Sunan Gunung Djati-Ada satu hal yang membuat hidup saya berirama. Membuat hidup selalu berwarna. Membuat hidup selalu bergairah. Hal tersebut adalah harapan. Ya, harapan membuat saya bersemangat setiap kali terjatuh dalam kesedihan dan kekecewaan.
Seperti yang pernah terjadi sepuluh tahun lalu saat saya mengalami perasaan jatuh cinta dan sekaligus patah hati karena ditolak dan diabaikan. Saat saya kuliah semester 5, saya mengalami perasaan jatuh cinta yang membuat tersiksa. Saat perasaan itu datang saya selalu ingin menyangkalnya. Jatuh cinta pada seseorang bagi saya saat itu adalah sebuah kesalahan.
Saat itu saya sudah menegaskan diri bahwa hidup adalah cinta pada Allah. Cinta pada seseorang haruslah datang pada saat yang tepat dan pada orang yang tepat. Saat yang tepat adalah setelah pernikahan dan orang yang tepat adalah suami. Pemahaman inilah yang selama ini ditanamkan oleh keluarga. Karenanya perasaan jatuh cinta yang saya alami seperti sebuah siksaan yang kejam. Dada saya sering sesak bila memikirkannya. Saya tak berani membicarakannya apalagi mengakuinya. Perasaan ini saya simpan sendiri. Saya takut keluarga akan marah bila tahu saya sedang jatuh cinta pada seseorang. Seringkali saya merasa bersalah dan menangis di setiap shalat malam.
Saya berusaha keras untuk terbebas dari perasaan tersiksa ini. Semakin saya menyangkalnya semakin sakit terasa. Dengan sisa keberanian yang saya miliki, saya mencoba menghadapinya. Dengan resiko ditertawakan dan dianggap kotor hati, saya mencoba untuk membicarakannya. Keluarga, terutama kakak perempuan adalah pihak pertama yang saya ajak bicara. Saya sampaikan perasaan saya apa adanya. Anehnya, dia tidak mentertawakan apalagi menganggap hati saya kotor. Justru dia menghargai keberanian saya membicarakan perasaan jatuh cinta yang menyiksa. Saat itu perasaan saya agak lega. Ternyata apa yang saya alami bukanlah hal buruk.
Perasaan jatuh cinta tak mengenal kata ’saat yang tepat’. Ia bisa datang kapan saja. Setelah itu keberanian saya bertambah. Lalu saya mencoba mengungkapkan perasaan itu pada seseorang yang selama ini mengganggu pikiran saya. Saya bilang “gue suka lo”. Saya tak berani mengungkapkan langsung dihadapannya. Saya mengatakannya lewat telfon. Kelegaan saya semakin bertambah. Rasanya separuh beban yang memenuhi hati ini terangkat begitu saja. Tetapi…kelegaan itu tak bertahan lama. Beban itu kembali menyesaki dada ketika apa yang saya ungkapkan tidak diresponi, apalagi dijawab. Namun yang jelas dia memilih yang perempuan lain dan menikahinya. Saya patah hati. Saya kecewa. Saya Sedih. Rasa sakitnya melebihi perasaan jatuh cinta yang menyiksa. Harga diri sempat saya simpan untuk menyampaikan perasaan ini. Konsep Cinta pada Allah yang saya jalankan selama ini hancur berantakan. Saat itu saya merasa kehilangan kepercayaan diri. Saya merasa jadi orang terbodoh di dunia.
Pada sebuah malam muhasabah di Darut Tauhid, saya mencoba menghibur kesedihan dan kekecewaan yang sedang dialami. Saya sebenarnya tak ingin lari dari permasalahan. Untuk sembuh saya harus menghadapinya. Tapi saya butuh waktu dan hiburan sementara ini. Karena itulah saya berada di tengah kumpulan jamaah Darut Tauhid malam itu. Seorang penceramah menceritakan tentang sebuah kisah hikmah tentang seseorang yang kamarnya berantakan akibat perbuatan seekor ayam. Ayam tersebut tidak saja membuat kamar tersebut berantakan, tapi ia menumpahkan segala macam yang ada di kamar sehingga mengotorinya bahkan sang ayam sempat membuang kotorannya di sana. Terbayang betapa marah sang empunya kamar akibat perbuatan ayam tadi. Tapi bagaimana pun juga kemarahannya tak kan berguna apa-apa, karena bila sang empunya kamar menutup rapi pintu kamar, tak kan mungkin si ayam punya kesempatan masuk untuk mengacak-ngacak kamar. Hal yang harus dilakukan oleh sang empunya kamar setelah kejadian tadi adalah membersihkan dan merapihkan lalu menutup pintu kamar dengan rapi.
Hati diibaratkan sebuah kamar/ruang yang harus dijaga dan dirawat keindahannya. Agar ruang tersebut nyaman dan berfungsi dengan baik. Tak ada seorang makhlukpun bisa menempati ruang tersebut bila Allah telah mengisinya. Karena Allahlah yang telah menciptakan ruang tadi. Bila yang lain mengisinya sebagai tandingan Allah maka kamar itu akan terasa sempit dan sesak. Sebagaimana al-Qur’an menyebutkan dengan indah “Sesungguhnya Aku tidak menciptakan dua ruang di dalam dada manusia”. Bila Allah tak berada di sana, maka yang lainlah penghuninya.
Kisah tadi begitu mengena di hati saya yang sakit dan berantakan. Ya, hati adalah sebuah ruang. Saya telah membiarkan ruang hati ini terbuka untuk seseorang yang tak mendekatkan diri kepada Allah. Seseorang yang jiwanya tak kukenal. Seseorang yang entah mulai kapan memalingkan hati ini dari mengingat-Nya. Rasa sakit yang teralami adalah akibat perbuatan yang lalai menjaga Allah untuk tetap berada di ruang hati ini. Namun karena perasaan jatuh cinta dan sekalugus patah hati inilah yang membuat saya sedikit lebih memahami hakikat mencintai Allah. Karena untuk memahami cinta seseorang harus pernah merasakan jatuh cinta.
Allah berasal dari bahada Arab yaitu Ilah. Ilah secara bahasa adalah sesuatu yang dicintai, sesuatu yang diutamakan, sesuatu yang dipuja, sesuatu yang ditaati dan ini bisa berarti apa saja. Ia bisa berarti harta benda, jabatan, lawan jenis, anak, ilmu, kekuasaan dan lain-lain selain Allah. Bila Ilah sudah diawali dengan alif lam ma’rifat menjadi Allah, maka akan bermakna khusus dan ini hanya ditujuan untuk Allah Rabbul ‘Alamin. Pencipta semua makhluk dan seluruh alam. Allah yang inilah yang harus dicintai, diutamakan, dipuja dan ditaati selainnya harus dinafikan.
Mengapa sang Pencipta ingin dikenal dengan sebutan Allah? Karena rasa cintanya kepada seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi dan diantara keduanya. Seluruh makhluk yang penah ada Ia cintai tanpa syarat. Siapa pun dia, darimana asalnya, seperti apun kondisinya. Ia memberikan cintanya berupa rahman (kasih sayang) kepada siapa pun yang dia kehendaki. Pada saat seorang manusia mendekati-Nya sejengkal, maka Ia akan mendekatinya sehasta. Jika seorang manusia mendekati-Nya sehasta, maka Ia akan mendekatinya sedepa. Pada saat seorang manusa mendekati-Nya dengan berjalan, maka Ia akan mendekatinya dengan berlari. Betapa besar rasa cintanya kepada tiap manusia. Kenapa pula banyak manusia yang berpaling dari cintanya?
Inti ajaran Islam terdapat dalam kalimat Tauhid, Laa ilaha Illalah tidak ada Ilah selain Allah. Laa yang berarti tidak, adalah penafian yang berlaku selama-lamanya. Apa yang ditiadakan /dinafikan? Adalah hal-hal selain Allah yang menjadikan seseorang lalai dalam mengingat-Nya. Setelah semuanya hilang hanya satu yang harus ditetapkan Illalah. Hanya Allah satu-satunya. Apapun yang ada di dunia ini hanyalah sarana untuk mendekatkan seseorang kepada Allah, bukan tujuan. Apakah itu harta benda, anak, jabatan, kekuasaan, suami/istri atau apapun juga. Itulah harapan sejati setiap manusia.
Pada saat seseorang mencintai sesuatu, maka ia akan menjadi budaknya. Sesuatu tersebut adalah tujuannya. Hati seseorang yang mencintai akan mengharapkan balasan seperti apa yang telah dirasakannya. Padahal belum tentu sesuatu tersebut sesuai dengan harapan. Bila tak sesuai dengan harapan maka seseorang akan mengalami rasa sakit yang dalam. Itulah akibat dari menomorsatukan cinta kepada makhluk.
Ada sebuah kisah Cinta sejati yang dialami seorang makluk pilihan Allah sehingga ia digelari Khaliulullah (Kekasih Allah) yaitu nabi Ibrahim a.s. Kisah ini dimulai dengan 100 tahun penantian Ibrahim akan hadirnya seorang anak. Kehadiran seorang anak bagi Ibrahim bukan sekedar pelipur lara dan tempat mencurahkan kasih sayang seorang ayah. Lebih dari itu yang difikirkannya adalah penerus risalah kerasulan yang harus tersampaikan kepada seluruh manusia di muka bumi. Setelah penantian yang panjang akhirnya Ibrahim memiliki seorang anak yaitu Ismail dari seorang istrinya yang bernama Hajar.
Setelah melahirkan, Hajar dan Ismail dikirim Ibrahim ke sebuah padang pasir tandus dan ditinggalkan begitu saja tanpa perbekalan air serta makanan yang cukup. Hajar berjuang membesarkan Ismail seorang diri dan mengenalkan Ismail tentang ayahnya Ibrahim. Meski Ismail tak pernah bertemu dengan ayahnya, tapi Ismail mencintai ayahnya sebagai seorang rasul. Hajar telah berhasil mendidik Ismail menjadi seorang rasul penerus Ibrahim.
Saat usia Ismail Mumayiz atau menjelang remaja, barulah Ibrahim menengok Ismail. Saat bertemu anaknya, apa yang dilakukan Ibrahim? Ia diperintahkan Allah untuk menyebelih Ismail. Disampaikannya perintah Allah tersebut pada anaknya. Apa jawab Ismail mendengar berita ini? Ia menjawab “Hai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan padamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang shabar”. Kalau itu terjadi pada saya, mungkin saya akan marah. Setelah saya dikirim seorang ayah ke tempat yang tandus dan tak berpenghuni, kekurangan air serta makanan dan tak pernah sekalipun ditengok, tiba-tiba saat bertemu ia ingin menyembelih saya. Tapi itu tidak terjadi pada Ismail. Mental apa yang dimilikinya?
Ibrahim tak semata-mata mengirim Ismail ke tempat tandus dan akan menyembelihnya melainkan menjalankan perintah Allah. Ismail adalah kecintaan bagi Ibrahim. Kehadirannya sangat dinantikan Suntuk meneruskan risalah Tauhid. Ismail adalah Ilah bagi Ibrahim saat itu. Allah mengujinya dengan perintah meninggalkan dan menyembelih Ismail. Allah menguji cinta Ibrahim pada-Nya dengan mengorbankan Ismail. Pada saat penyembelihan ini, betapa syetan gencar menggoda Ibrahim untuk mengurungkan niatnya. Setelah tak berhasil merayu Ibrahim, beralihlah syetan merayu Hajar dan Ismail. Tapi ketiganya tetap pada pendirian menjalankan perintah Allah sebagai bukti kecintaan kepada-Nya. Akhirnya Allah mengganti Ismail dengan seekor kambing.
Cerita dalam al-Qur’an ini menjadi rujukan dilakukannya penyembelihan qurban dikalangan umat Islam pada idul Qurban. Moment ini bukan sekedar waktu untuk menyembelih kambing dan menumbuhkan kesadaran sosial untuk berbagi dengan yang tidak mampu. Tapi lebih dari itu idul Qurban merupakan kisah cinta sejati yang harus diikuti oleh setiap muslim sebagai sumber inspirasi. Di sini penyembelihan Qurban merupakan sebuah contoh agar setiap manusia menyembelih ‘Ismail’ yang ada dalam dirinya. ‘Ismail’ ini bisa berupa pangkat, jabatan, harta, suami/istri, anak dan hal-hal lainnya selain Allah.
Mari kita bersihkan ruang hati kita yang selama ini dikotori oleh ‘ismail’ yang membuat kita berpaling dari cinta hakiki. Cinta Ilahi. Peristiwa jatuh cinta sekaligus patah hati yang saya alami tak seberapa dibandingkan dengan apa yang dialami Ibrahim dan Ismail. Inilah harapan sejati. Harapan yang akan senantasa menjadikan sesorang survive dalam hidupnya.
Menyalahkan ayam yang telah mengotori ruang hati yang saya miliki adalah perbuatan sia-sia. Saat itu juga tumbuh harapan yang membuat saya kembali bersemangat untuk bersih-bersih. Saya tahu bahwa ruang yang saya miliki berantakan, kotor dan mungkin bekas kotoran ayam sulit dibersihkan. Tapi saya berkeyakinan waktu dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya Ilah membantu membereskan semuanya. Inilah sebuah harapan sejati yang saya maksudkan.
Waktu terus berjalan, peristiwa jatuh cinta sekaligus patah hati telah lama berlalu dan berganti. Perstiwa-peristiwa lain bergantian mendatangi. Ada bahagian, sedih, kecewa, marah, bingung, terkadang menyapa kembali. Namun selama masih memiliki harapan menyembelih “ismail”, saya yakin saya bisa menjalaninya dengan penuh kebahagiaan. Semoga!!! [NENG HANNAH, Pengasuh Kolom Gender Sunan Gunung Djati yang terbit setiap hari Selasa]
Blue Diamont 11 November 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H