Siapa yang tidak kenal Joko widodo ? Ditengah maraknya pemberitaan kasus korupsi yang dilakukan oleh politisi, pejabat pemerintah maupun aparat keamanan, Di tengah-tengah kepasrahan ekpekstasi rakyat akan adanya tokoh yang benar-benar mau bekerja untuk mereka, sosok Jokowi muncul dari kejauhan bagaikan seberkas sinar di tengah kegelapan. Seolah menjadi kontras, sehingga semakin banyak dielukan. Belum setengah tahun menjabat jadi Gubernur DKI Jakarta, ia telah masuk dalam bursa calon presiden. Bahkan ia menempati tempat teratas dalam polling capres.
Namun, akhir-akhir ini saya merasa sebagian publik sudah tidak sehat dalam menanggapi pemberitaan media terhadap jokowi. Berbagai berita tentang sosok yang unik ini membuat para Jokowisme seakan terhipnotis. Diawali dari kekaguman pada sosoknya, kemudian menjadi seorang loyalis, lalu pemberitaan media yang tak lelah menampilkan sepak terjang Jokowi yang kebanyakan pada sisi baiknya saja, akhirnya timbul sebuah fanatisme buta yang berlebihan terhadap Jokowi.
Disinilah letak permasalahannya, Fanatisme buta yang berlebihan menjadipenyebab menguatnya perilaku kelompok yang tidak jarang dapat menimbulkan perilaku agresi. Individu yang fanatik cenderung kurang memperhatikan kesadaran sehingga seringkali perilakunya kurang terkontrol dan tidak rasional. Pencitraan berlebihan mengenai sosok Joko Widodo bahkan telah membuatnya sebagai sosok yang disebut di berbagai media sosial sebagai ‘Nabi’. Sebuah ungkapan yang sungguh sangat tidak rasional dan menyesatkan. Bagaimana mungkin, seorang jokowi dengan segala kekurangannya sebagai manusia disamakan dengan Nabi? “nauzu billahi min zalik”.
Fanatisisme yang semakin meruyak dalam dunia kehidupan Indonesia saat ini membawa ancaman serius terhadap kehidupan publik demokratis. Fanatisme secara jelas menampik kemungkinan untuk perbedaan tafsir. Lebih dari itu, fanatisisme juga merupakan antipoda atas civil society karena menolak rasionalitas sebagai landasan yang bisa menjamin keberlangsungan kehidupan ruang publik.
Pada tahapan fanatisme buta yang berlebihan seperti ini, seorang loyalis menjadi tidak tahan pada setiap kritik yang ditujukan pada pemimpinnya. Fanatisme yang berlebihan terhadap jokowi membuat kritik terhadap dirinya seakan tertutup. Seolah,apapun yang menjadi pendapat Jokowi adalah benar. Siapapun yang mengkritik Jokowi, akan menjadi musuh bersama (public enemy) para Jokowisme. Di media social setiap kritik terhadap mantan wali kota Solo itu akan mengundang reaksi berlebihan dari para jokowisme. Hal ini muncul karena identifikasi diri yang sangat kuat antara dirinya dan si pemimpin. Kekagumannya terhadap Jokowi mengikis kapasitasnya untuk mencermati dan menilai segala keputusan dan pandangan Jokowi. Segala aksi (dan non-aksi) pemimpin diterima mentah-mentah sebagai sesuatu yang pasti benar, cocok, dan berdaya guna.
Kondisi seperti ini sungguh sangatmengkhawatirkan. Publik yang semestinya berperan sebagai control social pemerintah tidak lagi mencermati dan menilai segala keputusan dan pandangan jokowi dengan membenarkan segala sepak terjangnya yang kemudian akan menjadikan pemimpin tersebut hanyut, tidak peka pada kritik dan akhirnya membuat seorang jokowi menjelma sebagai pemimpin tirani anti kritik.
[caption id="attachment_316463" align="aligncenter" width="663" caption="Jokowi disaat blusukan ke Pasar Tradisional"][/caption]
Dalam konteks ini, Media merupakan salah satu faktor yang paling mempengaruhi sikap fanatisme berlebihan terhadap jokowi.Menurut McLuhan, media massa adalah perpanjangan alat indera kita. Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang, atau tempat yang tidak kita alamai secara langsung. Dunia ini terlalu luas untuk kita masuki semuanya. Media massa kemudian datang menyampaikan informasi tentang lingkungan sosial dan politik.
Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi, realitas tangan kedua (second hand reality). Televesi memilih tokoh jokowi untuk ditampilkan dan menyampingkan tokoh-tokoh lain yang mungkin saja tokoh lain tersebut mempunyai kapasitas yang lebih dari seorang Joko widodo. Surat kabar melalui proses yang disebut gatekeeping menepis berbagai berita dan memilih memuat berita tentang “Sepatu Sobek Jokowi” daripada berita tentang aksi demonstrasi mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah. Payahnya, karena kita tidak dapat dan tidak sempat mengecek peristiwayang disajikan media, kita cenderung memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa.
Karena media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, sudah tentu media massa mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang timpang, bias dan tidak cermat. Terjadilah apa yang disebut stereotip. Stereotif diartikan Emil Dofivat sebagai gambaran umum tentang individu, kelompok, yang tidak berubah-ubah, bersifat klise, dan seringkali timpang dan tidak benar. Disinilah bahaya media massa mulai terasa. Para kritikus rasional memandang komunikasi massa sebagai ancaman terhadap nilai rasionalitas manusia, kondisi ini yang sekarang menimpa sebagian jokowisme sehingga terlarut dalam fanatisme buta yang berlebihan.
Ditengah pesatnya perkembangan media massa, public mestinya tetap menjaga ‘kewarasan’ nalar dan logika untuk tetap objektif, sebab jalan pkiran yang sesat akan menimbulkan tindakan yang sesat pula.Publik mesti sadarbahwa seorangJoko Widodo tetap manusia biasa, bukan ratu adil atau tokoh serba bisa apalagi “Nabi” yang bisamenyelesaikan seluruh persoalan melalui tangannya. Publik jangan kehilangan objektivitas dalam memberikan penilaian, Seorang Pemimpin yang baik dan berprestasi termasuk mantan Walikota Solo Jokowi tetap membutuhkan suatu kritik. Bahkan, Jokowi semestinya harus membuka ruang untuk di kritik secara secara luas.
Meskipun bukan bagian dari warga DKI Jakarta, saya selalu berharap kepemipinan Jokowi dapat mengatasi setumpuk persolan yang ada di ibukota Negara tercinta. Olehnya itu tetap diperlukan peran kritis masyarakat sebagai sosial kontrol terhadap segala kebijakan jokowi, dan tugas dari manusia adalah saling nasehat-menasehati sesamanya. Sehingga yang terlahir adalah Jakarta baru yang terbebas dari setumpuk persoalanya, bukan Jakarta dengan seorang Pemimipin tirani yang anti kritik.
Palopo/Sulawesi Selatan, 17 Januari 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H