Sunan Gunung Djati-Ini cerita datang dari (teman) saya yang kebetulan kuliah di Kampus Hijau.
Sembari penuh kesal dan berbagai serapah yang ditahan di mulut, (teman) saya meninggalkan kantor yang namanya disebut-sebut lembaga pengabdian untuk masyarakat, padahal lebih cocok disebut Lembaga Penghambat Mahasiswa (LPM).
Kedatangannya barusan untuk meminta haknya untuk tahu nilai KKN yang sudah sebulan lalu dilaksanakan. Nilai KKN telat, ya wajar saja terjadi di kampusnya. Molor dari jadwal. Alasannya, belum semua dosen pembimbing mengumpulkan nilai ke lembaga itu.
Aneh, mungkin si dosen terlalu teliti hingga sulit memberikan nilai KKN yang pas untuk mahasiswa. Yang jelas, (teman) saya itu sudah tahu nilai KKN-nya dari dosen pembimbingnya yang rajin. Jadi, hari itu ia berniat meminta nilai itu dikeluarkan pihak LPM karena besoknya ia akan daftar untuk ujian komprehensif. Kesan pertama datang ke LPM adalah orangnya yang cool-cool aja alias tiis-tiis wae. Setelah maksud diutarakan bahwa ia meminta nilai KKN segera dikeluarkan karena pendaftaran ujian komprehensif di fakultasnya akan segera ditutup,dua orang yang kebetulan ada di situ saling melempar tanggung jawab, tepatnya pada malas menerima kehadiran (teman) saya itu.
Lalu munculah seseorang berkacamata dengan senyum yang kecut. Setelah maksud kembali diucapkan, ia sedikit mengeryitkan dahi. Katanya, susah kalau begitu, kalau nilai dikeluarkan sebelum waktunya. (Teman) saya mendesak terus dengan alasan, bukankah jadwal pengumuman nilai sudah lewat? Ia tetap bersikukuh.
Karena (teman) saya rada cukeng alias heuras , orang yang tadi pun bilang, kalau untuk komprehensif masih dimaklum. Lain tatadi atuh, ketus (teman) saya. Tapi, ada syaratnya. Katanya (teman) saya itu harus minta dulu surat keterangan dari fakultas. Maksudnya, surat keterangan kalau (teman) saya itu mau komprehensif. Bergegaslah (teman) saya menuju fakultasnya, fakultas sopan santun (adab). Setelah berbasa-basi khas birokrasi, TU fakultas tak mau mengeluarkan surat keterangan yang dimaksud LPM. Katanya, tak ada surat keterangan seperti itu dalam sejarah perbirokrasian.
(Teman) saya pun balik lagi ke kantor LPM seraya menyambung lidah pihak TU kepada seseorang berkacamata di LPM. Dahi orang itu semakin berlapis. Ya, minta saja semacam memo, katanya. Grrr, mulai dah (teman) saya kesal. Ia merasa jadi babu yang kerjanya disuruh-suruh. Tapi, karena (teman) saya suka kelihatan penyabar, ia balik lagi ke fakultas. Setelah pesan si kacamata telah disampaikan pada pihak TU, pihak TU fakultas malah tertawa lepas. Tanda tanya. Ia malah ketawa pas dengan LPM minta memo. Intinya, TU fakultas tak mau memberi. Apa-apaan memo, katanya. Ia juga bilang, yang lebih tahu mahasiswa layak atau tidak ikut komprehensif kan jurusan bukan fakultas. Grrrr, kesabaran sudah minus dua!
Baliklah (teman) saya itu ke LPM lagi. (Teman) saya mulai bicara dengan nada ketus dan kesal. Si kacamata nampaknya mulai asem. Tatapannya rada sinis. Ia lantas bilang, ya sudah minta ke jurusan saja. Grrrrrr, kesabaran minus tiga!
(Teman) saya balik ke fakultas, kali ini kantor jurusan didatangi. Jurusan lengang. Para pejabat dan birokrat sedang ikut lomba bulu tangkis katanya. Tapi, kenapa gak ada yang jaga atau sekedar piket, batin (teman) saya. Lantas administrator jurusan datang. Langusng saja (teman) saya hampiri secepat kilat. Diutarakanlah maksud kedatangannya. Setelah nampak berpikir beberapa saat, laki-laki yang juga senior (teman) saya itu bilang kalau yang berwenang mengeluarkan hal itu sedang tidak ada. Ketua jurusan sedang ikut muktamar ormas Islam terbesar di Indonesia. Sekretaris jurusan sedang ada kuliah di luar kota. (Teman) saya diminta datang besok hari. Grrrrrrrr, kesabaran minus empat!
Baliklah (teman) saya ke LPM sambil komat-kamit mempersiapkan kata-kata untuk menukik pihak LPM. Nafasnya naik turun dengan kecepatan tinggi. Didatangilah pihak LPM. Menyebalkannya, seseorang yang berkacamata tadi sedang tidak ada. Sedangkan dua orang yang dari tadi tidak jelas kerjanya sedang apa—hanya mondar-mandir ke dan dari sebuah kamar—tak sedikit pun melirik (teman) saya. Mungkin takut ditanya.
Muncullah beberapa mahasiswa di luar LPM yang ternyata punya hajat sama. Wah, kebetulan ada kekuatan massa, kata (teman) saya dalam hati. Kalau LPM macam-macam, bisa didemo sekarang juga, batinnya lagi. Setelah itu, dari luar muncul seseorang berkacamata tadi yang (teman) saya sebalkan. Tak berpanjang lebar, (teman) saya langsung meinta nilai segera dikeluarkan tanpa syarat. Ia pun menanyakan, surat yang dimintanya dari jurusan. (Teman) saya langsung jawab dengan nada ketus dan tegas, euweuh!