[caption id="attachment_328488" align="aligncenter" width="593" caption="Desa wisata keramik Mashinko, Tochigi, Jepang"][/caption]
Menikmati Jepang bukan hanya menikmati tingginya Skytree atau Tokyo Tower, bukan pula hanya menikmati hebatnya teknologi robot dan kecepatan internet yang luar biasa dengan teknologi 4G-nya, tetapi juga sentuhan budaya dan seni yang kadang kembali ke masa ratusan tahun yang lalu. Satu negara dengan dua nuansa rasa yang sangat nyata.
Beberapa waktu yang lalu kami di ajak oleh seorang kawan Jepang, Sugiyama san melihat pameran/bazaar keramik tahunan di Mashiko town, Tochigi, sekitar 35 km atau 45 menit perjalanan menggunakan mobil dari Utsunomiya shi. Sugiyama san adalah salah satu pendiri dan donatur tetapTochigi-Indonesian Association atau Perkumpulan orang Indonesia-Jepang di Tochigi. Beliau adalah salah satu contoh petani sukses di Tochigi yang super kaya, sehingga di masa tuanya tinggal travelling keliling dunia bersama istrinya. Sayang untuk melewatkan acara tersebut, maka jadwal riset hari itu saya majukan sehingga bisa ikut bersama teman-teman Indonesia lainnya. Kami di jemput jam 9 pagi di kampus oleh Sugiyama san dan istri dengan 2 mobil, dan untuk pertama kalinya naik mobil mewah sekelas mobil menteri di Indonesia, Mercy seri terbaru.
[caption id="attachment_328489" align="aligncenter" width="630" caption="Suasana Mashiko Pottery Fair"]
Acara pameran keramik yang diadakan di Mashiko ini lebih terasa sebagai open house dari pengrajin tembikar di kota ini, karena selama 3 hari semua pengrajin memamerkan hasil karyanya secara bersama-sama, dan beberapa memanfaatkan kesempatan untuk pengunjung melihat “dapur” mereka. Tradisi ini sudah dimulia sejak tahun 1966 dan diadakan setahun 2 kali, yaitu pada saat Golden Week musim semi dan musim gugur. Mashiko adalah salah satu kota tradisional di Tochigi dengan ratusan pengrajin tembikar/keramik, mirip desa wisata. Pada bazaar ini, tidak kurang dari 50 show room dan 500 pengrajin keramik memamerkan karyanya dan lebih dari 800.000 pengunjung datang setiap tahunnya. Mashiko Pottery Fair merupakan salah satu dari “100 most beautiful festival in Tochigi Prefecture”.
[caption id="attachment_328491" align="aligncenter" width="504" caption="Dapur pembuatan keramik"]
Memasuki kota tersebut, langsung teringat suasana Kasongan di Jogja dan Bayat di Klaten dengan kerajinan dan pengrajin keramiknya. Persis sama, hanya saja di sini pengelolaannya lebih baik dan teratur karena pemerintah menjadikannya asset yang dibina dengan serius. Salah satunya adalah dengan bazaar ini. Pada saat bazaar ribuan orang berkunjung ke Mashiko untuk melihat dan menikmati suasana khasnya. Ribuan keramik dari yang sederhana dan murah sekitar 200 yen (gelas, piring dll) sampai dengan keramik seni dengan harga ratusan ribu yen (puluhan juta rupiah) dipamerkan dan dijual. Dengan dibumbui berbagai penjual makanan, minuman dan aneka permainan untuk anak-anak, maka lengkaplah moment 6 bulanan ini menjadi daya tarik sendiri bagi Mashiko Town.
Begitu sampai Mashiko, Sugiyama san tidak memarkir mobilnya di tempat parkir umum (dan kebetulan semua tempat parkir penuh karena banyak sekali pengunjung) tetapi langsung menuju rumah kawannya yang juga pengrajin keramik. Di situ bisa melihat secara langsung bagaimana tempat pembuatan gerabah dilakukan. Hampir tidak berbeda dengan di kasongan, tungku-tungku yang ada, tumpukan kayu bakar dan juga keramik-keramik yang belum dibakar. Cuma memang saya tidak melihat tumpukan tanah liat sebagai bahan baku disini, tidak tahu menyimpannya di mana, atau mungkin memang hanya sedikit bahan baku sehingga tidak banyakstockkarena memang hasil produksinya tidak sebanyak di Kasongan/Bayat atau mungkin juga regulasi pembelian lempung diatur ketat. Tanah liat/lempung yang digunakan diperoleh dari pegunungan di Jepang dan bukan dari lahan pertanian (bandingkan dengan di Indonesia, dimana ada bahan baku pasti langsung diserbu habis).
[caption id="attachment_328490" align="aligncenter" width="593" caption="Beberapa produk keramik Jepang"]
Terus terang, jika mengamati dari segi produk, saya lebih suka keramik Indonesia, lebih rapi dan indah. Sebagian besar keramik di sini terkesan kasar (mungkin juga masalah selera orang Jepang) dan abstraks, malahan beberapa hanya aksesoris ukuran kecil (tidak lebih besar dari kotak korek api) dan tidak tahu fungsinya buat apa, tetapi banyak di pamerkan. Sebagian lagi memang sangat indah, terutama karya seniman-seniman keramik terkenal di kota itu, kebetulan di kenalkan salah satu pemilik galeri oleh Sugiyama san dan sekilas melihat foto-foto karyanya di suatu majalah yang juga dipamerkan. Jadi kesimpulan saya dia adalah seniman terkenal.
Keliling pameran sekitar 3 jam kemudian istirahat di Koen/taman yang ada disekitar lokasi untuk makan siang, dan ternyata Sugiyama san dan istri telah membawakan makanan lengkap untuk kami. Onigiri plus bamboo muda (dalam bahasa Jawa disebut Rebung), telur rebus, pisang dan buah. Enak sekali kami, sudah diantar-jemput, dibawakan makanan, pulangnya diberi oleh-oleh lagi oleh beliau. Orang Jepang yang satu ini memang sudah agak luntur budaya Jepangnya, mereka lebih miriporang Indonesia, suka kumpul-kumpul dan rame-rame. Tiap tahun minimal 2 kali Sugiyam san membuat acara kumpul dan makan bersama orang Indonesia.
O iya, setelah makan siang dan istirahat, sambil jalan pulang mampir beli beberapa souvenir keramik sebagai kenang-kenangan. Banyak keramik yang saat bazaar dijual dengan harga yang lebih murah dari biasanya. Dan hari itu Embun dapat hadiah souvenir kecil dari istri Sugiyama san, katanya karena hari itu adalah hari anak, maka orang tua harus memberi hadiah untuk anaknya.
Tak terasa hari sudah menjelang sore dan udara semakin dingin karena seharian hujan gerimis dan kami pulang, tetapi di mobil begitu Sugiyama san melihat anak saya yang kecil tidur, beliau berhenti untuk istirahat di suatu show room keramik yang sangat besar, dengan harga-harga yang tak kan terbeli oleh kantung mahasiswa Indonesia. Sebuah show room yang dilengkapi dengan kafe dengan penjual minuman hanya sebuah vending machine….dan gratis. Sampai Zenith (anak lelaki saya) bangun dan keliling sekitar lokasi itu sebentar. Ternyata menemukan hiburan untuk anak (dan juga orang dewasa), yaitu arena kereta api mini yang boleh dinaiki dengan harga tiket 100 yen untuk anak dan 200 yen untuk dewasa. Uniknya, salah satu kereta api mini itu menggunakan tenaga batu bara beneran, jadi mirip kereta api jaman dulu betulan dengan asap tebal dari lokomotifnya ketika mulai jalan.
[caption id="attachment_328492" align="aligncenter" width="600" caption="Makan siang dan kereta api mini"]
Kesan terakhir dari pameran keramik itu adalah seharusnya Indonesia bisa mengadaptasi cara pengembangan UKM-UKM yang ada di tanah air, terutama sentra-sentra industri rumah tangganya. Indonesia mempunyai banyak sekali potensi yang bisa dipamerkan mulai dari Aceh sampai Papua, mulai dari keripik, meubel, keramik, rotan sampai dengan perahu misalnya di Kalimantan Selatan. Konsep desa wisata mungkin bisa dipercantik dengan event-event menarik yang dikelola bersama dengan dukungan pemerintah daerah atau pusat. Indonesia punya segalanya, tinggal bagaimana kita mengolah dan mengemasnya. Semoga menginspirasi…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H