Sunan Gunung Djati-Filantropi berasal dari bahasa yunani ; Philos berarti ‘cinta dan anthhopos, ‘manusia. Yakni cinta kepada manusia yang terpatri dalam bentuk pemberian derma kepada orang lain[1].
Filantropi dalam islam dikenal dengan zakat, Infak dan Shodaqoh yang sudah mengakar dan berkembang diberbagai belahan dunia.
Di Indonesia Filantropi Islam telah tumbuh dan mengakar sejak Islam masuk ke Indonesia. Bentuknya masih tradisional yakni penderma langsung memberikan derma (zakat, infak, shodaqoh) kepada penerima derma (dalam Al-Qur’an disebutkan ada 8 Asnaf). Belum ada usaha pengelolaan derma secara kelembagaan didalamnya. Pada perjalanannya, filantropi Islam dalam bentuk zakat dan sedekah telah ikut berjasa dalam mendanai perjuangan melawan penjajahan kolonial belanda. Filantropi Islam untuk kemerdekaan tidak hanya mewujud dalam sumbangan-sumbangan dadakan, tapi juga dikelola secara kelembagaan. Misalnya kas wakaf kemerdekaan central Sarekat Islam yang didirikan pada tahun 1918; atau yayasan zakat Fonds sabilillah, yang didirikan tidak lama setelah kemerdekaan (1947). Filantropi dan Ketimpangan Sosial di Indonesia Berdasarkan hasil survei pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama tahun 2004 menunjukkan bahwa nyaris semua masyarakat muslim Indonesia yakni 96 % pernah berderma[2]. Nilainya bervariasi, ada yang kecil, sedang dan besar. Kalau ditotal, ternyata rupiah yang dizakat-sedekahkan mencapai 19,3 triliun per tahun. Sebuah angka yang fantastis. Akan tetapi perkiraan angka ini belum berhasil mengatasi kemiskinan di Indonesia yang mencapai 14,15 % (BPS : Maret 2009). Filantropi Islam di Indonesia masih berkutat pada hal yang sifatnya ritual vertikal, yakni dana filantropi Islam baru ditujukan untuk pembangunan masjid, madrasah, pengadaan tanah untuk kuburan, dan lain-lain. Dan seringkali filantrophi Islam diberikan langsung oleh pendermanya dalam bentuk uang tunai yang sifatnya charity. Yang terjadi adalah masyarakat miskin berebut dan rela berdesak-desakkan demi sejumlah uang sedekah yang nominalnya tidak begitu besar. Dana hasil filantropi Islam belum secara optimal diarahkan untuk mendukung upaya-upaya pemberdayaan umat di Indonesia. Hampir semua NGO atau LSM di Indonesia masih mengandalkan bantuan funding dan pemerintah untuk menjalahkan program programnya. Filantropi Islam untuk Pengembangan Masyarakat Islam Potensi Filantropi Islam sangat layak untuk digali dan juga dikembangkan untuk mendukung upaya-upaya pengembangan masyarakat Islam dalam rangka mensejahterakan masyarakat muslim di Indonesia juga di dunia. Hal ini sejalan dengan rumusan model pengembangan masyarakat islam yang dilakukan oleh tim islamic community development model Fakultas Dakwah dan Komunikasi yakni Mengutamakan penggunaan dana yang bersumber dari dana filantropi Islam seperti Zakat Mall, Zakat Fitrah, Infak atau Sodaqoh. Sebagai contoh Pada tahun 2006 Gerakan Wakaf Pohon sebuah lembaga filantropi Islam yang menyalurkan dananya untuk perbaikan lingkungan telah berhasil menyelenggarakan peningkatan kapasitas masyarakat desa hutan dengan menggalang barang bekas disejumlah sekolah yang kemudian dananya digunakan untuk menyelenggarakan pelatihan budidaya lele sebagai upaya peningkatan kapasitas masyarakat desa hutan. Inovasi filantrhopi seperti itulah yang perlu dilakukan oleh para pengembang masyarakat islam agar kesejahteraan masyarakat muslim di indonesia terwujud. Perlu kerja keras yang lebih juga pola berpikir yang kreatif dan inovatif dan juga perjuangan yang panjang untuk mewujudkan hal tersebut. Akan tetapi melihat potensi Filantropi Islam yang demikian dahsyatnya maka patutlah kita memiliki optimisme yang besar demi terwujudnya masyarakat muslim yang sejahtera. Amin [FATAHILLAH] [1] Filantropi Islam dan Keadilan Sosial, tim penulis/peneliti CSRC UIN Jakarta [2] Lihat catatan dalam buku Filantropi Islam dan Keadilan Sosial hal 3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H