Sunan Gunung Djati-Kekuasaan selalu menawarkan daya pukau yang luar biasa. Melalui kekuasaan, kharisma, wibawa, harta dan segala fasilatas kemudahan lainnya dapat digenggam. Menjadi tidak aneh apabila panggung sejarah kemanusiaan identik dengan riwayat perebutan tahta.
[caption id="attachment_101860" align="alignright" width="200" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption]
Dalam penafsiran Thomas Hubbes, “Hasrat abadi yang tak mengenal batas akan kekuasaan yang hanya akan berakhir ketika manusia berada di ujung kematiannya”.
Kekuasaan tidak hanya diperebutkan dengan cara-cara sahih-konstitusional namun juga tidak sedikit yang diupayakan lewat mekanisme primitif-kolutif bahkan kalau perlu dengan cara menebar teror atau membarter perkara yang penting kekuasaan teramankan.
Penguasa bijak Laiknya dalam literatur politik lainnya begitu juga dalam literasi politik Sunda, kekuasaan selalu menyisakan dua wajah: berkeadaban dan menyeramkan. Yang pertama ketika kekuasaan dijadikan alat untuk berkhidmat kepada kemanusiaan, sebagai sarana meraih ajen.
Di genggaman penguasa bijak seperti ini, maka setiap kebijakan yang diambil adalah simpul dari kehendak mulia mendistribusikan rasa keadilan yang merata (adil palamarta), hidup yang damai (tiis ceuli herang mata) dan negara kesejahteraan (rea harta rea harti rea ketan rea keton). Penguasa memposiskan dirinya sebagai negarawan tempat segenap masyarakat berlindung (pangauban anu leutik panyalindungan nu kapanasan), menjadi ruang sosial di mana segala keluhan tersalurkan (tempat panyaluuhan) sekaligus juga dia mengelola kekuasaannya dengan tulus (ngawula ka wayahna), satu panggilan hidup sebagai cermin untuk menaikan taraf hidup rakyat (nampi titilar sepuh makayakeun rakyat).
Penguasa seperti ini dapat bernama Pangeran Kornel (Pangeran Kusuma Dinata) yang lebih memihak kepada masyarakat Sumedang ketimbang kepada kolonial Belanda, Dipati Ukur yang tidak takut kehilangan kursinya dan dengan gagah berani ngayonan Mataram yang sedang memperagakan politik ekspansi di bawah penguasa Sultan Agung (1613-1945), Ki Tapa yang dengan heroik berjuang tidak sekadar atas nama kekuasaan Tanah Sunda dan Banten namun melebarkan sayap perjuangannya terhadap Belanda sampai ke Jawa Timur.
Dalam historiografi tradisonal, kita akan banyak menemukan penguasa dengan karakter seperti ini. Sebut saja misalnya, Prabu Siliwangi, Pangeran Yogaswara, Mundinglaya Dikusumah, Bujangga Manik, Ciung Wanara, Purba Sari Ayu Wangi, Dewi Pramanik Ratna Suminar dan lain sebagainya. Sosok-sosok yang telah menyalurkan hasrat kuasanya degan positif.
Kita simak dangding mukadimah yang menggambarkan citra penguasa yang bijaksana di mana kekuasaan dikelola dengan haluan falsafah yang luhur sebagaimana diambil dari Pangeran Kornel (Suwarsih Warnaen, 1985).
Mungguh kamulyaan sajati/lir ibarat wawangunan/nu weweg alus tur gede/hese piruntuheunana/sababna ditihangan/ku tabeat anu luhung/dihateupan kautamaan/dibilikan ku pamilih/dikuta ku kasatiaan/dipademan ku wawanen/dipaku ku kapengkuhan/di hias kapinteran/diparabotan ku elmu/diukir ku karajinan/jalma oge kitu deui/lamun martabatna mulya/homo towong dipiomong/moal pegat dipicangcam/sababna kamulyaan/henteu ka wengku ku waktu/langgeng ka wangikuenana (sesungguhnya kemulyaan sejati/dapat diibaratkan bangunan/yang kukuh bagus dan benar/sulit untuk runtuh/karena bertiangkan/tabiat yang luhur/diatapi keutamaan/didinding oleh pilihan/dibentengi oleh kesetiaan/dipedomani oleh kebenaran/di paku oleh keteguhan hati/dihiasi kepandaian/berperabotkan ilmu/berukirkan ketekunan/manusia juga begitu/kalau martabatnya mulia/tak henti dipercakapkan/tak putus dikenangkan/sebab kemuliaan/tidak terkurung oleh waktu/langgeng (menyebarkan) wanginya).
Hasrat primitif Namun juga harus dicatat sisi kedua dari kekuasaan: mewajahkan rupa lalim. Yakni ketika kuasa dijadikan sebagai target untuk menyalurkan hasratnya yang paling primitif: tunggul dirarud catang dirumpak.