Mohon tunggu...
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung Mohon Tunggu... -

Sunan Gunung Djati adalah Harian Online Blogger Sunan Gunung Djati. Semula berawal dari Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung yang terbentuk pada tanggal 27 Desember 2007. Sejak 9 Februari 2009 dapat mengudara di Jagat Internet. Staff Redaksi: Pimpinan Umum: Ibn Ghifarie| Pimpinan Redaksi: Sukron Abdilah| Pengelola dan Keamanan Website: Badru Tamam Mifka, Zarin Givarian, Ahmad Mikail| Desain: Nur Azis| Kontributor Tetap: Pepih Nugraha (Senin-Ngeblog), Neng Hannah (Selasa-Gender), Bambang Q Anees (Rabu-Filsafat), Asep Salahudin (Kamis-Kesundaan), Afif Muhammad (Jumat-Teologi), ASM Romli (Sabtu-Media) Tim Susur Facebook: Cecep Hasanuddin, Reza Sukma Nugraha Tim Susur Blog: Amin R Iskandar, Jajang Badruzaman, Dasam Syamsudin, Dudi Rustandi. Seputar Redaksi: redaksi@sunangunungdjati.com Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Selengkapnya klik www.sunangunungdjati.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bila Rasulullah Datang Ke Mesjidmu (1)

9 Desember 2009   02:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:01 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sunan Gunung Djati-Bila Rasulullah bertamu ke rumahku, ia akan kuajak ke mesjid dan berjamaah bersama-sama dengan yang lain.

Akan kuajak Rasulullah ke mesjid karena aku mau menunjukkan padanya betapa setianya saya shalat berjamaah demi 27 derajat pahala, Mungkin akan kuajak shalat Jumat dan mendengarkan khutbah yang panjang.

Aku juga akan menunjukkan betapa fasihnya saya berkhutbah. Saya teramat terampil berkhutbah, fasih, menari-nari, dan panjang. Ah…ini memang keistimewaanku yang membuatku diundang ke sana ke mari.

Tetapi sebuah hadits mengingatkanku, sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, “Rasulullah itu senantiasa menjaga (waktu) dalam memberikan nasihat kepada kami dalam beberapa hari, karena untuk menghindari kebosanan kami”. Kalau begitu, kenapa saya berkhutbah sedemikian panjang? Aih, rupanya saya termasuk orang yang butuh pendengar, sehingga ketika semua orang seperti mendengarkanku dengan mulut menganga ada perasaan senang di hati ini. Lalu pada saat itu, saya menambahkannya dengan sejumlah argumen, kutipan dalil, dan humor yang menyegarkan. Sedangkan perkara kebosanan dan sampainya pesan, sungguh tak pernah terperhatikan. Lebih dari itu, sebagai pengkhutbah saya sering memberikan ancaman ketakutan pada jemaah, “Bila kalian tak beribadah, neraka jahanam!”, ini sih masih wajar. “Bagi orang-orang yang berbeda dengan kita, mereka adalah bid’ah, dan tempat bagi pembid’ah adalah neraka jahanam!”

Bagaimana Rasulullah dapat mendengarkan ancaman-ancaman saya di atas podium mesjid? Pada saat itu tentu saja saya seperti sedang memberikan suara resmi agama Islam. Suara yang muncul dari balik podium dalam acara resmi ibadah tentulah akan dianggap sebagai suara Islam, bahkan suara Tuhan. Ah…saya jadi malu juga mengenang kelakuan ini. Sebuah hadits yang diriwayatkan dari kakeknya Sa’id bin Burdah teringat juga, bahwa Rasulullah Saw ketika mengutus Muadz dan Abu Musa Al-Asy’ari ke Yaman (untuk berdakwah) berpesan, buatlah kemudahan, janganlah kalian mempersulit; gembirakanlah (mereka), janganlah kalian membuat mereka berlari, sayangilah (mereka) dan janganlah kalian membuat perselisihan (dengan mereka). Rasulullah saja memberikan kemudahan, kenapa saya kerap memberikan ancaman dan memancing kerusuhan dengan jamaah?

Saat itu pula saya teringat pada kisah yang diceritakan dalam kitab Shahih Bukhari. Kisah ini diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Pada suatu hari datanglah seorang lelaki menghadapi Rasulullah Saw, seraya berkata, ‘Aku benar-benar orang yang rusak sebab aku telah menyetubuhi istriku siang hari di bulan Ramadhan’. Rasulullah saw lantas berkata, “Merdekakanlah seorang budak!” Ia menjawab, ‘Aku tidak memiliki budak, Ya Rasulullah!” Beliau lalu berkata, “Berpuasalah dua bulan berturut-turut!” Lelaki itu manjawab “Aku tak mampu melakukannya”. Kemudian beliau menjawab, “Kalau begitu, berilah makan 50 orang miskin.” Lelaki itu berkata, “Ya Rasulullah aku ini adalah orang yang tak memiliki apa-apa”.

Kemudian didatangkan wadah yang penuh dengan kurma, beliau lalu berkata kepadanya, “Sedekahkanlah kurma ini kepada orang yang meminta”. Lelaki itu lantas berkata, “Ya Rasulullah, aku ini adalah orang yang paling fakir, demi Allah, tidak ada keluarga yang memerlukan kurma ini melebihi kebutuhaku”. Mendengar penuturan ini Rasulullah saw tertawa sampai gigi depan beliau tampak. Lalu beliau berkata, “Kalau demikian, maka pergilah dan serahkan kurma ini pada keluargamu”.

Dapatkah saya sebagai pengurus mesjid, sebagai yang dianggap pemuka mesjid, melakukan kearifan semua itu?

Tapi Rasulullah akan tetap diajak ke mesjid, saya akan berjalan di sampingnya, O alangkah senangnya. Mungkin akan kuperkenalkan kepada semua orang bahwa orang hebat di sampingku ini adalah Rasulullah Muhammad saw yang sengaja bertamu ke rumahku karena aku adalah “saudaranya”. Lalu semua orang mengagumiku, seraya menganggapku sebagai orang suci, kyai besar, dan menyangjungku secara luar biasa. …eh nanti dulu, bagaimana kalau mereka berebut merayu sang Rasul untuk datang ke rumahnya, dan Rasulullah lalu kepincut untuk menginap di rumahnya saja? Tidak, tidak, saya hanya akan mengajaknya ke mesjid dan membiarakan semua orang bertanya-tanya, “Siapa sih orang yang datang bersama Anees itu?” Saat itu akan bangga dan puas membiarkan semua orang dalam tanda tanya dan rasa iri.

Rasulullah akan kuajak ke mesjid dan akan kutunjukkan bagaimana sempurnanya shalatku. Oh ya, tentu saja sebelum shalat saya akan berwudlu di tempat wudlu mesjid, di keran mesjid yang…pesing. Bagaimana saya harus menjelaskan bau pesing ini padanya? Ini mesjid, tempat bersujud kepada Allah bagi orang beriman. Bagaimana komentarnya? Saat itu saya teringat pada salah satu hadits populer yang sangat saya hafal pada saat ibtidaiyah dulu, “Kebersihan itu sebagian dari iman”. Semua orang saya pikir menghafalnya, juga dinding-dinding mesjidku. Lihat saja pada beberapa bagian ada tulisan kaligrafi Annadhofatu minal Iman, indah dipandang namun bila dengan cara menutup hidung. Tulisan itu tertera namun WC kami, tempat wudlu kami begitu kumuh, belum lagi sampah yang berserakan dan lantai mesjid yang lupa dipel.

Tapi biarlah, saya akan berkilah, memberikan sejumlah alasan kepadanya. Misalnya saya akan berkata kepadanya, “Teramat banyak orang yang datang ke mesjid ini, semuanya masuk ke WC. Sayangnya kami kekurangan uang untuk membeli mesin penyedot air; akhirnya air yang kami punya tak cukup menyiram semua air kencing yang tercurah, juga tak bisa digunakan untuk mengepel lantai mesjid. Kami akhirnya memilih untuk menggunakan air hanya demi berwudlu saja, bukankah fungsi utama air di mesjid adalah untuk berwudlu dan bukan untuk yang lainnya”.

Argumen ini barangkali akan membuatnya paham dan tidak memandang kami secara aneh, sebagai pengingkar sunnah.

Bisakah saya berbohong padanya?

Hmmm…rasa malu semakin menumpuk, menebal menutupi seluruh wajahku. [BAMBANG Q ANEES, Pengasuh Kolom Filsafat Sunan Gunung Djati yang terbit setiap hari Rabu]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun