Mohon tunggu...
Stefanus Sundi
Stefanus Sundi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Yang Terluka Yang Menyembuhkan

20 Mei 2023   11:09 Diperbarui: 20 Mei 2023   11:09 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang Terluka Yang Menyembuhkan


Masyarakat modern ditandai dengan kemajuan peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, di sisi lain, ternyata peradaban modern menghasilkan masyarakat yang menderita secara psikologis. Dunia modern ditandai oleh masyarakat yang impersonal, orang-orang yang kurang harapan, yang menderita kesepian, terasing, tercabut dari akar budaya maupun pribadinya, cemas dan gelisah, gampang lari dari kenyataan, mudah cari sensasi guna mencari kebahagiaan dan keabadian semu. Itulah keprihatinan zaman ini.
Penderitaan terjadi dalam setiap kehidupan makhluk dalam banyak cara, sering kali secara dramatis. Akibatnya, banyak bidang kegiatan manusia yang berkaitan dengan beberapa aspek dari penderitaan. Aspek-aspek tersebut dapat meliputi sifat penderitaan, proses, asal-usul dan penyebab, arti dan makna, berkaitan dengan pribadi, sosial, dan budaya. Penderitaan bisa berbentuk penderita gangguan mental yang diidentikkan dengan sebutan 'orang gila' atau 'sakit jiwa', dan sering mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan, bahkan hingga dipasung. Ada banyak faktor yang bisa memicu terjadinya gangguan mental, mulai dari menderita penyakit tertentu sampai mengalami stres akibat peristiwa traumatis, seperti ditinggal mati orang yang disayang, kehilangan pekerjaan, atau terisolasi untuk waktu yang lama.


Nouwen mengisyaratkan agar para pelayan, pendamping, dan semacamnya berani meninggalkan dirinya, membuka diri, menjalin relasi dalam semangat keramahan dialog, semangat bela rasa, semangat berani berbagi keprihatinan dengan sesama. Inilah jalan pembebasan dan penyembuhan bagi masyarakat modern yang mengalami luka batin atau biasa disebut penderitaan
Seperti pada peristiwa pengalaman penulis sendiri. Pengalaman saya waktu kelas X SMK. Waktu itu saya tinggal di sebuah kompleks militer atau biasa disebut koramil, tempatnya di Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang. Saya tinggal di situ kurang lebih sepuluh bulan. Seiring berjalannya waktu saya sangat menikmati hidup di dalam kompleks militer dan saya sudah mengangap lingkungan tersebut bagian dari hidup saya, bahkan saya sudah memiliki modal untuk jadi seorang tentara. Di balik kenikmatan yang saya alami menimbulkan sikap iri orang lain terhadap pribadi saya. Tanpa saya sadari ada salah satu orang yang mengakui diri sebagai teman dekat di sekolah datang ke koramil dan tujuannya adalah memfitnah saya di hadapan banyak tentara. Entah apa motivasinya saya tidak tahu sehingga dia mau menghancurkan masa depan saya dengan cara tersebut. Sampai saat ini saya belum menemukan siapa pelakunya. Orang yang mengaku sebagai teman saya tadi berjumpa dengan salah satu tentara yang namanya inisial ''G''. Dalam perjumpaan mereka, orang tersebut menjual nama saya dan mengatakan kepada ''G'' bahwa saya memberikan ijin menggunakan komputer di kantor Koramil untuk mengerjakan tugas sekolah. Dari tuduhan ini seorang tentara yang memiliki sentimen pribadi dengan saya langsung berasumsi negatif tentang pribadi saya, dia beranggapan bahwa saya sudah membuka semua dokumen rahasia di Koramil tersebut, sehingga akhirnya dia melaporkan semua peristiwa itu kepada komandan dengan bumbu-bumbu yang meyakinkan komandan bahwa saya sungguh bersalah. Maka dari itu, besoknya tepat sekitar jam sembilan pagi saya dicaci maki bahkan saya ingin ditembak di depan tentara yang lain. Dari cacian dan makian yang masih teringat dalam memori saya adalah beliau mengatakan bahwa seorang yang bernama Sundi ''tidak akan bisa dipercaya, tidak akan bisa menjadi orang yang sukses dan tidak akan bisa dipakai oleh orang lain''. Waktu itu saya tidak bisa mengungkapkan sepatah kata pun untuk membela diri, saya hanya terdiam dan menangis. Karena tidak ada alasan yang mampu membuktikan bahwa saya tidak bersalah, maka akhirnya saya dikeluarkan dengan cara tidak hormat di depan mereka.


Pengalaman ini memberikan luka batin yang sangat mendalam bagi saya, dimana saya merasa malu, hilang tempat tinggal, dan harapan saya yang ingin menjadi seorang tentara kini telah pupus. Yang mirisnya lagi adalah ketika saya mendengar kata tentara, saya sangat muak bahkan saya benci dengan pribadi tentara, seolah-olah semua tentara memberikan pukulan yang sama bagi saya.


Dari peristiwa ini, jalan yang dapat saya lakukan waktu itu hanyalah berserah diri kepada Tuhan dan menceritakan pengalaman ini kepada seorang guru agama katolik (pak Haryono) di sekolah. Guru tempat saya berbagi luka memberikan banyak motivasi serta hiburan dalam diri saya, selain itu, dia juga merekomendasikan saya kepada kepala sekolah untuk bekerja di sekolah. Puji Tuhan saya diberi kepercayaan untuk tinggal di sekolah sekaligus bekerja di sekolah, ditambah lagi saya mendapatkan gaji sejumlah Rp.565.000,00 per bulannya. Meskipun saya sudah mendapatkan tempat tinggal dan pekerjaan yang baru, tentu peristiwa luka bati ini tidak bisa hilang begitu saja, sebab ketika saya berjumpa dengan tentara, sikap was-was dan rasa takut selalu menghantui saya. Nah, dalam peristiwa ini, jalan satu-satunya untuk menyembuhkan luka batin adalah dengan mengenal diri saya sendiri melalui terapi Eling Lan Awas dan menerima semua peristiwa masa lalu serta menemukan kekurangan yang harus saya rubah dalam pribadi saya.
Ternyata pengalaman ini tidak hanya memberikan dampak negatif dalam batin saya, melainkan juga memberikan dampak positif nyata yang kini baru saya sadari setelah saya merefleksikan dan mendapatkan banyak bimbingan dari para Romo dalam masa formasi dan yang tidak kalah pentingnya adalah belajar psikologi terapi Eling Lan Awas di Postulat Stella Maris Malang. Dampak positifnya adalah masalah yang saya alami melatih kemampuan berpikir dalam mencitrakan dunia ini sehingga saya memiliki pandangan jernih terhadap berbagai situasi yang saya hadapi saat ini. Selain itu, saya menyadari bahwa traumatis ini mendekatkan diri saya pada Tuhan, kesempatan untuk merasakan penyertaan dan kemurahan Tuhan, membuat saya lebih rendah hati, memperkaya pengalaman, membuat saya cerdas dalam berpikir, menuntut saya untuk lebih sabar, mampu mengenal orang lain, belajar memahami pola penyelesaian masalah dan kesempatan untuk mengoreksi diri serta menjadikan peristiwa itu suatu batu loncatan yang mengawali perubahan besar menuju hidup yang lebih baik dan masih banyak lagi. Intinya penderitaan menghantarkan saya pada kemuliaan.
Oleh sebab itu, berdasarkan teori dan pengalaman, saya menyimpulkan bahwa penderitaan adalah bagian dari pembentukan hidup. Tanpa disadari masalah atau penderitaan akan melatih kemampuan berpikir dalam mencitrakan dunia, sehingga memiliki pandangan yang jernih terhadap berbagai situasi hidup yang saya alami saat ini.



Bukan bermaksud menyingung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun