Mohon tunggu...
Sonny Djatnika SD
Sonny Djatnika SD Mohon Tunggu... -

Metallurgist

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penutup: Dongeng Mengenai Kerajaan Arsipelago (Pemerintahan Sunda

20 Juni 2011   05:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:21 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(kumpulan cerita rakyat dan catatan sejarah yang masih membutuhkan kajian dan pengamatan lebih mendalam)
Beberapa catatan cerita rakyat, sebelum menjadi Tarumanegara, Salakanagara adalah Arsipelago Sunda, satu dari tujuh arsipelago dunia yang berupa ke-imperium-an yang melingkupi wilayah dari India sampai ke kepulauan Filifina. Seperti yang dijumpai dari catatan ilmuwan India tentang keberadaan Kerajaan Hindu Dwipantara (Jawadwipa) sekitar 200SM, 550 tahun sebelum Tarumanagara, yang juga menguasai Sumatera dan Jawa.

Kata sunda sendiri bisa diartikan sebagai sun (matahari) dan da (dewa) dalam bahasa sansekerta. Jadi sunda bukan lah etnis Jawa Barat seperti yang dikenal sekarang. Berbagai suku bangsa yang kemudian tinggal di wilayah kerajaan Sunda, seperti yang disebutkan pada bagian sebelumnya, ada dari India, China, Arab, Indonesia bagian Timur, bahkan mungkin Yahudi, kemudian disebut sebagai masyarakat pa-sunda-an atau Pasundan.

Sunda adalah sistem (berdasarkan beberapa tulisan di Eropa, hanya saya lupa persis referensinya, hanya ingat demikian), sama dengan budaya yang digunakan oleh bangsa Yunani kuna (Romawi), atau oleh bangsa Inca, bangsa Mesir, Persia (Aria) atau dua imperium lainnya (mungkin China dan Eithopia) yang dimiliki oleh bangsa-bangsa besar kuna di dunia yang berbasis pada Dewa Matahari, atau hidup bukan dalam kegelapan. Boleh jadi bangsa Jepang bukan termasuk ke dalam ke-imperium-an sunda, mungkin hanya bagian atau menjiplak saja. Ke-imperium-an Sunda Arsipelago bisa jadi sengaja dihilangkan oleh bangsa Eropa yang tidak termasuk imperium, karena mereka lebih lama tertindas oleh Romawi. Bisa jadi pula bangsa Jerman ingin berkuasa pada awal abad 20 sebagai imperium dengan mengaku-ngaku bangsa Aria.

Bahkan tentang Pajajaran yang belum lama hilang, dimana bangsa Eropa memiliki data lebih banyak, ilmuwan Indonesia juga hanya berpendapat itu semua adalah Legenda dan mitos semata. Tidak ditemukan bukti adanya keraton yang menjadi aikon kerajaan. Sedang peninggalan prasasti batu tulis, reruntuhan candi-candi dan sisa-sisa fondasi banguanan kuna yang besar pun hanya merupakan peninggalan bekas bangunan saja.

Menyimak kidung yang masih sering terdengar, kebanyakan bangunan bekas Kerajaan Sunda adalah terbuat dari kayu keras. Ini dijumpai pada peninggalan yang lebih baru dari abad 18 dan 19, walau pada abad 17 Belanda telah membangun bangunan batu atau beton kuna. Sistem pusat pemerintahan yang bergantian pun mengindikasikan bahwa ada perdamaian dan persatuan dari gabungan kerajaan-kerajaan dalam kerajaan Sunda-Galuh atau Tarumanegara atau Salakanagara. Perkawinan antara angota kerajaan juga mengindikasikan pembauran untuk tetap menjaga kesatuan, mulai dari Jawa Campa, Jawa Sumatera, Jawa Singapur bahkan dengan China. Pembauran seperti halnya penduduk aseli Sumatera bagian Utara sehingga menjadi nama Aceh (Arab, China, Eropa dan Hindia).

Dalam sistem pemerintahan misalnya, tidak ada raja yang bernama Prabu Siliwangi. Siapakah Prabu Siliwangi? Siliwangi digambarkan sebagai harimau loreng putih. Hanya ada dua kemungkina, bahwa itu adalah harimau putih India atau harimau putih ghaib yang dikenal oleh masyarakat Galuh dengan nama ONOM. Siliwangi bukanlah artian kata silih wangi (saling mewangikan) atau kata sastrawan China lokal sebagai Sie Lie Wang Ie, yang juga artinya tidak dimengerti oleh orang China daratan.

Dalam tatanan pemerintahan Kerajaan Sunda, ada kecenderungan pemerintahan dikendalikan oleh perwakilan rakyat yang diartikan sebagai perwakilan kedaulatan rakyat, dimana yang berdaulat adalah para raja. Pada masa-masa tertentu, tidak setiap raja adalah sakti atau mampu menjadi panglima perang. Ada raja yang hanya raja resi (pendiri Kerjaan Kendan) atau mungkin ada raja yang arif bijaksana dan adil.

Di antara raja-raja kemudian memilih seorang maharaja. Seorang maharaja adalah raja yang memiliki kewenagan penuh, sebagai bapak yang welas asih dan boleh otoriter. Dia adalah seorang panglima perang yang sakti disebut Mundinglaya dan berhak menyandang gelar Prabu Siliwangi, siapa pun namanya aselinya, yang berhak atas peliharaan ghaib sejumlah harimau putih. Tidak lah kemudian mengherankan, apabila pusat pemerintahan ada di kerajaan terpilih. Ini bukan berarti mitos kalau setiap daerah bisa menyebutkan turunan Prabu Siliwangi. Pada rembukan antara raja pun dipilih ketua Mungdingwangi, yang bergelas maharesi, mengepalai sejumlah rajaresi (kalau dia raja) dan resi (kalau dia Brahmana).

Di kelompok ini harus selalu bisa memberi ajaran agar rakyat berbuat kebaikan. Itu ditandai saat terjadi pertengkaran atara Prabu Siliwangi dari galuh dengan Raja Kerajaan Sunda, yang kemudian ditengahi. Pada kekuasaan raja yang mutlak, sulit rasanya menerima seorang Prabu menurut apa keputusan penasehat, Selain Mundinglaya dan Mundingwangi ada Mundingsari yang dipilih bukan karena kesaktian dan sifat ulamanya melainkan dia cerdik, bijaksana dan mampu berbuat adil. Dia membuat undang-undang dan mampu memutuskan suatu perkara. Sifat yang sebenarnya tampak pada masyarakat kuna pada hari ini dan bertindak sebagai Tetua Adat…

Namun ini semua masih seperti pada judulnya, sementara hanya sebuah “dongeng”, tetapi bukan untuk menina-bobokan, tetapi malah membuat mata dan hati menjadi melek, bahwa bangsa ini pada jaman dahulu pernah memiliki budaya tinggi dengan sistem pemerintahannya yang mampu bertahan sangat lama, sebagai imperium yang cukup luas wilayahnya. Tetapi ada sisi buruknya yang selalu bisa saling mencaka, mudah diadu-dombakan dan gampang diperdayai oleh mulut manis atau janji angin surga…. Mungkin karena darahnya gabungan berbagai bangsa ya…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun