Entah sejak kapan kebiasaan mentraktir teman-teman kerja di beberapa kantor atau perusahaan menjadi ritual budaya yang wajib dijalani. Apakah jika pekerja resign tak melakukan ritual traktir ia akan terkena sanksi sosial? Apakah budaya traktir saat resign di tengah kesulitan ekonomi dan kenaikan PPN 12% masih relevan?
Sulit bagi kita mencari akar penyebab membudayanya ritual traktir karyawan resign di sebuah kantor atau perusahaan. Tetapi jika boleh menduga-duga, boleh jadi semua berawal dari candaan iseng atau sindiran teman-teman sejawat yang minta momen kenangan jika tak boleh dibilang celamitan untuk minta ditraktir makan berat atau makan ringan (cemilan).Â
Sebab dari sanalah biasanya traktir-mentraktir oleh karyawan yang resign pada akhirnya dilakukan lantaran merasa ditantang, tak enak hati atau untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan orang pelit. Di tahap ini, yang selanjutnya bisa dikatakan sebagai pionir kemudian mulai menjadi kebiasaan yang ujungnya dijadikan ritual wajib bagi teman kerja lainnya yang resign.Â
Tetapi di tengah kesulitan ekonomi yang sedang mendera dan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang sebentar lagi berjalan, budaya traktir bagi pekerja resign seharusnya sudah tidak lagi relevan. Meskipun pada dasarnya dalam kondisi ekonomi stabil pun, budaya mentraktir bagi pekerja resign cenderung jadi pertanyaan bila mengingat gaji terakhir yang sudah bisa dipastikan akan digunakan oleh pekerja tersebut sebagai dana keberlanjutan pengeluaran ekonominya untuk kehidupan sehari-harinya hingga tiba saatnya mendapatkan pekerjaan baru atau penghasilan lain.
Memang jika menghitung dari harga makanan semisal makanan berat seperti nasi bakar, paket nasi ayam atau makanan berat lainnya yang berada dikisaran Rp20.000-Rp30.000 per porsi, nilainya tidak mahal. Atau jenis makanan seperti donut, pizza, martabak manis, brownies atau jenis lainnya, yang tidak lebih dari Rp100.ooo per box atau per lusin, angkanya tampak kecil. Tetapi masalahnya, kalau teman yang harus ditraktir tidak sedikit, ekonomi sedang sulit dan PPN naik, budaya traktir-mentraktir ini jadi tidak relevan lagi. Apa yang membuat budaya traktir saat resign ini jadi tidak relevan?
Ada beberapa alasan yang membuat budaya traktir saat resign tidak relevan bukan hanya karena timbulnya kesulitan ekonomi dan/atau kenaikan PPN, tetapi memang tidak relevan dengan melihat situasi dan kondisi seorang pekerja resign, yaitu antara lain:
1.  Tidak semua pekerja resign, yang mengundurkan diri dari pekerjaannya karena alasan mempunyai kesempatan atau harapan lebih baik setelah keluar dari pekerjaannya sekarang. Tidak jarang pekerja mengundurkan diri karena ingin fokus pada aktivitas lain termasuk misalnya menemani orang tua atau keluarga yang disayanginya menderita penyakit serius.
2. Bayangkan seorang pekerja yang mengundurkan diri di luar keinginannya dengan hanya membawa bekal satu bulan gaji, tanpa kepastian dihari-hari berikutnya akan memiliki penghasilan lagi, dan punya keluarga yang harus diberi nafkah.Â
3. Bukan hanya pekerja yang sudah berkeluarga, pekerja dengan status single pun bila posisinya hanya membekal dan mengandalkan gaji terakhir untuk melanjutkan kehidupannya lalu digunakan untuk mentraktir teman kerjanya, yang misalnya harus mentraktir lebih dari 30 (tiga puluhan) orang atau bahkan lebih, betapa besar biaya traktir yang harus dikeluarkan.
4. Beban poin-poin di atas masih harus jauh lebih ditanggung oleh pekerja resign saat kesulitan ekonomi sedang mengintai seperti kenaikan harga barang dan sulitnya mendapat pekerjaan.
5. Kenaikan PPN yang sebentar lagi diberlakuan tentunya akan menambah beban biaya traktir termasuk beban pengeluaran bagi semua pekerja, khususnya pekerja resign.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H