Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Sajubo, Ketika Melanggar Aturan Jadi Budaya

4 Desember 2024   18:57 Diperbarui: 4 Desember 2024   19:01 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Spanduk di salah satu mini market. (instagram/gojek24jam/suara.com.news)

Ada ungkapan bahasa sunda yang berbunyi "sarua wae jeung tai kotok dilebuan", artinya sama saja dengan tahi ayam ditaburi tanah, pasir atau abu gosok. 

Secara teori, menaburi tahi ayam dengan tanah, pasir atau abu gosok pada masa lalu seringkali dilakukan oleh masyarakat sebagai suatu kebiasaan untuk bersikap empati atau berjiwa sosial. 

Sebab kebiasaan menaburi tanah, pasir atau abu gosok pada tahi ayam, yang biasanya berceceran sembarang di jalan atau di sekitar halaman rumah ditujukan untuk menutup sementara, agar pemandangan jorok dan aroma baunya hilang. 

Kemudian tahi ayam yang telah ditaburi tanah, pasir atau abu gosok akan dibersihkan usai taburan tanah, pasir atau abu gosoknya telah mulai menyatu dan mengering sebagai cara agar memudahkan  pengalihan atau pembuangannya. 

Selain itu, taburan tanah, pasir atau abu gosok juga untuk mengantisipasi atau sebagai awal pengamanan supaya orang yang tidak sengaja menginjak, tidak langsung menginjak kotoran ayamnya.

Walaupun pada kenyatannya, tahi ayam yang sudah bertabur tanah, pasir atau abu gosok yang terinjak oleh kaki seseorang tetap saja tak mampu menghapus jorok dan baunya dari kaki si penginjak. Antisipasi inilah yang kemudian menjadi empati atau jiwa sosial yang sia-sia. Suatu perbuatan baik yang hasilnya sama juga bohong. 

Selanjutnya, kita tinggalkan sejenak soal tahi ayam ditaburi tanah, pasir atau abu gosok. Mari mengamati bungkus-bungkus rokok yang dijual sejak 24 Juni 2014.! Apa yang berbeda dari bungkus rokok sebelumnya? 

Berdasarkan PP Nomor 109 Tahun 2012, yang berisi kewajiban untuk mencantumkan peringatan kesehatan berupa gambar PHW (Pictorial Health Warning) pada setiap kemasan atau bungkus rokok, yang berlaku efektif mulai tanggal 24 Juni 2014, yang tentunya memiliki harapan agar perokok atau orang yang berniat merokok akan membatalkan aktivitas atau niat merokoknya setelah melihat dan membaca PHW. 

Namun faktanya, produk rokok tetap laris manis meski mengalami penurunan, angka penyakit dan kematian akibat rokok juga tetap terbilang besar, dan salah satu daftar orang terkaya, yang adalah pemilik perusahaan rokok merupakan bukti bahwa PHW pada kemasan rokok tidak berdampak signifikan. 

Artinya, orang tak takut dengan peringatan bahaya. Ujungnya, PHW tidak berdampak pada berhentinya para perokok dari kecanduan, kesadaran akan kesehatan, kematian hingga kemiskinan akibat rokok. PHW dan harapannya tampak konsisten bertolak belakang pada kenyataan hasilnya. PHW ada, tapi intinya tetap sama juga bohong. Tidak ada efeknya. 

Bagi banyak perokok, jangankan hanya sebatas peringatan, di-sweeping dengan ancaman denda Rp 50 juta atau hukuman kurungan selama enam bulan pun rasanya tak akan gentar. Pasalnya, mereka tahu bahwa pelaksanaan atau penerapan aturan yang sanksinya berupa denda atau kurungan ringan, cuma akan berjalan "hangat-hangat tahi ayam".

Seperti pernah terjadi di Jakarta sekira tahun 2008 ketika kampanye dan uji petik yang diatur dalam Perda No 2 Tahun 2005 dan Pergub No 75 Tahun 2005, bagi perokok yang terbukti merokok di kawasan dilarang merokok, akan dikenakan sanksi denda sebesar Rp 50 juta atau hukuman kurungan selama enam bulan. Kala itu sosialisasi dilakukan melalui sweeping di lokasi-lokasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) seperti terminal, sekolah, tempat-tempat peribadatan, tempat layanan kesehatan dan angkutan umum.

Hasilnya, sweeping yang dijalankan hanya sebatas sosialisasi dan bersifat pra yustisi, artinya mereka yang tertangkap belum akan dikenakan sanksi melainkan hanya diberi teguran dan diminta mengisi surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya. Dan seperti yang sudah diduga, pelaksanaan atau penerapannya "hangat-hangat tahi ayam"atau melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh hanya pada permulaannya saja. 

Berikutnya, pada kasus parkir sembarangan yang terjadi di mana-mana di banyak titik di wilayah Indonesia, yang menunjukkan bahwa tata kelola perpakiran di negeri ini sesusunghnya masih sangat perlu pembenahan. Salah satu informasi klise jika tak boleh dibilang masalah klasik di kasus perparkiran yang perlu dibenahi adalah fenomena "sajubo", yang dampaknya akan bermuara pada pertanyaan, di mana letak keseriusan pemerintah dalam mengelola perparkiran bila masalah yang sama selalu datang berulang-ulang tanpa penyelesaian?   

Sebuah masalah klasik parkir yang tak pernah tuntas dan seringkali menimbulkan debat, sengketa, perseteruan hingga bentrok fisik antara pemilik kendaraan bermotor dengan tukang parkir adalah terpampangnya poster, banner atau spanduk "parkir gratis" di suatu area parkir, tetapi dengan santai dan tanpa perasaaan bersalahnya serta entah sudah mendapatkan izin dari mana, tukang parkir tetap eksis dan menarik bayaran.   

Sebagian besar dari kita kerap berpikir, apa gunanya poster, banner atau spanduk parkir gratis jika tarif parkir tetap diminta bahkan kadang dilakukan dengan bahasa wajah dan tubuh memaksa. Kita pasti menyadari bahwa hal tersebut terjadi bukan karena tukang parkir tak bisa membaca isi pesan dari poster, banner atau spanduk yang terpasang, melainkan banyak hal lain yang bisa dijelaskan sebagai penyebabnya, yang akhirnya kita hanya bisa menarasikan "aturan ada untuk dilanggar" pada peristiwa-peristiwa semacam itu.

Tidak adanya ketegasan hukum, pembiaran yang terus terjadi berulang-ulang, ketidakpedulian pada keteraturan, menganggap perkara-perkara semacam cuma perkara kecil yang akan selesai dengan sendirinya dan penerapan aturan yang hangat-hangat tahi ayam, sehingga membuat banyak aturan dibuat terkesan hanya sebatas teori, yang bertolak belakang dengan praktik. 

Sejumlah aturan bahkan tampak hebat pada retorika sayangnya mampat pada realita.  Di sisi lain, banyak aturan dibuat tertulis lalu dipasang dengan jelas dan besar-besar tetapi pelanggaran justru terjadi di depan aturan tertulis itu ditampilkan. Parkir gratis tetap bayar. Dilarang parkir tetap parkir. 

Itulah fenomena "sajubo", ketika perbuatan melanggar aturan jadi budaya. Berasal dari kata "sama juga bohong". Yaitu suatu kondisi atas perbuatan atau aksi-reaksi atas aturan yang tidak sesuai dengan harapan sebenarnya atau yang seharusnya terealisasi. Oleh karenanya, seperti ungkapan bahasa Sunda "sarua wae jeung tai kotok dilebuan", saat tahi ayam ditaburi tanah, pasir atau abu gosok maka semestinya sesegera mungkin dibersihkan tanpa menunggu kering sehingga tak ada orang yang tak sengaja menginjaknya.

Begitu pula seharusnya aturan ditegakkan dengan segera tanpa ditunda atau sekadar "hangat-hangat tahi ayam". Ditegakkan dengan adil dan secara konsisten tanpa pandang bulu sehingga tak ada orang yang berani melakukan pelanggaran yang sama, apalagi menjadi budaya. Mau sampai kapan fenomena "sajubo", terutama yang bersentuhan dengan aturan atau hukum dibiarkan terus dan menjadi budaya yang sulit dihentikan?  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun