Ini buku kedua Tere Liye atau M Darwis yang saya baca setelah novel Pulang karena komentar Menteri Keuangan Sri Mulyani. Novel tebal 524 halaman ini saya beli di Surabaya pada 11 Oktober 2017 karena saya sudah mulai ketagihan dengan cara bercerita gaya Tere. Meski ada cerita yang menimbulkan tanya tetapi cerita tetap lancar. Saya baca di antara perjalanan kereta Surabaya Solo dan perjalanan pesawat Solo Balikpapan Bontang. Saya lanjut di rumah Bontang.
Buku terbitan Republika bersampul sepasang sepatu kulit coklat ini terbit pertama kali pada Oktober 2016 dan sekarang sudah cetakan ke IX pada Mei 2017. Seperti membaca Pulang, membaca buku ini seolah tak ingin berhenti. Terus ingin menyelesaikan ceritanya. Tere memang pintar bercerita. Dijaga suspen ceritanya sedikit demi sedikit sampai puncaknya. Infonya dikeluarkan sesuai kebutuhan supaya pembaca penasaran.
Novel dibuka dengan gaya showing suasana Belgrave Square, London pada pagi jam 07.30 pada seorang tokoh muda usia 30 tahunan, pintar, lulusan Universitas Oxford di Inggris bernama Zaman Zulkarnaen pada firma hukum Thompson & Co, sebuah firma hukum bergengsi dengan reputasi tinggi. Ada sebuah informasi yang mengagetkan di pagi buta tentang meninggalnya seseorang yang bernama Sri Ningsih yang meninggalkan harta sekitar Rp19 Triliun.Â
Uniknya Sri ini meninggal di sebuah panti jompo di Paris dan tidak mempunyai anak dan keluarga. Zaman --melalui surat kuasa Sri sebelum meninggal- ditugaskan untuk menyalurkan harta warisan pada yang berhak. Lalu mulailah cerita Zaman dengan fasilitas pesawat jet pribadi menyusuri jejak masa lalu Sri dari info sepotong-sepotong dari nara sumber yang ditemuinya satu persatu.
Cerita bermula dari Panti Jompo Le Cerisaie Maison de Retraite, Paris. Di dapat buku harian dari Aimee, perawat panti jompo yang menolong Sri pada saat masuk. Lalu diperoleh info tempat lahirnya Sri di Pulau Bungin, Sumbawa, salah satu pulau terpadat di dunia. Zaman menyusuri kehidupan Sri di Pulau Bungin. Nara sumbernya Ode yang biasa dipanggil Pak Tua, seorang pelaut senior berusia 70 tahunan.Â
Bapak Sri seorang pelaut dan nelayan bernama Nugroho dan ibunya Rahayu, semua berdarah Jawa tetapi tinggal di Pulau Bungin. Lalu ada tragedy kedua orang tuanya meninggal. Sri hidup dengan ibu tiri yang kejam dan adik tiri, Tilamut. Sri tetap sabar menjalani semua. Ini proses belajar Sri menghadapi cobaan dengan kesabaran tanpa batas. Dipeluknya semua rasa sakit itu. Tragedi masih berlanjut dengan terbakarnya rumah mereka dan menyisakan adik tirinya masih hidup. Mereka menjadi yatim piatu dan dibawa Tuanku Guru Bajang untuk merantau ke Pesantren Kyai Ma'sum di Solo.
Cerita bergeser ke Solo dengan kehidupan pesantren dan proses belajar Sri tumbuh dewasa. Sri bertemu dengan 2 orang sahabat Nur, anak pengasuh pesantren dan Sulastri, gurunya. Cerita proses belajar di pesantren dan persahabatan dengan segala perniknya. Ada bumbu intrik dan iri hati.Â
Ada bumbu tragedy G 30 S PKI. Sulastri menjadi tokoh Gerwani bersama suaminya dan gerombolan PKI menculik kyai dan keluarganya untuk dibunuh. Banyak keluarganya yang terbunuh, menyisakan Nur. Sulastri diadili di pengadilan dan karena kesaksian Sri menjadikan Sulastri dihukum pengasingan. Suami Lastri meninggal dalam tragedy itu. Inilah awal mula persahabatan menjadi saling bermusuhan karena iri dan dendam.
Cerita Sri di Solo sudah selesai dan berlanjut bekerja di Jakarta. Sri yang pintar dan suka belajar sekaligus mempunyai kesabaran tinggi berhasil menyusuri kehidupan di Jakarta. Dari menjadi guru SD, berjualan nasi goreng dengan gerobak dorong, persewaan mobil sampai mempunyai pabrik sabun dengan merk Rahayu. Sri berhasil kaya raya dan mendidik Chaterine, asistennya menjadi kepala pabrik. Tapi hantu masa lalu mengganggunya. Tiba-tiba Sri menjual semua pabriknya dengan skema kepemilikan sahan 1% pada perusahaan terkenal lalu pindah ke London.
Cerita berpindah lagi ke London pada kehidupan Sri menjadi sopir bis tingkat warna merah route 16. Sri yang baik bertemu dengan orang baik. Ditolong keluarga India, Khan dan tinggal di apartemennya lalu bekerja sebagai sopir bis atas jasa baik Lucy dan Franciszek, immigrant dari Polandia. Bertemu dengan pria Turki, Hakan Karim dan menikah. Sri hidup sederhana meski punya harta banyak. Sempat mempunyai bayi 2x tetapi keduanya meninggal. Suaminya juga meninggal. Sri diuji dengan kesedihan beruntun. Sri tetap tabah karena sudah latihan sejak bayi. Tapi hantu masa lalu tetap mendatangi dan Sri tiba-tiba menghilang  dan pindah ke panti jompo di Paris, meski hartanya bertambah dengan harta suaminya.
Cerita bergeser lagi ke panti jompo Paris. Sri tetap bersahaja dan menjalani kehidupan di panti sambil menjadi guru tari di sebuah sekolah pada umur 60 tahun. Sri sempat keliling dunia dengan profesi guru tari karena pentas anak asuhnya. Sri pension dan menjalani kehidupan di panti jompo dengan berkebun di lantai atas. Sri seorang pembelajar dan mulai belajar hukum melalui buku-buku.Â
Dia tahu hartanya banyak dan tidak mempunyai anak makanya dia menulis surat wasiat untuk membagi hartanya pada yang berhak. Sebelum meninggal Sri menulis surat wasiat ke firma hukum Thompson yang terkenal dengan reputasi baik, penjaga ksatria hukum. Juga surat ke sahabatnya di Solo, Nur. Inilah panduan Zaman untuk membagi warisannya meski menghadapi intrik dari Sulastri yang ternyata masih mendendam yang mengejar Sri sampai Paris. Lastri berubah menjadi Ningrum dan ternyata menculik Tilamut waktu tragedy 1965. Sri tidak tahu kalau adiknya masih hidup  karena kabar yang beredar Tilamut dibunuh waktu tragedy 1965.
Inilah cerita Tere menjadi asyik dengan penyelesaiannya. Kehidupan Sri yang unik dan tegar dapat menjadi pelajaran. Cerita diurai satu-satu supaya pembaca mengikutinya. Tere menjaga suspend. Meski sebenarnya bisa saja Zaman langsung membaca semua buku hariannya. Bukan hanya halaman per halaman yang diperlukan supaya ceritanya runtut.
Cerita memang  memikat dengan kalimat yang enak seperti ciri khas Tere. Ada beberapa kutipan yang menarik. Pada Juz Pertama tentang kesabaran 1946-1960 dari buku harian Sri. "Apakah sabar memiliki batas? Aku tahu jawabannya sekarang. Ketika kebencian, dendam kesumat sebesar apapun akan luruh oleh rasa sabar. Gunung akan rata, laut akan kering. Tidak ada yang mampu mengalahkan rasa sabar. Selemah apapun fisik seseorang, semiskin apapun dia, sekali di hatinya punya rasa sabar, dunia tidak bisa menyakitinya."
Juz kedua tentang Persahabatan 1961-1966 pada halaman 141. Sri mengalaminya di Solo. "Apa arti persahabatan? Apa pula pengkianatan? Apakah sahabat baik mengkhianati sahabat sejatinya?" Jalan kebenaran yang harus dipilih meski seolah mengkhianati persahabatan. Juz ketiga tentang keteguhan hati. 1967-1979. Sri mengalaminya di Jakarta. "Terima kasih atas pelajaran keteguhan. Pertanyaan pentingnya bukan berapa kali kita gagal melainkan berapa kali kita bangkit lagi, lagi dan lagi setelah gagal tersebut. Jika kita gagal 1000x, maka pastikan kita bangkit 1001x."
Ada yang perlu menjadi catatan pada pada novel ini. Meski jalan cerita hak sepenuhnya penulis. Dalam buku harian biasanya berisi terbuka apa saja dituliskan. Termasuk nama kota, tahun atau nama-nama yang terlibat. Komplet semua informasi dan tak ada yang ditutupi. Tapi buku harian Sri berisi sepotong-potong informasi simbolis yang harus ditebak artinya. Seolah menjadi cerita misteri. Memang ini lagi-lagi penulis harus menjaga suspend. Kalau buku hariannya komplet maka selesailah cerita pada saat awal. Tak ada cerita panjangnya he..he..
Episode buku harian selesai yang hanya 3 juz pembuka, yang hanya berisi info singkat simbolis. Tak lebih dari dua lembar. Berarti buku hariannya tipis sekali? Atau ada keterangan lain yang tak perlu disampaikan. Episode informasi dari buku harian ya hanya 3 juz itu dengan beberapa foto. Lalu dilanjut dengan informasi dari nara sumber dan surat-surat yang disimpan nara sumber.Â
Surat-surat ini juga membacanya hanya sepotong sepotong --sekali lagi- untuk mengatur suspend dan cerita. Supaya pembaca bisa mengikuti runtut. Meski biasanya kita kalau menerima informasi dari surat-surat akan dibaca keseluruhannya. Ini dibaca urut satu-satu hari ini, besok satu lagi dibaca, supaya cerita enak diikuti. Dan sebenarnya kalau dari awal ada surat terakhir yang penting, surat wasiat --masih di kotak yang sama dengan surat yang lain dari pemberian sahabat Sri, Nur- tapi surat wasiat itu dibaca pada saat ahir cerita di Paris.Â
Karena letaknya tersembunyi. Coba kalau dibacanya di Solo, cerita bisa cepat selesai. Tidak perlu petualangan lagi he..he... Â Apa ini keunggulan atau kelemahan saya tidak tahu. Lagi-lagi memang penulis sedang memainkan perannya sebagai pengatur cerita.
Juga cerita sopir pendamping, semuanya penduduk local. Apa memang waktu carter mobil harus memilih sopir local yang relative mengerti daerah itu. Karakter sopir local daerah bisa menggambarkan daerah yang diwakilinya. La Golo yang suka cerita mewakili dan terbuka mewakili daerah Sumbawa. Sarwo yang pendiam mewakili daerah Solo.Â
Sueb yang asli Betawi mewakili potret penduduk asli Betawi yang jadi tukang ojek dan kebetulan tahu daerah yang ditelusuri tokoh utama, Tanah Abang, Monas, Senen, Pulau Gadung. Sueb orangnya terbuka, suka cerita dan mengerti riwayat dulu daerah-daerah tertentu di Jakarta. Pertanyaan yang tak penting, waktu pesan ojek on line, kenapa kebetulan pengendaranya bisa orang asli Betawi dan berusia 40 tahunan yang mendukung cerita? Padahal sangat banyak kemungkinannya tukang ojek bukan asli Betawi dan umurnya masih relative muda? Ini pertanyaan tak penting karena memang itu otoritas penulis dengan unsur "kebetulan" he..he.. Ada yang sedikit mengganggu, cerita Sueb tentang obrolan orang Betawi di toilet yang kencing melenceng karena sunatnya.Â
Dialog itu sudah beredar di WAG (WhatsApp Group) dengan versi lain, obrolan gaya Suroboyonan. Apa Tere yang menciptakan cerita itu atau Tere mengutip obrolan WAG? Kurang tahu, rasanya sudah lama obrol di WAG itu.
Apapun yang terjadi novel ini cukup enak dinikmati. Tak terlalu berat. Meski buku ini termasuk tebal dan berat bobotnya. Enak dikunyah tiap hari di sela waktu. Terima kasih telah menghadirkan tokoh Sri yang bisa sabar memeluk semua rasa sakitnya. (Sunaryo Broto, Bontang, 22 Oktober 2017)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H