Sunan Gunung Djati-Gunungsari adalah nama sebuah dusun yang terletak di Desa Tanjungsari, ibu kota kecamatan Tanjungsari.
Kebetulan, saya yang juga Ketua Kelompok 141 berlokasi di dusun yang lebih dikenal dengan sebutan Gununghaur ini.
Karena berada di “pusat” kecamatan, letak posko tidak jauh dari kantor desa dan kecamatan sebagai pusat birokrasi. Hanya saja, hal tersebut bukan berarti saya dan teman-teman tinggal lebih nyaman, lebih “kota”, atau lebih mudah dari kelompok di lokasi lain.
Letak posko hanya berjarak sekitar 100 meter dari jalan utama provinsi, yaitu Jalan Transyogi atau jalan alternatif Cianjur-Jonggol-Jakarta. Jalan penghubung antardusun di Desa Tanjungsari relatif baik dan mulus. Menurut Ajuk Marjuki, Kepala Dusun Gunungsari, jalan tersebut merupakan salah satu hasil Proyek Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Ajuk menambahkan, pengelolaan dana PNPM di Desa Tanjungsari merupakan pengelolaan PNPM terbaik tingkat nasional.
Hanya saja di sebelah kiri dan kanan jalan sepanjang Dusun Gununghaur, akan terlihat rumah warga yang terbuat dari bilik bambu. Hanya beberapa rumah yang terbuat dari batu bata, seperti mesjid, rumah salah seorang warga pendatang, salah satu rumah kepala RT dan RW, rumah kepala dusun, dan berujung di kantor Kecamatan Tanjungsari dan rumah Kepala Desa Tanjungsari yang nampak paling megah dari rumah lainnya.
Posko kelompok saya kebetulan menempati salah seorang warga pendatang. Salah satu bedanya, rumah ini memiliki kamar mandi dan kakus. Hanya saja, air yang dihasilkan dari sumur berwarna coklat dan kering di waktu hujan tak turun. Hal tersebut membuat saya dan teman-teman lainnya mencari sumber air yang lebih mudah untuk keperluan sehari-hari, misalnya ke kamar mandi di lingkungan mesjid atau posko kelompok KKN lain yang airnya relatif lebih mudah.
Namun, kondisi air yang sulit dan tak baik (berwarna) bukanlah kendala utama masyarakat untuk tidak memiliki kamar mandi dan kakus di dalam rumah. Kendala utamanya tetap pada masalah minimnya kesadaran masyarakat. Karena tidak jarang pula air yang kondisinya lebih baik dan mudah didapat. Misalnya, air di salah satu mesjid yang bersumber langsung dari pegunungan. Airnya jernih dan bersih. Wajar saja, banyak warga memanfaatkannya untuk minum dan memasak.
Tumis Belalang dan Musim Kunti
Minggu pertama memang minggu perkenalan dengan masyarakat setempat. Selain saya dan teman-teman yang bersosialisasi ke rumah warga, ada pula warga yang rela mendatangi kami di posko KKN. Biasanya warga yang datang selalu membawa semacam “oleh-oleh” berupa makanan atau buah-buahan.
Suatu siang, posko kami kedatangan Ibu Eti, Ketua BPD yang sekaligus pengajar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Tak terlewat, ia memberi kami lauk pauk untuk makan siang. Wah, rupanya siang ini kami tak perlu memasak lauk berlebihan karena Ibu Eti sudah berbaik hati. Namun, setelah kami tahu apa lauk yang ia bawakan, beberapa kawan termasuk saya bergidik dengan masakan yang didapat dari Ibu Eti. Rupanya Ibu Eti membawa tumis belalang.
Usut punya usut, setelah cari-cari informasi, belalang bukanlah makanan yang aneh dan dianggap biasa oleh masyarakat Tanjungsari, khususnya Gununghaur. Setiap sore, biasanya anak-anak bermain di kebun atau sawah sambil menangkap belalang atau capung. Ada pula, yang secara sengaja menangkap belalang untuk dikonsumsi sebagai makanan sehari-hari. Ya, begitu pun dengan teman-teman lain di posko. Ada yang menganggapnya biasa. Tapi, bagi saya ini salah satu the extreme culiner.