Sunan Gunung Djati-Gagasan” Wahyu Memandu Ilmu” telah lama disosialisasikan sebagai paradigma kegiatan akademik di kampus ini. Ada banyak pro-kontra mengenai gagasan ini.
Beberapa penolakan berasal dari kekhawatiran kemandekan ilmu karena dikerangkeng oleh keajegan wahyu. Alasan ini harus dipertimbangkan, karena sejarah menunjukkan sejumlah peristiwa ketika wahyu begitu memasung perkembangan ilmu, terutama ketika ilmu menunjukkan penemuan yang bertolak belakang dengan ketentuan wahyu.
Penolakan ini menghasilkan pertanyaan, “Apakah wahyu akan bersedia mengakui perkembangan ilmu yang akan mengganggu otoritasnya?”
Mari kita lihat apa yang terjadi pada Galileo Galilie dan Nasr Hamid Abu Zaid, keduanya ilmuan yang shaleh dan kritis, keduanya juga dikucilkan dari agamanya. Kemudian kita tinjau kemungkinan pengembangan dari paradigma itu
Kasus #1:Galileo anak Galilei
Galileo anak ahli music Galilei adalah anak cerdas dalam matematika, walaupun ayahnya mengingkannya menjadi dokter namun demam matematika membuatnya terus belajar dan pada akhirnya menjadi ahli matematika. Keahlian dalam matematika ini membuatnya dapat menghitung dengan cermat, sampai akhirnya membuat teleskop dan menantang teori geosentris gereja.
Pada umurnya ke-17, yaitu tahun 1581, ketika ia berada di Katedral, dilihatnya sebuah lampu gantung bergoyang. Diamatinya lampu itu. Yang ditemukannya adalah ini: ayunan lampu itu selalu berlangsung dalam waktu yang sama dari sisi ke sisi –betapa pun jauhnya jarak gerakan itu. Kemudian Galileo mengadakan eksperimen atas dugaan itu, dan ia pun menemukan prinsip pendulum yang bisa dipergunakan untuk pengaturan jam. Puncak riwayatnya ada pada surat yang ditulis pada 4 April 1597, ia menolak pemikiran Gereja tentang bumi sebagai pusat, ia percaya pada Copernicus yang menyatakan bahwa bumilah yang mengeliling matahari. Saat itu ia belum berani mengemukakan pendapatnya. Waktunya pun dihabiskan untuk dengan telescope, sampai ia dapat merancang telescope yang dapat melihat benda-benda angkasa.
Baru pada tahun 1611 ia mulai berbicara. Ia mengunjungi Roma dan mendemonstrasikan teleskopnya kepada tokoh-tokoh tinggi di sekitar tahta kepausan. Merasa disambut meriah, ia kemudian menulis “surat-surat Noktah Surya”. Ia menulis bahwa noktah pada matahari yang terlihat dari teleskopnya menunjukkan teori Ptelomus salah dan Copernicus benar.
Para ilmuwan di sekitar gereja menengarai pemikiran ini sebagai perusak system teologi, gereja memang masih mengikuti pemikiran Aristoteles dan Kosmologi Ptelomus yang dianggap sepadan dengan gambaran dunia seperti tertulis dalam Kitab Suci. Keyakinan itu adalah bahwa karena manusia sebagai ciptaan Allah yang paling penting, maka bumi tempat hidup manusia merupakan pusat alam semesta. Ini kepercayaan mutlak tak bias dirubah, inipun didasarkan pada pemikiran Aristoteles bahwa benda-benda langit itu kenyataan abadi yang tak mengalami perubahan sebagaimana anasir alam di dunia ini (air, api, tanah, dan udara). Ini harus diyakini, karena sudah menjadi bagian dari metafisika. Dan metafisika adalah hal yang tak tersentuh oleh fakta.
Pada tahun 1616 Galileo dianggap bersalah, karena menantang Ptolemus sekaligus menyatakan bahwa benda langit itu berubah. Kardinal Bellarminus atas nama inkuisisi memintanya untuk menyangkal pemikiran heliosentris itu. Galileo yang saleh menuruti perintah itu, ia membatasi kegiatan astronominya. Namun pada tahun 1618, tiga komet baru muncul di langit. KEgelisahannya sebagai ilmuwan membawanya masuk kembali ke ruang astronomi dan melihat ke langit. Atas izin Paus Urbanus III pada tahun 1629 ia menulis sebuah risalah “Dialogo sopra I duei massimi sistemi del mondo”. Tulisan ini membuatnya dianggap melanggar kesepakatan, ia dianggap melanggar sumpah kesetiaan pada pengadilan tahun 1616. Ia dianggap mengikuti ajarn sesat dan diwajibkan menjalani tahanan rumah seumur hidup.
Setelah itu, setiap minggu selama tiga tahun, ia harus mengulangi sumpah dan pernyataannya bahwa system Copernicus salah. Semua karya Galileo pun dilarang diterbikan. Galileo meninggal di tahun 1642.. Galileo memang tidak senaas Giordano Bruno yang dibakar di Roma karena pemikirannya yang dianggap menentang agama, namun ia tetap saja menjadi tahanan rumah sampai ia meninggal dunia.