Mohon tunggu...
Sunardian Wirodono
Sunardian Wirodono Mohon Tunggu... profesional -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mr. President! Selamat Datang Harapan Baru

20 Oktober 2014   16:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:24 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang mengherankan. Soeharto, dengan dukungan 200.000 bedil, memimpin negeri ini selama 32 tahun tanpa gejolak, tiba-tiba berhenti menjadi presiden. Dan itu terjadi karena desakan dan kemarahan orang ramai, yang tidak terorganisasi secara kuat dan terpadu. Tak terbayangkan sebelumnya, namun melegakan.

Celakanya, bangsa ini lalu jadi terperangkap dalam model transisi yang sulit. Selama 16 tahun era reformasi, transisi demokrasi tidak berjalan solid. Dan tampaknya, justeru inilah kerepotan model transisi politik model 1998, yang sekarang belum juga usai. Ini semua karena transisi politik yang terjadi tanpa dukungan rezim berkuasa, dan juga tanpa dukungan kekuatan demokratis yang kuat dan terpadu.

Dalam seminar nasional “Sewindu Reformasi Mencari Visi Indonesia 2030”, yang diselenggarakan Kompas, Mei 2006, dikatakan bahwa kelak tak semua pemimpin muncul dari gejolak sejarah. Bahkan negeri ini pun sudah harus menjalani sebuah sirkulasi kepemimpinan dalam situasi biasa-biasa saja. Mungkin bahkan membosankan.

Namun pemilihan presiden 2014, dengan Jokowi dan Prabowo, menunjukkan situasi transisi itu. Kita sudah tahu yang dipilih mayoritas rakyat, dan itulah presiden rakyat Indonesia. Hanya saja bangunan pikiran yang coba dipertahankan, masih pikiran jadul. Bahkan, dalam sebuah televisi yang pemimpin redakturnya adalah tim sukses capres, masih saja mencoba membangun opini tertentu. Mengundang pakar gesture, pakar wajah, pakar grafitologi, ilmu nasib, dan sebagainya.

Seorang pakar gesture dan wajah, menganalisis pertemuan Jokowi-Prabowo beberapa hari menjelang pelantikan Jokowi. Bahwa dari cara salute militer Prabowo dan membungkuknya Jokowi, disebut Prabowo lebih pas sebagai pemimpin dan Jokowi hanya sekelas manajer.

Pikiran sesat itu wajib dibantah. Dari sisi semantik, pemimpin dan manajer tak jauh beda. Dari sisi psiko-politik, mungkin bisa dibedakan, pemimpin dalam khasanah Indonesia (paska Soeharto) kekuatannya tersentral dan tak terdistribusi, sementara manajer adalah pemimpin yang mendistribusi kewenangannya secara sistemik.

Kepmimpinan politik kita selama ini, lebih sibuk dengan diri-sendiri, dengan dua titik kepentingan yang saling berkait, yakni masalah citra-diri dan hiden agenda. Itu sebabnya, kepemimpinan menjadi sangat personal dan tertutup, sehingga kadang dipakai ukuran yang tidak logis. Misal, situasi politik panas dan adem diukur dari hubungan-hubungan pribadi, entah antara SBY-Megawati, atau Jokowi-Prabowo.

Memilih pemimpin (atau manajer), tentu dari pikiran dan tindakannya. Bukan dari bentuk wajah, jumlah bulu mata ganjil atau genap, gigi thongos atau pipi tembem. Agama-agama dunia mengajarkan, menilai manusia adalah pada apa yang dilakukan. Demikian juga hukum alam yang selalu menuju keseimbangan.

Bukan berarti ilmu wajah atau gesture tak penting. Namun sebagai ilmu terapan areanya lebih pada untuk membangun karakter pribadi seseorang. Untuk menilai (calon) pemimpin, adalah bagaimana kualitas pikiran dan track-recordnya. Sederhana saja.

Dalam sebuah wawancara khusus, dan cukup indepth, terlihat kecerdasan dan kemapanan Jokowi, bahwa masalah politik adalah juga soal manajemen. Dan itulah yang dibutuhkan Indonesia masa kini dan ke depan. Mimpi soal satrio piningit, hanyalah bentuk ketidakmampuan kita memformulasikan apa itu syarat-syarat kepemimpinan, yang mau mendengarkan dan mengajak untuk berpartisipasi. Karena rakyat yang berdaulat adalah subyek pelaku sejarah bangsanya, bukan obyek yang selama ini hanya dipakai sebagai atas nama.

Dari sisi pikiran dan track-record, juga akal sehat, sesungguhnya dari awal bisa diprediksi, Jokowi bakal memenangkan pilpres 2014. Karena demikianlah semangat jamannya. Kita butuh seorang pekerja, manajer, dan bukan pemimpin (dalam pengertian politik), agar masyarakat kembali ke khitahnya, yakni berkarya dengan tenang dan bahagia. Dan track-record itu dimiliki pada Jokowi.

Pemimpin-pemimpin nasional kita, selama 16 tahun reformasi, tidak menunjukkan konsistensi pemikiran dan tindakan. Sebut nama-nama seperti SBY, AR, AT, ARB, orang-orang PKS, adalah sebagian kecil contoh ‘pemimpin-pemimpin’ yang pikiran dan tindakannya tidak konsisten.

Bersama Jokowi-JK, semestinya bangsa dan Negara ini mampu meninggalkan kebiasaan buruknya di masa lalu.

Selamat bekerja, Jokowi, Mr. President, a new hope!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun