Mohon tunggu...
sunaryo adhiatmoko
sunaryo adhiatmoko Mohon Tunggu... Freelancer - PENDIRI RECYCLE HOUSE PROGRAM (RHP)

Menulis untuk orang-orang kecil dan kehidupan yang selalu timpang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ibu Melemparku ke Tiga Benua

22 Desember 2014   16:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:44 923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu Melemparku ke Tiga Benua

Oleh: Sunaryo Adhiatmoko

Saya tidak bisa melupakan, saat ibu menyodorkan satu mangkok menu makan siang. Wajah ibu sendu kala itu. Matanya berkaca-kaca, karena manatap wajah saya yang ketakutan. Kini saya paham, betapa perasaannya ketika itu hancur.

Sejak pagi ibu pergi ke hutan mencari bahan makanan. Di desa, saat itu sedang paceklik. Hampir sebagian warga desa kekurangan makanan, tapi tak sesulit keluarga saya. Setengah hari di hutan, ibu dan bapak hanya mendapati talas hutan. Selain isinya, daun juga dibawa pulang.

Biasanya, talas hutan pilihan terakhir yang bisa dibawa, jika tak mendapati ubi atau singkong. Sesampai di rumah, ibu tergopoh memasak talas itu ala kadarnya. Dikasih bumbu garam dan cabe, direbus lengkap dengan daunnya. Hasilnya agak kental. Setelah matang, ibu dengan iba merayu saya untuk makan.

“Ini ibu bikin liwet”, rayuan ibu yang selalu mengiang hingga kini. Meski ibu telah almarhum. Nasi liwet mestinya dari bahan beras, tapi ini rebusan talas hutan. Jika pernah berpetualang, bisa kita dapati getah daun talas ini gatal jika kena kulit.

Biasanya, perlu waktu lama bagi ibu untuk membujuk agar saya mau makan. Ia tak pernah marah. Bahkan disuapinnya, meski umur saya sudah 10 tahun saat itu. Kelembutannya itu, yang kemudian meluluhkan saya untuk makan.

Saat semangkok rebusan talas hutan itu di depan mata, tangan saya agak gemetar memegang sendok. Kadang sampai keluar keringat dingin. Ibu selalu sabar duduk di samping menemani, sembari mengelus kepala dan punggung saya. Sesekali saya lirik wajahnya, air matanya menetes.

“Ayo Bissmillah dimakan. Sambil berdoa mau minta apa sama Allah”, hibur ibu.

Perlahan sesendok bubur talas hutan masuk ke mulut. Mulanya rasanya baik-baik saja. Setelah beberapa sendok, baru mulai terasa gatalnya. Makin lama, gatal itu menjalar ke tenggorokan. Air putih tak bisa menghilangkannya. Lebih dua jam akan terus menjadi gatalnya, sampai terasa perih.

Jika tak tertahan, saya merengek ke ibu. Ia akan memeluk sembari terisak. Lirih ia bacakan doa-doa. Salah satu doa yang sering diucapkan, “Duh Gusti Allah, tolonglah, jangan ada anak keturunan anakku ini makan apa yang dimakannya hari ini”.

Ibu juga menawari saya untuk minta keinginan pada saat-saat seperti itu. Sesuatu yang sepertinya muskil, untuk meminta jika melihat kondisi kala itu. Bahkan, tetangga kerap meledek jika saya punya cita-cita, bak pungguk merindu bulan. Tapi, ibu paham, bahwa inilah saat doa tak ada lagi hijab untuk dikabulkan Allah SWT.

“Bu, saya ingin keliling dunia biar gak makan talas gatal lagi. Saya ingin suatu hari bikin rumah buat ibu, bikin sekolah untuk orang-orang miskin seperti kita. Biar semua bisa sekolah”, bisik saya ke Ibu. Ia pun akan erat memeluk dan mengusap kain jarik yang dikenakannya ke muka saya.

Suatu hari saya tercenung di atas batu indah di Cape Point, Afrika Selatan. Dataran terakhir menuju kutub selatan. Alamnya indah, menghadap samudera lepas yang biru menghitam. Melengkapi catatan perjalanan kemanusiaan saya, ke berbagai negara. Tapi, ibu dan bapak tak sempat melihat doa anaknya menembus langit. Cucunya kini bisa minum susu dan makan roti.

Satu mushola untuk santri tahfidz, saya bangun buat alamarhum ibu dan bapak. Juga sekolah untuk kaum dhuafa yang saya kelola dengan istri, semoga pahalanya mengalir pada keduanya. Ajaib, kekuatan doa telah membuat sesuatu yang tak masuk akal menjadi nyata. Doa Ibu melemparku ke tiga benua dan 15 negara. Begitu mudah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun