Berbanding terbalik dengan yang pertama, penguasa seperti ini melakukan pergerakan politiknya atas nama kepentingan sesaat. Koalisi dilakukan tidak dilandaskan diatas pijakan kemaslahatan dan kesejahteraan bersama, tapi justru atas nama dagang sapi yang dalam telaah Hinkelamert F disebut oportunisme.
Dalam literasi politik Sunda ada banyak penguasa baik tokoh historis atau fiktif yang memperagakan hasrat primitif jenis kekuasaan seperti ini. Purbararang dalam pantun Lutung Kasarung, Patrakusumah dan Demangdongkol dalam Pangeran Kornel, Raden Sunten Jaya dalam Mundinglaya di Kusumah, dan lain sebagainya adalah metafora dari kelompok ini.
Kita kutip satu kakawihan populer berjudul Ayang-Ayang Gung yang mencerminkan ihwal sosok penguasa yang menggadaikan kekuasaanaya hanya sekadar menumpuk benda:
Ayang-ayang gung/gung goongna rame/menak ki Mas Tanu/nu jadi wadana/naha mani kitu/tukang olo-olo/loba anu giruk/rakeut jeung kumpeni/niat jadi pangkat/katon ka gorengan/ngantos kanjeung dalem/lampa-lempi lempong/ngadu pipi jeung nu ompong/jalan ka Batawi ngemplong
Adakah perpolitikan kita, khusususnya lagi kiprah politik Ki Sunda, mengarah ke kiblat performance penguasa pertama yang disebut Vaclav Hevel dalam The Asrt of Impossible: Politics an Morality in Practice berporos pada tindakan politik moral, atau sebaliknya dramaturgi politik kekuasaan hanya sekadar hitungan untung rugi dan kalkulasi kepentingan jangka pendek lainnya, pasca rekomendasi Pansus Century akhirnya ngabuntut bangkong. Semoga wajah pertama yang mengemuka sehingga kita layak mengharap terbitnya pajar kehidupan yang lebih baik. Bukan penguasa kedua yang akan mengakibatkan suasana semakin weurit dan burakrakan.***
[ASEP SALAHUDIN]
DIMUAT DI TRIBUN, SABTU, 20 MARET 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H