Mohon tunggu...
Sunnatul Muhammadah
Sunnatul Muhammadah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya mahasiswa prodi Bimbingan dan Konseling Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Konseling Multikultural untuk Mencegah Culture Shock Pada Mahasiswa Luar Daerah

6 Juni 2024   11:24 Diperbarui: 6 Juni 2024   11:43 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konseling Multikultural memiliki tujuan akhir yang sama dengan konseling pada umumnya, yaitu membantu klien agar dirinya sendiri mampu meraih tujuan optimal sesuai potensi dan minatnya sendiri. Namun secara spesifik, menurut Nuzliah konseling multikultura memiliki beberapa tujuan, yaitu untuk membantu klien agar mampu mengembangkan potensi-potensi yang di miliki untuk memberdayakan diri secara optimal, membantu klien multikultural agar mampu memecahkan masalah yang dihadapi, mengadakan penyesuaian diri, sert merasakan kebahagiaan hidup sesuai dengan budayanya, membantu klien agar dapat hidup bersama dalam masyarakat multikultural dan memperkenalkan kepada klien akan nilai-nilai budaya lain untuk dijadikan referensi dalam membuat perancanaan, pilihan, keputusan hidup kedepan yang lebih baik.

Culture Shock

Culture shock adalah tekanan dan kecemasan yang dialami oleh individu ketika mereka pergi ke suatu sosial dan budaya yang baru. Culture Shock dapat terjadi dalam lingkungan yang berbeda, mungkin ini dialami oleh individu yang mengalami perpindahan dari satu daerah ke daerah lainnya dalam negerinya sendiri sampai individu yang berpindah ke negeri lain.

Menurut Ward Culture Shock adalah suatu reaksi individu tersebut merasa, berperilaku, dan berpikiran ketika menghadapi perubahan saat berada di lingkungan yang tidak familiar. Edward Hall mendefinisikan Culture Shock adalah gangguan pada individu ketika segala hal yang biasa dihadapi ketika di tempat asal menjadi sama sekali berbeda dengan hal-hal yang dihadapi di tempat yang baru dan asing. 

Sementara Furnham dan Bochner mengatakan bahwa Culture Shock adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaankebiasaan sosial dari kultur baru atau jika ia mengenalnya maka ia tak dapat atau tidak bersedia menampilkan perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan itu.

Menurut Devinta ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya culture shock yaitu sebagai berikut:

1. Faktor internal

Penyebab terjadinya culture shock pada diri individu merupakan pengaruh dari dalam diri individu itu ssendiri, seperti kemampuan bersosialisasi, keterampilan berkomunikasi, pengalaman yang dimiliki dalam lingkungan lintas budaya, serta kemandirian ketika berada jauh dari keluarga sebagai orang-orang yang berperan penting dalam memberikan dukungan dalam hidupnya. Pada umumnya, individu yang sebelumnya belum pernah memiliki pengalaman merantau akan lebih mudah mengalami culture shock. Selain itu, kurangnya informasi faktual yang diperoleh mengenai lingkungannya yang baru juga akanmenyebabkan individu lebih rentan terkena culture shock. Hal ini disebabkan karena individu belum siap memahami pola kebiasaan dan budaya baru yang ada di perantauan, dan kemudian dapat menyebabkan ketidak nyamanan secara luas.

2. Faktor eksternal

Culture shock dapat terjadi lebih cepat apabila budaya yang baru semakin berbeda dengan budaya dari tempat asalnya, perbedaan tersebut meliputi:

a. Bahasa

Bahasa merupakan salah satu hambatan terbesar bagi individu yang sedang merantau. Sebagian besar individu tidak menguasai atau bahkan sama sekali tidak mengerti bahasa daerah di lingkungan yang baru. Oleh karenanya, hal ini dapat memicu terjadinya culture shock.

b. Adat istiadat

Setiap daerah memiliki berbagai macam tradisi, yang mana tradisi antar daerah cenderung berbeda dan mempunyai ciri khas masing-masing. Oleh karenanya, individu yang merantau dituntut untuk mampu beradaptasi dengan adat istiadat yang berlaku di lingkungannya yang baru. Akan tetapi, bukan hal yang mudah bagi perantau untuk beradaptasi dengan adat istiadat di lingkungan sekitar.

c. Pergaulan

Ketika berada di tempat yang baru individu cenderung merasa takut akan adanya perbedaan pergaulan. Rasa takut ini dapat menjadikan individu merasa asing ketika dihadapkan oleh situasi yang baru, tempat tinggal yang baru serta suasana yang baru. Hal ini dapat berpotensi timbulnya suatu kecenderungan pada individu untuk memilih hanya berinteraksi dengan kelompok yang memiliki latar kebudayaan yang sama dengannya.

d. Pola, jenis, rasa, serta porsi makan

Pola, jenis, rasa hingga porsi makan individu sangat berkaitan erat dengan culture atau budaya dimana ia tinggal dan sudah melekat pada diri individu. Oleh karenanya, individu yang merantau akan mengalami kekagetan dalam hal ini yang kemudian merujuk pada penyebab terjadinya culture shock.

e. Pendidikan

Di era yang semakin maju ini, pendidikan berkembang sangat pesat, masyarakat di tuntut untuk dapat mengikuti perkembangan pendidikan agar mampu bersaing di dunia global. Begitu pula dengan individu perantau, ia dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan pendidikan serta mampu menerapkannya di kehidupannya. Akan tetapi, individu perantau cenderung merasa cemas dan takut tidak bisa mengikuti perkembangan pendidikan di lingkungan yang baru.

f. Agama

Salah satu hal yang dianggap dapat menghambat usaha individu dalam menyesuaikan diri di lingkungan yang baru adalah agama, namun dengan skala yang sangat kecil. Individu perantau mengalami ketakutan terhadap adanya perbedaan agama yang sangat rentan dan tidak dapat disatukan dengan mudah.

Mahasiswa Luar Daerah/Rantau

Mochtar Naim, menyatakan merantau merupakan tipekhusus dari migrasi dengan konotasibudaya tersendiri yaitu seorang individu yang datang dari luar daerah, meninggalkan kampung halaman atau tanah kelahiran untuk pergi merantauke kota, wilayah atau bahkan luar negeri, dengan kemauan sendiri, dalamkurun waktu tertentu/untuk jangkawaktu lama atau tidak biasanya dengan maksud kembali pulang, dan dengantujuan melanjutkan pendidikan kejenjang perguruan tinggi.10 Mahasiswa luar daerah yaitu mahasiswa yang berasal dari luar daerah yang sedang menjalani pendidikan tinggi di sebuah universitas atau perguruan tinggi yang mempunyai karakteristik sosial budaya yang berbeda dengan sosial budaya mereka.

KESIMPULAN

Culture shock adalah tekanan dan kecemasan yang dialami oleh individu ketika mereka pergi ke suatu sosial dan budaya yang baru. Culture Shock dapat terjadi dalam lingkungan yang berbeda, mungkin ini dialami oleh individu yang mengalami perpindahan dari satu daerah ke daerah lainnya. Mahasiswa luar daerah yaitu mahasiswa yang berasal dari luar daerah yang sedang menjalani pendidikan tinggi di sebuah universitas atau perguruan tinggi yang mempunyai karakteristik sosial budaya yang berbeda dengan sosial budaya mereka. Drai sini dapat diatasi dengan konseling multicultural, yang dimana konseling multicultural ialah ditujukan untuk membantu klien dalam mengembangkan diri atau menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan menggunakan pendekatan budaya yang dimilikinya. Hal ini dikarenakan setiap masalah yang dihadapi klien tidak semua dapat ditangani melalui pendekatan secara ilmiah dan memungkinkan untuk alternatif penyelesaiannya melalui pendekatan kebudayaan yang dimiliki oleh klien.

DAFTAR PUSTAKA

Adieb Ahmad. DAMPAK FENOMENA CULTURE SHOCK TERHADAP ADAPTASI SOSIAL- BUDAYA PADA MAHASISWA PERANTAUAN FITK UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA. 2222.

Elizar, Elizar. "Urgensi Konseling Multikultural Di Sekolah." Edukasi Lingua Sastra 16, no. 2 (2018)

Hadawiah, Hadawiah. "Fenomena (Gegar Budaya) Pada Mahasiswa Perantauan Di Universitas Muslim Indonesia." Al-MUNZIR 12, no. 1 (2019)

Niam, Erni Khoirun. "Koping Terhadap Stres Pada Mahasiswa Luar Jawa Yang Culture Shock Di Universitas Muhammadiyah." Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi11, no. 1 (2009)

Salmah, Indo. "Culture Shock Dan Strategi Coping Pada Mahasiswa Asing Program Darmasiswa." Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi 4, no. 4 (2016)

Sherlynda, Herlyn, Nur Kholifah, Revalina Rif'atut Tazkiyah, Selvy Fidyasari Ayu Feby Ana, Shafa Rachma Tertia, and Eni Nurhayati. "Eksistensi Penggunaan Bahasa Indonesia Di Kalangan Gen Z Di Kota Surabaya." Jurnal Multidisiplin West Science 2, no. 11 (2023)

Suwartini, S, and E B Wiranto. "Konseling Multikultural Sebagai Pendekatan Studi Terorisme." Jurnal Dakwah 22, no. 1 (2021) http://ejournal.uinsuka.ac.id/dakwah/jurnaldakwah/article/view/2074.

Umam, Rois Nafi'ul. "Pendekatan Konseling Lintas Budaya Dalam Mengatasi Stigma Negatif Terhadap Kelompok Minoritas Gender Calabai." Egalita Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender 16, no. 2 (2021)

Zaini Miftach. "Hubungan Penyesuaian Diri Dan Efikasi Diri Dengan Culture Shock Pada Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Dan Dakwah IAIN Kediri Yang Berasal Dari Luar Jawa" 7, no. 1960 (2018) http://ejournal.uinsuka.ac.id/dakwah/jurnaldakwah/article/view/2074

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun