Mohon tunggu...
Sunardian Wirodono
Sunardian Wirodono Mohon Tunggu... -

Penikmat kopi, rokok, huruf, dan gambar bergerak

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik di Sosmed 24 Jam Jalan Terus

8 Juli 2014   16:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:01 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiada hari tanpa kampanye politik di sosmed. Masbuloh?
Munculnya media sosial seperti facebook, twitter, situs blog amatiran, adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa dan Negara Republik Indonesia ini. Kata bangsa dan Negara itu, ingin menggambarkan bagaimana sebuah perubahan revolusioner dalam teknologi komunikasi dan informasi menerpa suatu masyarakat yang sedang berproses begitu rupa. Jangan lupa, perilaku masyarakat, entah itu di jalan raya, media sosmed, ruang parlemen, ruang diskusi, adalah gambaran seutuhnya dari realitas besar bangsanya.
Bahwa ada orang baik dan orang pinter, seperti Anda tentu saja, karena merasa lebih educated dan developmentalish. Dan Anda kini sedang merasa risih; Ini sudah dibilang masa tenang, harusnya kampanye Pilpres berhenti, tetapi situasi di sosmed kok masih riuh-rendah?
Mau menyalahkan siapa? Di jalan-jalan raya di beberapa wilayah terpencil, kemacetan bukan hanya karena padatnya lalu-lintas dan terbatasnya infrastruktur. Tetapi juga karena tingkat pengetahuan dan disiplin berlalu-lintas para penggunanya.
Karakter media sosmed, memang sangat memungkinkan untuk keberlangsungan berkomunikasi yang terus-menerus. Dalam 24 jam nonstop, dengan siapa saja, di mana saja, dan bebas merdeka tanpa aturan. Dalam kasus Pemilu di Indonesia, apakah ada aturan dari Negara (Menkoinfo), KPU, yang spesifik untuk peristiwa pemilu? Tidak ada. Jadi, jangan salahkan para facebooker dan netizen sosmed untuk terus menggeber atau memblombong laman-laman sosmednya. Jangan lupa, bukan hanya netizen amatiran, hal itu dilakukan juga oleh para pemain formal dalam dunia politik, berkampanye politik yang sesungguhnya sudah dilarang. Berbeda tujuan masyarakat warga, yang mengekspresikan hasrat naluriah dan hak azasinya.
Artinya, para cerdik pandai dan handai taulan yang keberatan, dan mengatakan; mengapa tiba-tiba masyarakat warga sok politik, sok pintar, sok ahli, sok kiri-borju, tanyakan juga kenapa semua itu bisa terjadi? Tidak dengan sendirinya.
Jika ingin masyarakat warga seperti mimpi ideal sampeyan yang pinter, maka buatlah pemerintahan ideal, yang bisa mengakomodasi dan mengendors mimpi-mimpi tentang perubahan itu dilakukan oleh pemerintah. Misalnya; Munculnya penegakan hukum, terbitnya aturan dan undang-undang agar ada aturan jelas di sosmed, tumbuhnya masyarakat warga yang kualitas media literacynya heibat (bukan hanya membaca status fb, melainkan juga membaca buku-buku text, babon-babon buku klasik, yang sebenarnya dari segi kontekstualitas dan intertekstualitas juga harus dipertanyakan lagi).
Bagaimana membuat pemerintahan yang ideal, hingga bisa menjadikan bangsa dan Negara yang ideal itu? Hanya dengan teriak-teriak sembari bermimpi tentang idealisasi? Masuklah dalam proses, ikuti semua lekuk-likunya. Kalau hanya sesekali teriak, karena kebetulan pas senggang dari menara gading, itu semua akan jadi sebuah anomali. Karena Anda para kaum pinter, sebetulnya hanya menunjukkan karakter yang sama. Hanya beda gaya saja.
Kita semua memimpikan harmonisasi, tetapi tidak siap dengan prosesnya. Beda sedikit unfriend, remove, blokir, karena kita tak tahan, muak, bosan dengan diskusi yang dibilangnya tidak mutu.
Bangsa Indonesia saya kira sudah terbiasa dengan mekar karena memar. Karena Negara kita tak pernah punya sebuah grand-design. Gelombang 1-2-3-4 menurut Toffler, bisa datang tak beraturan atau bersamaan. Dan kita terguncang-guncang. Tak pernah mengenal industri buku, dalam sistem pendidikan yang buruk, kemudian berjodoh dengan dunia sosmed, yang memberi semua bentuk kebebasan individual tanpa batas. Tak ada akibat tanpa sebab.
Bangsa ini belum menjadi pribadi yang matang untuk kebebasan. Wong belum terbiasa berekspresi, kemudian berinteraksi, padahal kulturnya koeksistensi dan harmoni. Makanya dalam benturan pendapat, dan pandangan pun, yang terjadi adalah kolonisasi, pengelompokan, kanonisasi, idealisasi saya-dia, kita-mereka, dan seterusnya.
Jika betah, ya ikuti saja. Tapi jika tidak, tinggal de-activated, dan ajaklah 10 orang saja untuk digembleng sesuai idealisasi Anda. Kemudian terjunkan ke masyarakat ramai. Atau masih mimpi perubahan dari langit?
Jangan lupa, Negara tidak pernah menyediakan ruang partisipasi publik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun