Bambang Soesatyo dari Golkar (17/10) mengatakan, jika Jokowi tak bisa mengatasi persoalan ekonomi hari ini, maka akan turun massa dalam jumlah besar, besok pas ultah Golkar pada 20 Oktober 2015, mendesak Jokowi turun. Berapa besar? 20 juta orang!
Sehari sesudahnya, dari tempat yang sama di Warung Daun Cikini (Jakarta), sebuah warung yang lebih dikenal menu wacana politiknya daripada kulinernya; Siti Zuhro, peneliti senior dari Pusat Penelitian Politik LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) mengatakan agar Jokowi menerapkan budaya malu dan mundur sebagaimana bangsa Jepang. Karena ketidakmampuannya memimpin Indonesia, menurut pengamat politik itu, akan baik jika Jokowi memberi teladan, mundur dari kursi kepresidenan.
Cukup kita kutip dua pernyataan itu, untuk memberi gambaran, bahwa partai politik dan para akademisi, lebih merupakan bagian dari masalah daripada pemecah masalah. Jika pun memaksakan diri menjadi pemecah masalah, usulan-usulan mereka terlihat pragmatis dan terasa partisan.
Bukan pemecahan masalah untuk mendapatkan jalan keluar yang partisipatoris apalagi bersifat konsolidatif. Bagaimana mungkin, seorang peneliti senior LIPI, sebuah lembaga Negara di bidang Ilmu Pengetahuan, dan peneliti politik seperti Siti Zuhro sampai pada saran pragmatis seperti itu?
Saya teringat pidato pengukuhan sosiolog Heru Nugroho, sebagai guru besar UGM, tiga tahun lalu. Ada kecenderungan para akademisi saat ini lebih mementingkan nilai-nilai pragmatis, daripada nilai-nilai ilmu pengetahuan. Kegiatan pengajaran dan penelitian, hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan melalui proyek-proyek, daripada pengembangan ilmu pengetahuan.
Padahal tugas utama seorang akademisi adalah melakukan refleksi kritis dan mempertahankan nilai-nilai abstrak pada zamannya; seperti kebenaran, keadilan, dan rasio. Nilai-nilai yang dipunyai para akademisi semakin memudar karena mereka lebih banyak mengejar kepentingan pragmatis.
Dalam pidato berjudul “Negara, Universitas dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis dari Dalam”, Heru Nugroho menyodorkan istilah ‘dosen asongan’ dan ‘fenomena klobotisme’ di kalangan akademisi. Ilmu hanya sekadar barang pembungkus saja serta menciptakan kegiatan akademik yang involutif. Banalitas intelektual merupakan fenomena yang merebak dan mengingkari dunia pendidikan tinggi.
Maraknya intelektual pamer yang muncul dalam acara talkshow terkait masalah yang populer di televisi, menunjukkan betapa para akademisi ikut terbius, untuk tampil dan cenderung narsistik dan melahirkan intelektual instan. Mereka akhirnya menjadi bagian dari fenomena klobotisme yang hanya ikut meramaikan hiruk pikuk pergunjingan politik elite.
Akibatnya, kritik-kritik akademisi yang dilontarkan kurang memiliki kekuatan emansipatoris. Para akademisi yang mengkritik, bertujuan menjadi bagian yang dikritik. Pengkritik itu kemudian mendapat julukan 'ahli' untuk selanjutnya ditarik menjadi menteri, wakil menteri, atau staf ahli dan jabatan yang lain. Semua tidak menghasilkan apa pun secara akademik kecuali realisasi hasrat kuasa pragmatis. Hanya menggunakan alat-alat akademik demi kepentingan ekonomi politik mereka.
Intelektual tipe tersebut pada akhirnya bukan memberikan eksplanasi kritis-reflektif. Tetapi justru membela mati-matian secara defensif pihak yang memberinya posisi (siapapun, baik di dalam dan di luar pemerintahan).
Jika kita hanya percaya pada politikus dan akademikus, dalam membangun Indonesia, tentu saja akan celaka. Apalagi jika kedua dunia itu sama sekali justeru menjadi bagian masalah daripada pemecah masalah. Jika keduanya berslingkuh, mengadakan hubungan gelap, akan beranak-pinak menjadi perusak sistem demokratisasi yang sehat. Yang muncul hanyalah demokrasi elite, dan oligarkis, dengan menisbikan peran serta rakyat sebagai pemegang suara.
Dalam promosi doktornya yang berjudul “Ideologi Politik dan Basis Sosial’ di Fisipol UGM, belum lama lalu (17/10), Arie Sujito mengatakan telah terjadi diskoneksi ideologi antara imajinasi elit politik dengan realitas sosial politik. Akibatnya, ideologi dasar yang semestinya dipegang oleh partai politik justru tak terpegang. Partai dinilainya cenderung pragmatis. Sementara tanpa ideologi politik, partai menjadi tak punya peranan apa-apa dalam demokratisasi.
Pendapat Prof. Heru Nugroho dan Doktor Arie Sujito, tentu hanya penting bagi mereka yang ingin melihat persoalan kita secara proporsional. Mengganti presiden (tanpa proses pemilu, atau secara tak langsung menolak hasil pemilu), memangnya mudah? Dan tidak mengundang masalah yang lebih brengsek? Atau itu memang yang dimaui?
Amatan Siswono Yudhohusodo di Kompas beberapa waktu lalu, yang mengatakan; ‘jika tak bisa membantu, lebih baik jangan menggangu’ terasa lebih arif. Sebagaimana sikap Andrinof Chaniago, Ketua Bappenas selama 10 bulan yang diganti oleh Jokowi, yang menolak menjadi pembicara dalam berbagai diskusi atau talkshow ‘Satu Tahun Jokowi’, karena menghargai hak prerogratif presiden menjalankan kebijaksanaan politiknya.
Menilai presiden Jokowi sebagai pribadi tentu tidak proporsional, karena kita tentu harus melihat Jokowi berada dalam yang disebut sistem kepresidenan, sistem pemerintahan, dan sistem politik itu sendiri. Tidak semudah cocote Mario Teguh, kata mereka yang tidak suka salam super sang motivator.
Bukan persoalan menjadi kritis atau tidak, melainkan menjadi proporsional itu persoalan kita. Dan hanya lebih suka menjadi klobot.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H