Mohon tunggu...
Sunardi
Sunardi Mohon Tunggu... Guru - Saya suka menulis dan fotografi

Asal Bondowoso, Kota Tape. Sedang belajar hidup. Blog pribadi www.ladangcerita.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nenek Masih Punya Cinta

13 November 2016   13:36 Diperbarui: 27 Agustus 2020   07:57 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pintu terbuka. Tetapi lampuu dibiarkan mati, hanya lampu kamar menyala. Tidak biasanya. Tetapi Ilma masih bisa mengambil nasi dengan penerangan lampu kamar tersebut. Dia ambil agak banyak, untuk dirinya juga. "Uhuk Uhuk Uhuk...!!" Terdengar suara batuk laki-laki. Dia terkejut hingga piring ditangannya terlempar. Tiba-tiba muncul sosok lelaki lari dari ruang depan menuju pintu tempat Ilma masuk tadi. Ilma pun teriak maling.

"Maling, maling, maling...!!"

Banyak yang terbangun dan langsung berlari ke lokasi. Tak lama pria yang dicurigai maling tersebut tertangkap di halaman pekarangan Bu Habibah. Warga langsung memukuli. "Saya bukan maling, saya bukan maling," teriaknya. Tetapi warga terus memukulinya. Ia berusaha berlari ke arah cahaya lampu. Orang-orang pun mengenalinya. Ternyata dia Si Rahman, anak Pak Hadi, yang kuliah di STAI.

Warga pun berhenti memukulinya. "Rahman?!" semua tercengang. Dia bukan anak nakal. "Kamu dari mana tadi? Kamu bukan malingnya kan?!"

"Saya bukan maling."

Sebagian warga langsung berlari untuk mencari maling yang sebenarnya. Rahman dibawa pulang. "Bilang ke orang-orang, tidak usah mencari malingnya," kata Rahman. Semua yang mendengar terkejut. "Aku yang dikira maling, tapi aku bukan maling."

Kabar tentang maling tersebut segera meluar ke seluruh desa dan kecamatan bersamaan memancarnya sinar matahari pagi. Rahman sedang ditanyai oleh Ayahnya, ibunya, dan Pak Denya. Rahman tidak segera menjawab. Menurutnya, walau bukan perbuatan dosa, tetapi yang sudah dilakukannya sangat memalukan. Tetapi ia tidak pandai berbohong dan bingung harus bilang apa.

"Jadi benar kamu yang mask ke rumah Bu Habibah?" tanya ibunya.

Akhirnya Rahman mengangguk. "Aku sudah menikah dengan Bu Habibah." Jawaban itu terdengar sangat aneh dan menjijikkan. Ia yang masih berusia 21 tahun tidak mungkin menikahi Bu Habibah yang sudah berumur 56 tahun. "Kami menikah dengan cara tuntunan islam. Saya tidak berzina."

***

Keluarga Pak Hadi berkumpul di rumah Bu Habibah. Anak-anak dan menantu Bu Habibah libur kerja semua, untuk menyelesaikan masalah ini. Anak ketiga Bu Habibah mau bunuh diri dan masih ditenangkan oleh tetangga dan kerabat. Sebenarnya, tahun lalu Bu Habibah sempat bilang pada anak pertamanya kalau ada orang yang ingin menikahinya. Sebenarnya beliau ingin mengutarakan hasratnya bahwa ia masih punya hasrat untuk kawin, tapi malu. Anaknya tidak setuju. Katanya buat apa sudah tua. Selain itu, takut hanya ingin numpang hidup saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun