Mohon tunggu...
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung Mohon Tunggu... -

Sunan Gunung Djati adalah Harian Online Blogger Sunan Gunung Djati. Semula berawal dari Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung yang terbentuk pada tanggal 27 Desember 2007. Sejak 9 Februari 2009 dapat mengudara di Jagat Internet. Staff Redaksi: Pimpinan Umum: Ibn Ghifarie| Pimpinan Redaksi: Sukron Abdilah| Pengelola dan Keamanan Website: Badru Tamam Mifka, Zarin Givarian, Ahmad Mikail| Desain: Nur Azis| Kontributor Tetap: Pepih Nugraha (Senin-Ngeblog), Neng Hannah (Selasa-Gender), Bambang Q Anees (Rabu-Filsafat), Asep Salahudin (Kamis-Kesundaan), Afif Muhammad (Jumat-Teologi), ASM Romli (Sabtu-Media) Tim Susur Facebook: Cecep Hasanuddin, Reza Sukma Nugraha Tim Susur Blog: Amin R Iskandar, Jajang Badruzaman, Dasam Syamsudin, Dudi Rustandi. Seputar Redaksi: redaksi@sunangunungdjati.com Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Selengkapnya klik www.sunangunungdjati.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menimbang Nalar Sangkuriang

17 November 2009   17:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:18 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sunan Gunung Djati-Pada Sabtu (10/10/2009) Asep Salahudin menuliskan perlunya masyarakat Sunda memunculkan nalar Sangkuriang sebagai rujukan nalarnya.

Alasannya, Sangkuriang menunjukkan kemampuan ajaib dalam mencipta hal-hal monumental dalam waktu sekejap suatu “prestasi” yang konon tidak dimiliki manusia Sunda masa kini.

Sangkuriang juga, bagi Asep, menunjukkan “kepercayaan penuh atas potensi dan otonomi dirinya” dan “hanya percaya terhadap akal budinya” walaupun harus melawan arus nilai. Dari uraiannya yang panjang, Asep kemudian menyimpulkan bahwa dari Sangkuriang, kita belajar tentang mentalitas juara manusia Sunda: bahwa manusia Sunda harus memiliki watak ulah kumeok memeh dipacok (jangan menyerah dahulu sebelum dikerjakan dengan optimal) dan gede wewanen (pemberani). Tafsir lain Tentu saja tulisan tentang nalar Sunda sangat menarik, tetapi ada tafsir lain yang harus dipertimbangkan. Pertama, pantun Sangkuriang, bagi saya, adalah kritik tradisi Sunda atas nalar modern yang instrumental. Nalar instrumental, menurut Erich Fromm, memiliki kaidah “apa yang mungkin dilakukan, harus direalisasikan” bahkan bila harus menghancurkan nilai-nilai tradisi. Kekuatan nalar instrumental, secara sepintas, memang sanggup menghasilkan “pembangunan secara cepat”. Namun, nalar jenis ini akan menjerembabkan manusia pada keterasingan dirinya, terlepas dari tradisi, bahkan dari dirinya sendiri. Karena itu, nalar Sangkuriang ditolak. Kerja kerasnya hanya menghasilkan kemarahan dan sesuatu yang sia-sia (tak bermakna dan tak sesuai fungsi, teleologis). Kedua, tradisi Sunda dalam nalar Sangkuriang (diwakili Dayang Sumbi) memiliki kemampuan untuk mengatasi nalar instrumental. Melalui “muslihat” fajar buatan Dayang Sumbi, Sangkuriang merasa dikalahkan oleh tenggat waktu. Ini juga menunjukkan karakteristik nalar tradisi Sunda lebih mengenali alam dan bersahabat dengan waktu, sedangkan nalar modern sanggup mencipta hal-hal mustahil, tidak mengenali tanda waktu, dan penuh hawa nafsu. Atas dasar itu, nalar Sunda tidak dapat menjadi alternatif penyelesaian Sunda ngarangrangan. Tradisi Sunda tidak membutuhkan hal-hal yang monumental saja sembari melupakan tradisi dan mengeksploitasi alam. Tradisi Sunda justru membutuhkan nalar yang satu sisi dapat mendorong karya yang menyelesaikan masalah sambil tetap merujuk pada tradisi dan harmoni alam. Itu semua dapat ditemukan pada nalar Purbasari dalam pantun Lutung Kasarung. Nalar Purbasari Seluruh kisah pantun Lutung Kasarung menceritakan upaya penyelesaian masalah yang dilakukan Purbasari dengan tetap merujuk pada tradisi dan harmoni alam. Di bawah tekanan situasi politik Purbararang, Purbasari dapat menyelesaikan masalah dan bahkan menarik dukungan seluruh rakyatnya. Ia justru menunjukkan ketekunan menyelesaikan masalah demi masalah sampai rakyat dapat menilai dan memilih bahwa dirinya (dengan seluruh prestasinya) lebih berhak menjalankan kuasa pemerintahan. Pada Purbasari juga terdapat hal-hal monumental, seperti membuat ladang yang subur dalam waktu sebentar dan menaklukkan amuk banteng yang mengganggu masyarakat. Kesemuanya dilakukan Purbasari dengan bantuan seekor lutung (kasarung) “suatu pola nalar yang menjadikan alam sebagai kawan, bukan obyek eksploitasi (sebagaimana dilakukan Sangkuriang). Di titik ini, merujuk Fritjof Capra, dapat dikatakan bahwa nalar Sangkuriang bersifat ekonomis (yang menekankan kompetisi, ekspansi, dan dominasi), sedangkan nalar Purbasari lebih ekologis (menekankan kerja sama, pelestarian, dan kemitraan). Nalar Sangkuriang, merujuk pada Whitehead, adalah nalar metodologis yang membatasi diri pada metode-metode partikular yang sampai pada suatu saat tertentu saja terbukti keampuhannya. Ia bersifat pragmatis karena wawasan masa depannya pendek, sekadar mengatasi masalah di depan mata sambil menyisakan masalah baru yang lebih besar. Nalar pragmatis ini persis seperti Odysess dan Sangkuriang. Keduanya menunjukkan kehebatannya dalam mencipta, tetapi harus kehilangan jati dirinya karena nafsu. Adapun nalar Purbasari yang terus terhubung dan bekerja sama dengan spiritualitas Sunan Ambu menunjukkan tropisme (kerinduan akan cahaya sumber) yang membawa kebaruan imajinatif yang tetap relevan, tetapi sekaligus mengungguli cara-cara pragmatis. Nalar jenis ini sanggup merumuskan sebab-sebab yang tak biasa sehingga dapat memberikan cara penyelesaian yang lebih memadai. Saat ini justru tradisi Sunda kelebihan nalar Sangkuriang, dengan cinta tradisi yang membabi buta atau sama sekali lupa tradisi dan karya yang merusak alam (juga jiwa). Yang kita butuhkan saat ini bukanlah pembangunan monumental dalam waktu sekejap, melainkan kerja kreatif penyelesaian masalah seperti yang dilakukan Purbasari. Maka, saat ini kita membutuhkan nalar Purbasari. BAMBANG Q-ANEES Pengamat Budaya Sunda [Kompas, Sabtu 14 November 2009]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun