Mohon tunggu...
Fridolin VrosansenBorolla
Fridolin VrosansenBorolla Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar & Peneliti

Tidak ada yang tak mungkin melainkan mungkin bagi segala sesuatu dalam kerja keras.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sinergitas Teori Belajar (Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme)

27 Agustus 2019   14:22 Diperbarui: 25 Juni 2021   08:00 5475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sinergitas Teori Belajar (Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme) | haibunda.com

Terdapat pula penelitian lainnya yang mengamati perilaku human organisme. Throndike dalam eksperimennya yang terinspirasi atas eksperimen Pavlov menemukan teori yang menguatkan teori belajar dalam aliran behavior. Throndike melakukan eksperimen terhadap seekor kucing dalam keadaan lapar yang dimasukan ke dalam sebuah kotak transparan. Kotak tersebut akan terbuka bila kucing menyentuh tombol bel yang sudah disiapkan di dalam kotak. 

Sedangkan daging ditempatkan di luar kotak. Hasil eksperimen tersebut menunjukan bahwa dimulai dari proses coba-coba (trial and eror) hingga menjadi sebuah konsep dan dilakukan ketika kucing tersebut akan keluar dari kotak hanya dengan sekali gerak. Throndike menemukan hubungan stimulus respon (S-R) melalui prosedur yang aparatus yang sistematis (Fudyartanto dalam bukunya Baharudin & Wahyuni). Hasil eksperimen tersebut oleh Throndike menghasilkan hukum belajar yaitu hukum kesiapan (Law of Readiness), hukum latihan (Law of Exercise), dan selanjutnya hukum efek (Law Effect) atas protes orang Amerika kala itu. 

Dari teori Throndike ini memberikan padangan adanya hubungan stimulus-respon terhadap proses belajar siswa di kelas. Ditekankan bahwa ketika siswa memulai dengan aksi coba-coba maka siswa akan memberi makna terhadap aktivitasnya (objek) jika berdasarkan pengalamannya bahwa aktivitas tersebut merugikan maka perlahan siswa akan tidak melakukan aktivitas tersebut. Namun sebaliknya jika aktivitas itu mendatangkan keuntungan maka besar peluang untuk melakukannya secara terus menerus.

Berdasarkan aliran behaviorisme yang dikemukakan Pavlov dan Throndike semakin menguatkan persepsi kita (guru) dalam memandang kebutuhan belajar siswa. Siswa memerlukan ruang yang cukup sebagai sarana belajar yang dilengkapi dengan serangkaian rangsangan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Siswa dalam pandangan sebagai subjek belajar diberi kesempatan untuk mengalami sendiri melalui respon coba-coba hingga mengkonstruk konsep sendiri berdasarkan pengalaman yang diterima.

Ketika seorang guru mencermati dengan benar padangan para ahli pada aliran behaviorisme maka terdapat hubungan yang esensial antara pandangan para ahli behavior dengan pandangan para ahli kognitif. Agar dapat menambah wawasan kita sebagai guru maka dirasa perlu mendalami konsep belajar menurut aliran kognitivisme.

Baca juga: Eksperimen Teori Belajar Behaviorisme Menurut Ivan Patrovich Pavlov Pada Hewan Peliharaan

Piaget seorang tokoh kognitif yang telah banyak dijadikan rujukan oleh kaum akademisi terutama dalam memahami aspek kognitif. Piaget mamandang siswa (subjek) pebelajar yang memerlukan manipulasi dan adanya interaksi antara siswa dengan lingkungannya (Trianto, 2008: 41). Ditenkankan bahwa mental dilibatkan dalam proses belajar sehingga siswa mampu mencapai, mengingat, serta menggunakan pengetahuan (Baharudin & Wahyuni, 2015: 126). Artinya pada aliran kognitivisme ini melibatkan aspek-aspek mental dalam pembelajaran sebagai syarat untuk mengkonstruk pengetahuan berdasarkan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi tersebut dimaknai sebagai proses berpikir, memahami, dan mengetahui.

Hal itu menurut Piaget setiap individu pada saat lahir sampai dengan dewasa dibagi ke dalam empat tahap perkembangan kognitif. Tahap-tahap perkembangan tersebut yaitu sensorimotor (lahir sampai usia dua tahun), praoperasional (dua sampai tujuh tahun), operasional kongkret (tujuh sampai sebelas tahun), dan operasi formal (sebelas tahun sampai dewasa) (Trianto, 2008: 42). Mempelajari tahapan-tahapan tersebut sesungguhnya dapat dimaknai sebagai suatu perubahan yang didasarkan pada pertumbuhan dan perkembangan. 

Mental seseorang cenderung akan mengikuti proses pertumbuhan fisik yang dialaminya dan sebaliknya proses pertumbuhan fisik akan memengaruhi mental seseorang. Kendati adanya perbedaan antara pertumbuhan dan perkembangan. Akan tetapi pertumbuhan dan perkembangan yang dialami human organisme sejak lahir sampai dewasa memiliki hubungan yang saling memengaruhi. Contohnya, siswa yang memiliki ukuran tubuh tinggi cenderung lebih menguasai siswa yang memiliki ukuran tubuh kecil. 

Hal itu berkaitan dengan mental yang merupakan unsur perkembangan. Atau contoh lainnya yaitu ketika masih kecil siswa belum memiliki rasa tertarik terhadap lawan jenis tetapi hal itu akan berubah ketika siswa sudah bertumbuh menjadi seorang remaja makan akan muncul rasa tertarik terhadap lawan jenisnya.

Paparan di atas sudah seharusnya menjadi landasan yang kuat bagi guru ketika mengajar di sekolah. Siswa memerlukan interaksi dengan objek belajarnya sehingga informasi yang diterima dari sumbernya dapat dikelola melalui proses berpikir, memahami, hingga mengetahui apa yang dipelajarinya. Dalam hal ini disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan kognitif siswa. Hasil belajar tersebut tentunya akan membentuk sebuah konsep yang akan memengaruhi perilaku siswa terhadap setiap situasi tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun