran berlangsung.
Baca juga: Hubungan Aliran Behaviorisme dengan Pemikiran Filsafat Positivisme
Guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran sudah selayaknya tidak lagi berceramah di depan kelas melainkan memberi kesempatan dan akses yang mumpuni bagi siswa untuk memproses dan menemukan serta mengkonstruk pengetahuannya sendiri. Dalam mewujudkan hal itu maka perlu pula guru memperhatikan aspek sosial.Â
Vygotsky membagi proses belajar menjadi dua elemen yaitu belajar secara biologi dan belajar sebagai psikososial. Artinya siswa mempelajari segala sesuatu dengan menggunakan serangkaian kompetensi yang dimiliki untuk mengelola dan mengkosntruk pengetahuannya. Pengetahuan yang telah berhasil dikonstruk kemudian akan lebih berkembang ketika siswa melakukan interaksi dengan lingkungan sosial budayanya Baharudin & Wahyuni (2015: 174).
Berdasarkan paparan teori-teori belajar tersebut maka kita dapat mensinergikan teori-teori belajar tersebut menjadi sebuah landasan yang kuat dalam menambah khasanah pengetahuan kita dalam melaksankan pembelajaran. Jadi guru sebagai perencana, pelaksana, dan penilai hasil belajar sudah seyogyanya memiliki serangkaian pengetahuan tentang aliran-aliran konsep belajar sehingga mampu membimbing siswa dalam rangka pengembangan potensi diri lebih baik lagi.
Rujukan:
- Baharudin, H., & Wahyuni N, E. 2015. Teori Belajar & Pembelajaran. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA
- Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual (Contekstual Teaching and Learning) di Kelas. Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H