Mohon tunggu...
Sunardian Wirodono
Sunardian Wirodono Mohon Tunggu... -

Penikmat kopi, rokok, huruf, dan gambar bergerak

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilpres Membuat yang Pintar jadi Bodoh

16 Juli 2014   12:47 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:11 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka kita saksikan, ketika engkau berkepentingan (maka demi kepentingan itu); yang pintar bisa menjadi bodoh, dan yang bodoh bisa menjadi lebih bodoh lagi dengan sok pintar. Tidak ada yang mengherankan atas hal itu.
Namun saja, sekepentingan-kepentingan kita, dibandingkan kepentingan yang bernama capres-cawapres, timses dan timnang, apa sebenarnya kepentingan kita sebagai rakyat jelata? Unsur ego dan individualitas kita, bisa jadi sama dengan ketika kita menonton tim sepakbola favorit kita, atau apapun kesayangan kita yang dikompetisikan. Sering lebih merupakan hajatan dan desakan psikologi bawah sadar kita, yang jauh lebih besar dari kemampuan nalar mengendalikannya.
Pemilihan presiden adalah sebuah regulasi dan sirkulasi kepemimpinan nasional, yang merupakan keniscayaan, ketika kita percaya kata demokrasi dalam Republik Indonesia ini. Namun kenapa kita menghamba begitu rupa, hingga hilang nalar atau irasional?
Kita sebenarnya sangat bisa menyederhanakan masalah, dan mempercayakan akal sehat untuk menyelesaikan persoalan, serumit apapun dan apalagi persoalan yang tidak rumit. Namun kepentingan bawah sadar bernama ego, membuat yang sederhana menjadi rumit. Karena bagi sebagian orang, kerumitan memang sangaja diciptakan, sebab dari situasi chaostic itu kepentingannya bisa disisipkan.
Kita boleh menolak-nolak kenyataan, bahkan sampai menolak-nolak otoritas lembaga, yang semula kita sepakati bersama. Tapi itu semua bukti, bahwa demokrasi tak bisa ditegakkan tanpa kesiapan menerima kemenangan, dan apalagi menerima kekalahan.
Kita selalu menjadi bangsa yang merugi, hanya karena ulah segelintir elite dalam sebuah sistem permainan. Rakyat sudah memberikan suaranya pada coblosan Pilpres 9 April lalu. Tinggal dihitung saja, sangat simpel, mudah. Tapi, kenapa menjadi rumit? Cobalah pikir ulang, apa susahnya menghitung kertas suara dari jumlah pemilih 190 juta?
Sangaaat simpel sekali. Tapi, karena kepentinganlah kita membuat yang simpel menjadi ribet, hingga sampai profesor politik, profesor hukum tata-negara, profesor statistik pun bisa jadi bodoh karenanya. Dan sudah pun demikian, bodohnya kita yang selalu mengait-kaitkan dengan sebuah delusi tentang kesempurnaan manusia. Padahal, semuanya simpel, dan sangat simpel. Menghitung kertas di bawah 200 juta lembar saja jadi kehilangan akal, dan gilanya lagi; kehilangan moral dan etik. Orang macam apa kalian ini, huh! Sudah gitu, Tuhan pun dilibat-libatkan dalam soal dunia ini, sembari merasa paling suci dan mendaku dapat mandat dari langit.
Maka kita saksikan, ada orang mengaku diri mulia namun sambil menista orang lain. Dimana kemuliaannya jika demikian? Kita mudah mengorbankan diri menjadi makin tidak berharga. Padahal, kalau beda jangan sensi, kata Slank. Padahal, karena beda maka kita harus sensi, katamu.
Padahal, sensi itu pedih, Jenderal!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun