Sunan Gunung Djati-Salah satu masalah besar yang sekarang tengah mendera bumi manusia adalah kerusakan lingkungan.
Tentu saja, krisis ekologi itu sudah seharusnya mendesakkan kesadaran setiap kita dari mana pun afiliasi agama formalnya untuk menginsafi makna penting perlakuan terhadap lingkungan dengan cara-cara yang santun sebelum semuanya serba terlambat.
Tulisan ini mencoba mengelaborasi lebih jauh krisis ekologi dari tatapan yang lebih menukik lagi: kearifan tradisional atau hikmah purba (al-hikmah al-khalidah) yang dalam titik tertentu dapat kita sebut sebagai syariah ekologi.
Etika Alquran
Dalam sebuah ayat, Allah SWT menahbiskan manusia sebagai wakil-Nya (khalifatulah) di muka bumi (Q.S. Albaqarah: 30) yang berkewajiban memakmurkan dan membudidayakannya (Q.S. Hud: 61), sekaligus melestarikan dan menjaga keseimbangan (equilibrium) lingkungan” (Q.S. Arrahman: 6-9).
Agar peran mulia kekhalifahan bisa berfungsi optimal, dapat mencapai dimensi kualitatifnya yang tinggi, maka manusia (kita) niscaya dengan ikhlas pada saat yang bersamaan harus melibatkan dimensi kesediaan diri untuk menegakkan kebaktian/ibadah (‘abdullah).
Di antaranya dengan memperlakukan lingkungan dengan penuh tanggung jawab. Karena dalam pandangan Ilahi, alam memiliki hak yang sama dengan manusia (Q.S. Al-Hijr: 86). Sekali hak alam ini kita abaikan dan atau malah kita perlakukan dengan kebuasan tak terkendali demi memanjakan hasrat primitif, sudah menjadi sunatullah, pada ambang batas yang sudah tidak bisa ditolerir lagi alam pun akan melakukan “perlawanan”.
Perlawanan yang terartikulasikan dalam wujud “kemarahan” itu bisa mengambil rupa tanah longsor, amukan badai, banjir yang senantiasa mengepung, cuaca tak menentu, dan krisis ekologi yang mengerikan lainnya yang justru dampak destruktifnya akan kembali menimpa jagat manusia. Bukan hanya sekarang tapi bisa nanti menimpa anak cucu kita, generasi mendatang yang tidak berdosa.
Keterpaduan dialektis antara fungsi khalifatullah (aktif memakmurkan bumi) dan ‘abdullah (pasif menerima aturan Allah) inilah sejatinya yang akan mengantarkan seseorang memiliki kesadaran syariat ekologis. Kesadaran semata sebagai panggilan luhur teologi. Kesadaran yang dijangkarkan pada landasan yang kokoh, kearifan Ilahiah.
Hanya manusia arif seperti itu yang akan mampu menangkap desah suara keinginan alam, bisa menjadi mitra autentik untuk berjalin berkelindan bersama-sama merintih menyucikan (tasbih) Sang Pencipta. “Langit yang tujuh, bumi dan semua isinya bertasbih kepada Allah dan tidak ada sesuatupun melainkan bertasbih memuji-Nya” (Q.S. Al-Isra’: 44); bersama-sama khidmat, dan takzim bersjud kepada Sang Pemilik Alam (Q.S. Al-Haji: 18). Tidak ada alasan baginya untuk melakukan pembangkangan kepada Tuhan, merusak alam yang notabene menjadisumber rahmat tempat mendulang rezeki (Q.S. Annam: 64).
Jejak orang-orang bijak