*Diambil dari kisah nyata
"Ibu mau berangkat kerja, main sama nenek ya, Nak."
Rumah mewah dengan 10 cucu yang masih kecil. Begitu ramai suasananya. Penuh tawa. Rumah ini sepi dari kesepian. Ini adalah rahmat. Pada malam hari, mereka berada di rumah masing-masing bersama orang tua mereka yang berada di samping kanan kiri rumah mewah tersebut. Sebagian dari mereka suka tidur di situ. Pada pagi hari, yang sudah sekolah berada di sekolah: TK dan SD. Tetapi hanya 4 anak yang sudah sekolah: Andi, Rian, Firman sudah kelas 5 SD, sedangkan Rudi masih kelas nol besar. Yang lain belum sekolah.
Orang tua mereka sukses semua. Banyak tetangga yang iri. "Masa tuamu sempurna," kata Bu Paima pada Bu Habibah. "empat anak sukses semua, kaya semua. Kamu berkecukupan," Bu Habiba tersenyum. Orang sekampung hormat pada keluarga Bu Habibah. Orang sekampung kagum padanya dan keluarga. Ia dan anak-anaknya hampir tak pernah punya masalah dengan tetangga dan tidak pelit. Hubungan sosialnya dengan tetangga baik. Apalagi menantu tertuanya menjadi salah satu imam dan khotib masjid.
Pagi itu Bu Rahma menemui Bu Habibah yang sedang menemani cucunya bermain di halaman depan ruma anak keduanya. Bu Habibah mempersilahkan masuk, tapi beliau tidak mau. "Di sini saja," katanya. "Maaf, Bu, saya belum bisa bayar hutang saya." Bu Habibah tersenyum padanya. Padahal sudah empat kali bilang begitu, sudah dua tahun. Padahal hanya Rp 150.000.
"Sudah, tidak apa-apa," kata Bu Habibah. "Saya tidak begitu butuh."
Tidak sedikit tetangga yang pinjam uang pada beliau. Entah sudah berapa banyak yang tidak bayar, disengaja atau tidak. Bu Habibah mengikhlaskan, tanpa mempertanyakan disengaja atau tidak. Bahkan jika ada yang melunasi hutang masih ditanya barangkali nanti mau pinjam lagi, dengan lapang akan diberi pinjaman.
***
Malam ini sepi. Angin menyusup ke dalam rumah lewat jendela. Dinginnya menusuk. Ilma, anak bungsu Bu Habibah yang rumahnya tepat berada di sebelah kanan rumah beliau kehabisan nasi. Anaknya yang masih umur 3 tahun nangis. Sepertinya lapar. Ia pun ke rumah Bu Habibah, mengetuk pintu belakang. Biasanya jam segini beliau sudah sholat malam. Biasanya diketuk sekali saja sudah menyahut dan segera membuka pintu.
Tetapi kali ini tidak. Hingga lima kali, bahkan sampai kesal. "Kemana sih, ibu?!" gerutunya. "Assalamualaikum," lebih keras lagi ia beri salam dan mengetuk pintunya lebih keras juga.
"Iya, sebentar!" sahut Bu Habibah.
Pintu terbuka. Tetapi lampuu dibiarkan mati, hanya lampu kamar menyala. Tidak biasanya. Tetapi Ilma masih bisa mengambil nasi dengan penerangan lampu kamar tersebut. Dia ambil agak banyak, untuk dirinya juga. "Uhuk Uhuk Uhuk...!!" Terdengar suara batuk laki-laki. Dia terkejut hingga piring ditangannya terlempar. Tiba-tiba muncul sosok lelaki lari dari ruang depan menuju pintu tempat Ilma masuk tadi. Ilma pun teriak maling.
"Maling, maling, maling...!!"
Banyak yang terbangun dan langsung berlari ke lokasi. Tak lama pria yang dicurigai maling tersebut tertangkap di halaman pekarangan Bu Habibah. Warga langsung memukuli. "Saya bukan maling, saya bukan maling," teriaknya. Tetapi warga terus memukulinya. Ia berusaha berlari ke arah cahaya lampu. Orang-orang pun mengenalinya. Ternyata dia Si Rahman, anak Pak Hadi, yang kuliah di STAI.
Warga pun berhenti memukulinya. "Rahman?!" semua tercengang. Dia bukan anak nakal. "Kamu dari mana tadi? Kamu bukan malingnya kan?!"
"Saya bukan maling."
Sebagian warga langsung berlari untuk mencari maling yang sebenarnya. Rahman dibawa pulang. "Bilang ke orang-orang, tidak usah mencari malingnya," kata Rahman. Semua yang mendengar terkejut. "Aku yang dikira maling, tapi aku bukan maling."
Kabar tentang maling tersebut segera meluar ke seluruh desa dan kecamatan bersamaan memancarnya sinar matahari pagi. Rahman sedang ditanyai oleh Ayahnya, ibunya, dan Pak Denya. Rahman tidak segera menjawab. Menurutnya, walau bukan perbuatan dosa, tetapi yang sudah dilakukannya sangat memalukan. Tetapi ia tidak pandai berbohong dan bingung harus bilang apa.
"Jadi benar kamu yang mask ke rumah Bu Habibah?" tanya ibunya.
Akhirnya Rahman mengangguk. "Aku sudah menikah dengan Bu Habibah." Jawaban itu terdengar sangat aneh dan menjijikkan. Ia yang masih berusia 21 tahun tidak mungkin menikahi Bu Habibah yang sudah berumur 56 tahun. "Kami menikah dengan cara tuntunan islam. Saya tidak berzina."
***
Keluarga Pak Hadi berkumpul di rumah Bu Habibah. Anak-anak dan menantu Bu Habibah libur kerja semua, untuk menyelesaikan masalah ini. Anak ketiga Bu Habibah mau bunuh diri dan masih ditenangkan oleh tetangga dan kerabat. Sebenarnya, tahun lalu Bu Habibah sempat bilang pada anak pertamanya kalau ada orang yang ingin menikahinya. Sebenarnya beliau ingin mengutarakan hasratnya bahwa ia masih punya hasrat untuk kawin, tapi malu. Anaknya tidak setuju. Katanya buat apa sudah tua. Selain itu, takut hanya ingin numpang hidup saja.
Siapa yang salah?
Rahman dan Bu Habibah sudah sah menjadi suami istri. Mereka dinikahkan oleh Kyai Sholeh, guru ngaji Rahman waktu kecil dulu. Agama tidak melarang pernikahan keduanya. Hanya saja, masyarakat banyak yang menolaknya. Banyak yang menganggap itu tidak baik. Anak-anak Bu habibah dan menantunya merasa malu sekali. Orang tua dan saudara-saudara Rahman juga merasa sangat malu. Pernikahan tersebut telah merusak nama baik keluarga keduanya.
Andai dulu diijinkan menikah lagi, pikir anak pertama Bu Habibah, mungkin tidak akan begini.
Baca juga:Â
Sarjana Menganggur, Santri Tak Jadi Kyai
Kisah Nyata 2 Suami Tukar Istri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H