Mohon tunggu...
masunardi
masunardi Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen

hanya dosen jelata...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Hati hati dengan Trik Dokter yang Tidak Suka BPJS

28 September 2015   12:35 Diperbarui: 29 September 2015   17:51 13820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Ceritanya begini.  Kebetulan bapak mertua saya beberapa waktu yang lalu sakit dan perlu dioperasi karena jatuh.  Beliau menggunakan fasilitas BPJS plus naik kelas untuk fasilitas kamar dengan menggunakan askes pensiunan pns golongan VI jadi bisa di rawat di kamar kelas 1, alhasil operasi selesai dan biaya yang diperlukan alhamdulillah terjangkau karena bantuan dari dua asuransi tersebut.  Dari total biaya yang seharusnya mencapai puluhan juta, berkat asuransi tersebut menjadi sangat ringan.  Operasi dilakukan di sebuah rumah sakit Islam swasta di Klaten, Jawa Tengah.   Permasalahan itu selesai sementara.

Untuk selanjutnya bapak mertua saya perlu kontrol rutin sebulan sekali agar bisa sembuh total.  Kontrol pertama juga tidak masalah dari segi biaya karena dibantu oleh BPJS.  Saat kontrol kebetulan diantar oleh tetangga kami, karena kebetulan dua anak mertua saya semua berdomisili di luar kota, bahkan kami kebetulan sedang berada di luar Indonesia.  Pada saat kontrol pertama tersebut, si dokter bedah tulang bertanya-tanya dengan tetangga kami yang mengantar, menanyakan keluarga kami, anak-anak bapak mertua kerja apa dan di mana kok tidak ikut mengantar.  Tanpa tendensi apapun dijawab jujur oleh tetangga kami bahwa anak-anak bapak semua kerja di luar jawa, yang kecil PNS di Bangka Belitung dan kami (kakaknya) dosen pns di sebuah PTN di Kalimantan serta saat ini kebetulan sedang sekolah lagi di Jepang. 

Tidak tahu kenapa, tiba-tiba ketika bertemu dengan ibu saya yang juga mengantar bapak, si dokter menyarankan agar bapak tidak usah memakai BPJS agar lebih cepat sembuh. Sebagai orang tua yang tidak paham dunia medis, asuransi dan juga bisnis obat, ibu saya mengiyakan begitu saja.  Jadi untuk kontrol selanjutnya bapak disarankan agar langsung saja tanpa BPJS karena control kedua saat itu sudah terlanjur melalui BPJS.  Hasilnya? Kontrol pertama menggunakan BPJS kami tidak membayar obat yang mahal, bahkan mendekati gratis sedangkan control kedua tanpa BPJS sangat luar biasa biayanya. Saat itu ibu harus mengeluarkan biaya yang demikian sangat mahal, lebih dari 2,5 juta untuk menebus obat-obatan bapak.  Tentu saja ibu kaget, namun tidak bisa berbuat apa-apa. 

Saat beliau kami telepon, ibu baru bercerita tentang kejadian tersebut.  Saat itu juga kami yang kebetulan punya grup teman-teman sekolah langsung bertanya dengan kawan-kawan yang berprofesi dokter di Indonesia.  Jawabannya sama, itu adalah salah satu trik dokter untuk “mengakali” BPJS.  Memanfaatkan ketidaktahuan pasien agar tidak menggunakan BPJS untuk kepentingan pribadi, minimal untuk memperoleh bonus dari obat non generik yang diresepkan.  Karena memang sejak ada BPJS, kabarnya pihak yang paling merugi adalah para dokter yang semangat untuk kaya harta tapi  miskin hati.  Obat-obat yang dicover BPJS memang obat generik yang tanpa bonus dari perusahaan obat. Jadi tidak menguntungkan bagi para dokter.  Aneh bagi kami, mengapa begitu mengetahui anak-anak bapak kami adalah PNS semua terus kemudian dianggap kaya dan tidak layak menggunakan BPJS?   Padahal bapak mertua saya saat ini hidup mengandalkan uang pensiunan yang tidak seberapa, yang nyaris habis untuk menebus obat sekali saat kontrol kedua tanpa BPJS.  Hai para dokter yang anti BPJS,  di negara maju seperti Jepang misalnya, tak ada dokter yang peduli jika semua pasien menggunakan asuransi kesehatan.  Semangat mereka adalah untuk mengabdi, masalah biaya itu urusan asuransi dan negara.

Saat diskusi dengan kawan yang kebetulan dokter mata di Jakarta dan mengambil spesialis di UGM, begitu menyebut nama dokter yang tidak suka BPJS teman saya cuma menyeletuk, “ Hehe…dia kan dokter baru, jauh di  bawah angkatan saya".  Mungkin yang bersangkutan masih ngejar setoran untuk mengembalikan modal.  Apalagi beberapa saat yang lalu heboh tentang BPJS tidak halal, mungkin yang paling bersorak adalah para dokter yang tak punya hati.

*Tulisan ini saya buat ketika saya sudah tidak marah lagi karena kejadian itu sebulan yang lalu, jadi hanya sekedar informasi agar tidak ada kejadian serupa, karena BPJS adalah hak setiap kita.

*Tulisan ini juga tidak untuk men-generalisir bahwa semua dokter tidak suka BPJS, karena banyak dokter yang masih punya hati, termasuk teman-teman yang dokter yang  kami ajak diskusi di WA tentang kasus itu.
*Suatu saat ketika balik ke Indonesia, semoga bisa bertemu dengan dokter yang bersangkutan, sekedar ingin memastikan bahwa dia memang layak disebut dokter dan bukan penjual obat.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun