Dahsyatnya lagi, di tangan Haji Hasan Mustapa, suluk yang dikembangkannya disenyawakan dengan ruh kesundaan. Sunda dan esoterisme Islam menjadi menyatu tak ubahnya gula dan peueut-nya (manisnya). Hal ini tidak terlepas dari paradigma berpikirnya yang dengan tegas meneguhkan ihwal hubungan dialektis antara Islam dan budaya lokal kesundaan. Hubungan yang harus saling memperkaya bukan saling menegasikan. Bahasa diperlakukan Hasan Mustapa sebagai media untuk mencari kemungkinan makna-makna baru yang tak terduga, dinamis, dan terbuka . Dalam gaya ungkapnya, “Baheula ku basa Sunda ahirna ku basa Arab. Jadi kaula nyundakeun Arab nguyang ka Arab, ngarabkeun Sunda tina basa Arab.. Nya basa wayang kalangkang tapi dalangna pribadi… Kumaha alam pribadi nyusul-nyusul alam batur tangtu beda babasan perbawa ati birahi beda alam moal sarua rasana”
Dengan ungkapan yang lebih mudah, Islam tidak mesti membid`ahkan tradisi lokal, tapi harus mengakomodasi tradisi itu menjadi bagian integral dari agama itu sendiri agar seorang yang beragama tidak kehilangan akar kulturalnya. Sebagaimana dahulu Tuhan “meminjam” bahasa Arab dengan segala kekayaan kulturalnya untuk mewadahi gagasannya (Alquran). Beragama tidak musti harus menjadi Arab dengan segala atribut budaya yang mengitarinya. Bahkan menjadi Sunda sejati justru adalah cermin melakukan ziarah terhadap jantung keberagamaan itu sendiri.
Maka menjadi dapat dipahami metafora yang digunakan Hasan Mustapa adalah idiom yang hidup tumbuh dalam alam pikiran masyarakat Sunda seperti rebung dengan bambu, seperti pohon aren dengan caruluk (bahan aren) untuk menggambarkan awor-nya (melekat) hubungan antara hamba (kaula) dengan Tuhan (Gusti). Atau cerita-cerita lain yang berkembang di masyarakat Sunda seperti Mundinglaya di Kusumah, Hariang Banga, Ciung Wanara, Sunan Ambu, Prabu Siliwangi, Ratu Galuh, Dayang Sumbi, untuk “mengganti” cerita tokoh-tokoh Islam, dan sebagainya.
Dengan suluknya yang penuh metafora yang kemudian dijadikannya sebagai bagian dari sejarah pengalaman kesehariannya, maka agama (Islam) dan budaya (Sunda) di tangan Hasan Mustapa benar-benar mampu tampil melampaui tapal batas formalisme dan menusuk ke jantung (mataholang) religiusitas dan tradisi.
Menghidupkan kembali suluk ala Hasan Mustapa menjadi amat penting untuk kita perhatikan di tengah situasi kebangsaan dan aras kesundaan yang akhir-akhir ini malah didominasi oleh pemikiran dan gerakan Islam yang lebih mengedepankan aspek formalitas-simbolik ketimbang substansi, lebih menonjolkan arabisme daripada jiwa kesundaannya. Padahal justru, sebagaimana ditulis Ali Harb (1996), semarak ritual keagamaan yang simbolistik hanya akan menyusutkan subtansi moralitas dan spirit keagamaan. Sebaliknya, keberagamaan yang substantif akan memperteguh nilai-nilai ideal agama itu sendiri serta menginspirasikan perubahan sosial dan budaya ke arah ruang hidup yang berharkat.***[ASEP SALAHUDIN, Pengasuh Kolom Kesundaan Sunan Gunung Djati yang terbit setiap hari Kamis]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H