Kalau kita melacak jejak orang-orang bijak, melakukan napak tilas atas jalan yang diretas kaum mistikus muslim. Di sana tergambar kecintaan terhadap alam sedemikian rupa, padat dan sempurna. Tengoklah misalnya ekspresi kecintaan penyair Persia, Sa’di, lewat kata-katanya, “Aku gembira dengan kosmos/aku mencintai seluruh dunia/karena dunia milikNya”.
Penyair lainnya, Yusuf Emre dengan memukau menyimbolisasikan fakta ekologi dengan realitas alam surgawi, “Semua sungai yang ada di sorga/mengalir dengan kata Allah, Allah/Dan setiap burung Bulbul bercumbu dan menyanyikan nada: Allah, Allah”.
Syariah ekologi dan hikmah purba Menanamkan keinsyafan ekologis adalah ajaran yang paling tua setelah titah mengesakan Tuhan (teologi). Lihatlah misalnya syariat-Nya yang berisi larangan merusak alam (ekologi) seperti tersimpul dalam hikayat purba ihwal kejatuhan Adam (hubuth dalam tradisi Kristen: doktrin of fail/doktrin kejatuhan) akibat mencabut pohon khuldi dan memakan buahnya (padahal Tuhan jauh-jauh hari mewanti-wanti jangankan memakan mendekatinya pun tidak diperkenankan) yang akhirnya membuahkan risiko pahit: terusir dari jannah (sorga yang kerap dilukiskan sebagai tanah subur, rimbun, hijau dengan dedaunan, mengalir sungai yang jernih, dan seterusnya) dilemparkan ke padang tandus, kering, dan gersang (lihat Q.S. Al-Anbiya’/2:35-39).
Atau, meminjam pemaparan Nasr dalam Man and Nuture: Crisis of Modern Man sebagaimana dikutip Ihsan A. Fauzi (1994), sehubungan dengan krisis lingkungan maka ada dua agenda “profetis” tradisionalisme Islam yang mendesak untuk dirumuskan. Pertama, memformulasikan dan memperkenalkan sejelas-jelasnya, dalam bahasa kontemporer, hikmah perenial Islam tentang tatanan alam, signifikansi religiusnya, dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, mengembangkan kesadaran ajaran-ajaran syariah mengenai perlakuan secara etis terhadap lingkungan alam, dan jika dianggap perlu, memperluas wilayah aplikasinya sejalan dengan prinsip syariah itu sendiri.
Tragisnya, diakui atau tidak, kita yang mengaku manusia modern, rasional dan selalu berpikir logis-sistematis ternyata ketika berhadap dengan alam seringkali memosisikan diri tidak sebagai mitra. Namun sebagai sosok-sosok durhaka kerumunan promothean yang dengan pongah merasa absah berbuat apa saja. Kehendak nafsu degil ekonomi (serakah) dan politik, telah menjebat kita terjatuh dalam kubangan kutub ekstrem: mau menerima peran khalifatullah namun tidak mau berendah hati menjadi abdullah. Kita telah menjelma “Malin Kundang” yang dengan tidak tahu diri mencederai sang “ibu” (pertiwi) yang telah melahirkan dan menebarkan rezeki.
Alhasil, tobat yang ditaburi dengan tasbih yang berangkat dari kesadaran akan keniscayaan menegakkan syariah ekologi, barangkali inilah hal mendesak yang mesti kita lakukan untuk mengakhiri perilaku menjijikkan seperti itu sebelum semuanya serba terlambat. Sebelum alam kian murka dan kita pun tidak bisa lagi menanggulanginya sehingga yang tersisa hanya ratapan tak bermakna karena semua sudah sirna. Taubat dan syariat yang mengandaikan tertambatkannya kesadaran menjunjung tinggi kelestarian dan keseimbangan alam. Taubat pula yang tempo hari pada gilirannya mempertemukan Adam dan Hawa. Keduanya kembali harmonis, memakmurkan alam dengan semangat baru dan nawaitu yang tidak keliru. Mudah-mudahan kita dapat meniru sehingga semesta kita pun kembali menjadi “sorga” tempat dulu Adam dan Hawa bercengkrama. Semoga. [ASEP SALAHUDIN, Pengasuh Kolom Kesundaan Sunan Gunung Djati yang terbit setiap hari Kamis]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H