Mohon tunggu...
sunaryo adhiatmoko
sunaryo adhiatmoko Mohon Tunggu... -

Menulis untuk orang-orang kecil dan kehidupan yang selalu timpang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Marwah Seorang Muslim Naloliu

13 Maret 2013   06:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:52 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Marwah Muslim Naloliu

Oleh: Sunaryo Adhiatmoko

Tatkala ramai para petinggi partai politik diciduk KPK lantaran korupsi, saya malu pada Muslim Naloliu. Lelaki paruh baya yang hidup sekadarnya, di atas tanah kurang subur di Amanuban Timur, Timor Tengah Selatan, NTT. Awal Maret lalu, saya mengunjunginya untuk ketiga kali, sembari monitoring pembangunan 85 unit Rumah Qur’an, untuk masyarakat pelosok NTT.

Saat tiba, istri Naloliu tergopoh menggelar tikar pandan di halaman rumahnya yang beratap ilalang. Kami bercengkerama tentang hari-hari di Amanuban. Paceklik yang kerap tiba saat kemarau datang, juga musim tanam jagung sekali setahun.

1363157371965665011
1363157371965665011
Kisah risau lainnya, betapa sulit mencari air bersih. Masyarakat di Amanuban harus jalan berkilo meter, cari sungai terdekat. Mereka membuat galian kecil di pinggiran sungai, untuk dapat rembasan air bersih. Menunggu berjam-jam, hingga galian kecil itu penuh, lalu dituangkan ke dalam jirigen.

Fragmen kehidupan yang mengingatkan saya, saat datang ke Mogadishu, Somalia, dua tahun lalu. Ada rasa bersalah, kenapa tidak mengunjungi Muslim Naloliu dulu, sebelum ke Mogadishu.

Kenyataannya, di kawasan ujung timur Indonesia, dekat dengan Timor Timur itu, ketimpangannya nyata. Pembangunan tak berjalan, pendidikan tertinggal, kesejahteraan terbelakang dan akses pada keadilan tercekat, oleh pesta pora demokrasi yang menghabiskan triliunan dana, untuk memproduksi sistem korup dan melahirkan koruptor.

13631575381902382274
13631575381902382274
Dengan kenyataan itu, mendadak Muslim Naloliu meremukkan hati dan menampar muka saya. Berkali-kali dirayu, tak juga ia mau menerima program bantuan rumah. Naloliu amat layak menerima, dari kriteria apapun. Dia berhak, memberi hunian yang sehat dan layak untuk keluarganya. Tapi, saat kesempatan itu di ujung lidah, Naloliu enggan menelannya.

“Kami tidak punya cukup jagung untuk menjamu”, lembut Muslim Naloliu beralasan.

“Untuk apa?”

“Bapak dan masyarakat, akan gotong royong bangun rumah kami, walau setetes air kami ingin menjamu”, terang Naloliu.

“Itu tidak wajib, juga bukan syarat?”

“Tidak, Bapak sudah berbuat baik, kami wajib membalas kebaikan Bapak. Tapi, saat ini kami gagal panen jagung. Belum bisa Bapak”, Naloliu bersikukuh.

1363157786981946276
1363157786981946276
Oh, Muslim Naloliu. Andai mereka yang telah merampok hak-hak manusia tulus sepertimu mendengar. Engkau telah memberi pelajaran tentang marwah (harga diri), kejujuran, dan cara hidup yang halal. Sedangkan sebagian kami yang hidup bergelimang peradaban, telah terjebak dalam kerakusan dan nafsu.

Sementara bagimu, gratis itu menghancurkan harga diri. Sebaliknya, mereka yang berpendidikan, tak punya urat malu berlaku korupsi. Mereka mengemis proyek untuk ongkos politik, pemilu dan pilkada. Saya pun pamit dari rumah Muslim Naloliu, dengan dada bergemuruh, urat malu, dan hikmah tentang marwah yang hakiki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun