Akal merupakan organ fundamental manusia, sehingga menjadikannya makhluk paling mulia daripada yang lain. Dalam Al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang diakhiri kalimat apakah kamu tidak mempunyai akal, apakah kamu tidak berfikir dan lain sebagainya. Seperti dalam QS Al- Mu'minun: 80, QS Ash-Shaaffat: 137-138, QS Hud: 51, QS Al-'Anbiya: 63-67, dan QS Yasin 62. Â Hal ini menunjukan bahwa menggunakan akal dalam beragama mesti dilakukan oleh setiap muslim. Jika dalam ilmu tafsir maka ada salah satu metodologi yang berpatok pada akal yakni tafsir bira'yi.Â
Namun meskipun akal mempunyai kedudukan yang tinggi ia tetap harus berada dibawah naungan Al-Qur'an dan Sunnah. Karena terdapat beberapa aturan agama yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Dalam ilmu pasti yakni  matematika terdapat teorema yang menjelaskan bahwa ada suatu kebenaran yang tidak bisa dibuktikan. Seperti menganalisis tentang Tuhan maka sampai kapan pun tidak akan selesai. Tuhan yang bersifat logis namun irasional menjadi alasan adanya keimanan. Karena orang-orang yang hanya menuntut pada hal-hal rasional  saja sampai kapan pun ia akan menjadi seorang ateis. Oleh sebab itu, muncul stigma masyarakat tentang belajar filsafat sebagai cara untuk berfikir rasional, sistematis adalah jalan yang sesat. Karena dapat berimplikasi pada ketidakpercayaan terhadap adanya Tuhan. Â
Tuhan hanya bersifat logis yakni hal yang dapat diterima akal namun non empiris. Bukti logis adanya Tuhan dalam buku Kisah-kisah para wali disebutkan bahwa keteraturan alam semesta yang demikian luas dan tidak saling berbenturan menjadi salah satu bukti adanya Tuhan. Dan terdapat juga beberapa perspektif filsafat yang membenarkan adanya Tuhan.
1. Teleologis
Ketika manusia sedang terdesak dalam keadaan yang membahayakan nyawanya, mendapat pertolongan lahiriah pun pada saat itu sudah tidak bisa lagi diharapkan. Pasti terdapat sesuatu yang diharapkan akan mendatangkan pertolongan. Karena ini sudah menjadi fitrah manusia sebagai makhluk bergantung kepada yang lebih besar daripadanya. seperti kisah seorang skeptis dan Ash-Shoddiq Jafar yang berkomunikasi tentang eksistensi Tuhan.
Si Skeptis berkata :
"Jelaskanlah kepadaku keberadaan Allah dengan bukti-bukti yang berhubungan dengan diriku sekaligus ada kaitannya dengan keberadaan Allah, sehingga mampu meyakinkan kegundahan kalbuku saat ini."
Beliau menjawab:
"Pernahkah engkau berlayar di tengah samudera lalu kapalmu diterjang badai topan yang mengharu-biru sehingga terombang-ambing tak tentu arah?"
dia menjawab
"Ya, pernah"
Beliau berkata:
"Apakah saat itu engkau merasakan ketakutan yang teramat mencekam jiwamu?
"benar ya Syaik jawabnya"
"Apakah disaat-saat kritis itu, saat sudah tidak tampak sama sekali adanya pertolongan secara lahiriah, tetapi engkau tetap tidak putus asa, dan jauh di dalam lubuk jiwamu engkau merasakan ada sesuatu tempat engkau bergantung yang hisa menyelamatkanmu dari prahara yang mengerikan itu?
Benar wahai imam ja'far. Aku merasakan secercah harapan untuk selamat walaupun situasinya terlihat sudah nyaris tidak memungkinkan lagi untuk selamat."
"Nah, sesuatu yang engkau harapkan dan tempatmu menggantukan pertolongan ialah Allah. Kendati engkau tidak mampu mengenali-Nya secara langsung." Papar Imam Ja'far.
2. Ontologis.
Ontologis merupakan hasil dari filsuf Yunani yakni Plato (428-348 SM) yang diuraikan oleh Al-Farabi, Anselm dan Rene Descartes pada awal modern. Menurut Anselm, dalam setiap diri kita bersemayam suatu ide tentang Tuhan. Tuhan adalah Dzat yang diri kita tidak dapat menggambarkan Dzat Yang Maha Agung dengan akal yang terbatas. Namun Dzat ini mesti mempunyai wujud dalam hakikat. Lalu dikembangkan oleh Said Nursi bahwa bukan hanya manusia yang satu-satunya secara fitrah mengakui kebesaran mutlak Tuhan, tetapi juga semesta ciptaan-Nya menyuarakan kebesaran sang pencipta. Seperti dalam Al-Qur'an surat Al-Isra ayat 44
"Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun."
Maka dari itu, menggunakan akal dalam menganalisis agama cukupkanlah kepada hal-hal yang rasional yakni para makhluknya. Menurut Jalaludin Rumi "Akal akan berguna dan baik ketika ia membawa seseorang ke pintu raja. Namun ketika ia sudah mencapai pintu raja, akal mesti tenang berdiam diri karena pada saat itu akal merupakan kerugian kecil dan menjadi seorang perampok jalan. Ketika seseorang telah mencapai pintu sang Raja, serahkanlah dirinya kepada-Nya semata.
Ilustrasi faktual Rumi " Jika engkau ingin membuat baju, kunjungilah tukang penjahit, maka akal akan mengatakan kepadamu penjahit mana yang dipilih. Akan tetapi, setelah itu akal harus menahan diri. Engkau harus memberikan kepercayaan penuh kepada penjahit bahwa ia akan menyelesaikan pemerjaan tersebut dengan benar."
"logika", kata Rumi, "Memang membawa pasien ke seorang dokter. Setelah itu secara utuh ia berada di tangan dokter."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H