Mohon tunggu...
masunardi
masunardi Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen

hanya dosen jelata...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Aturan Baru Bersepeda di Jepang yang Meresahkan

3 Juli 2015   12:45 Diperbarui: 3 Juli 2015   12:53 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepeda adalah sarana transportasi di Jepang yang paling terkenal dan telah menjadi budaya. Sepeda memang dipakai oleh hampir semua orang Jepang tidak peduli laki-laki atau perempuan, tua atau muda, miskin atau kaya. Jika jarak tempuh tidak terlalu jauh, bersepeda adalah alternatif pertama karena murah dan cepat. Transportasi umum seperti bus dan kereta relatif mahal. Untuk bus, meskipun perkiraan waktu tepat, biasanya rentang kedatangan agak lama. Belum lagi bus hanya berhenti di halte tertentu yang sering kali masih harus ditambah jalan kaki untuk mencapai tujuan. Tarif per tiga halte di Utsunomiya adalah sekitar 75 yen (sekitar 500 meter per halte). Cukup mahal untuk kita yang sehat dan bisa bersepeda….

Mulai bulan Juni 2015, pemerintah Jepang menerapkan aturan baru terutama untuk pengendara sepeda. Sebenarnya bukan aturan baru, karena aturan itu sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu, hanya saja penerapannya secara tegas baru dimulai, alias denda bagi pelanggar akan mulai berlaku. Sebelum ini, pengendara sepeda adalah seolah raja jalanan. Jalur-jalur khusus sepeda jarang dipakai karena pesepeda lebih memilih trotoar/pedestrian. Atribut yang banyak dipakai saat bersepeda adalah EARPHONE/HEADSET dan PAYUNG.   

 

 

 Bersepeda sambil memegang payung

 

Total ada 14 “aturan baru” yang diterapkan pemerintah Jepang, aturan tersebut antara lain: wajib mematuhi traffic lights, wajib turun jika melalui bawah perlintasan kereta, wajib berhenti jika akan melewati perempatan jika diperlukan (biasanya ada tanda tulisan tomare/berhenti sebentar di badan jalan atau memaki rambu yang dituliskan di papan), sepeda dalam kondisi baik, dilarang bersepeda dalam pengaruh alkohol. Hal yang kemudian membuat marah para pesepeda adalah tidak boleh menggunakan earphone/headset/mobile phone serta payung sambil bersepeda. Dua hal paling akhir memang sangat memberatkan kami, para pecinta sepeda karena terpaksa. Memakai sepeda dengan memegang payung adalah khas Jepang, apalagi biasanya menggunakan payung transparan sehingga tidak mengganggu pandangan. Sangat repot jika hujan gerimis harus memakai mantel… Tapi bagaimana lagi, aturan di Jepang mutlak harus dipatuhi atau denda siap menanti. Kecuali bagi anak di bawah 14 tahun, beberapa aturan masih diberi toleransi misalnya menggunakan trotoar jalan.

Sampai dengan tahun 2013, di Jepang terdapat sekitar 71.551 juta sepeda dengan jumlah penduduk sekitar 126.66 juta jiwa. Jadi lebih dari 50% penduduk Jepang memiliki dan menggunakan sepeda (semua sepeda di Jepang wajib memiliki nomor register dan surat lengkap). Dari hasil survey terhadap 1.945 responden, sekitar 42% pesepeda rutin menggunakan untuk olahraga, 41% untuk mempercepat perjalanan dan menghemat anggaran dan 9% pengguna beralasan untuk menyelamatkan lingkungan dari polusi. Apa yang melatarbelakangi diterapkannya aturan “baru” tersebut? Ternyata bukan karena meningkatnya angka kecelakaan khususnya sepeda di Jepang tetapi karena semakin meningkatnya rasio kecelakaan fatal yang terjadi. Berdasarkan data, kecelakaan sepeda tahun 2014 sebenarnya turun dari 188.338 kasus pada tahun 2004 menjadi hanya 109.269 kasus, tetapi kecelakaan fatal hanya turun sedikit dari 870 menjadi 542 kasus. Rasio kecelakaan fatal secara keseluruhan meningkat 1.3 persen menjadi 13.5%. kecelakaan fatal termasuk jatuh sendiri di pedestrian meningkat menjadi 82 kasus dari 51 kasus pada tahun 2004. Aturan lalu lintas direvisi karena ternyata kecelakaan fatal banyak terjadi pada pesepeda. Hmm… padahal menurut kita pasti angka yang tidak begitu signifikan perbedaannya.  

 

 

Grafik kecelakaan sepeda di Jepang (sumber: japantimes.co.id)

 

Bagaimana jika melanggar? Polisi akan mengeluarkan surat tilang bagi yang berusia lebih dari 14 tahun. Jika dalam waktu 3 tahun kita menerima surat tilang lebih dari 2, kita harus mengikuti kelas khusus bersepeda seperti halnya ketika akan mencari SIM. Biaya untuk itu sekitar 5.700 yen (Rp 600.000) untuk 3 jam pelajaran. Jika menolak, kita harus membayar denda sebesar 50.000 yen atau lebih dari lima juta rupiah… (Jumlah yang sangat besar untuk kami yang sepeda pun dapat warisan dari pendahulu).

Salah satu alasan fatal bukan hanya karena mengakibatkan luka berat, tetapi ternyata juga dilihat kerugian dari pihak yang bersalah. Beberapa kasus kecelakaan sepeda fatal akan memberatkan pelaku dan keluarga karena harus menanggung hukuman finansial. Pada Juli 2013, di distrik Kobe seorang ibu harus membayar biaya kecelakaan kepada keluarga korban sebesar 95 juta yen (sekitar 10 miliar rupiah) karena anak lelakinya menabrak wanita tua berusia 67 tahun. Pada Januari 2014 pengadilan Tokyo menjatuhkan hukuman sebesar 47 juta yen (5 miliar rupiah) kepada seorang lelaki karena menyebabkan seseorang yang sedang berjalan kaki di pedestrian meninggal dunia. Berbeda dengan di negara kita, di Jepang pengendara sepeda pun bisa dianggap bersalah dan memperoleh hukuman jika bertabrakan dengan mobil jika memang melanggar aturan lalu lintas. Dan apa pun alasannya, di Jepang, patuh terhadap hukum yang berlaku adalah mutlak, karena di sini tak ada negosiasi dan suap….

Salam dari pinggiran Jepang, 3 Juli 2015

Sumber: www.japantimes.co.id

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun