Kemendikbudristek dipecah menjadi tiga kementrian setelah terbentuk kabinet gemuk di pemerintahan baru. Ketiganya yakni Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek), serta Kementerian Kebudayaan.
Seiring dilantiknya Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, isu pergantian kurikulum pun bergulir. Selain pergantian kurikulum, terdengar pula wacana pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang akan diadakan kembali hingga penerapan rangking di sekolah. Wacana ini tentunya bukan hal baru sebab hanya mengulang dari apa yang sudah pernah direalisasikan.
UN sendiri sudah dilaksanakan sejak tahun 1950 dengan sebutan 'Ujian Penghabisan', direntang tahun-tahun berikutnya UN hanya berganti nama atau istilah. Â Pada prinsipnya, UN atau apa pun istilahnya adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan.
Kemudian pada tahun 2021 Ujian Nasional dihapus dan digantikan oleh Penilaian Nasional (PN) atau Asesmen Nasional (AS). Penilaian Nasional atau Asesmen Nasional merupakan evaluasi mutu pendidikan yang dilakukan di semua lembaga pendidikan, termasuk sekolah, madrasah, dan program kesetaraan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Evaluasi ini terbagi menjadi tiga komponen, yakni Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) meliputi; Literasi dan Numerasi, Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar.
Bila bercermin pada pelaksanaan UN dengan istilah yang berbeda mulai dari tahun 1950 hingga 2020, yang berarti sudah 70 tahun berjalan apakah selama itu UN belum menunjukkan hasil yang memuaskan sehingga harus dihentikan? Lalu jika dibanding dengan 4 (empat) tahun tanpa UN dari 2021-2024, yang digantikan oleh Penilaian Nasional (PN) atau Asesmen Nasional (AS), dan boleh dibilang baru seumur jagung sehingga hasilnya cenderung belum dapat dipastikan keberhasilan atau ketidakberhasilannya, mengapa sudah ada wacana UN akan dilaksanakan lagi?Â
Merujuk pada UU No.2/1989, yang menetapkan bahwa pendidikan nasional dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan. Sedangkan jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan.
Sementara menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan nasional Indonesia, yaitu "Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Berdasarkan pelaksanaan dua jalur pendidikan yang ditetapkan oleh UU NO.2/1989 dan tujuan pendidikan nasional Indonesia menurut UU No.20 Nomor 20 Tahun 2003, ada atau tidak adanya Ujian Nasional tidak menunjukkan sebagai proses substantif, yang salah satunya memiliki kecenderungan lebih dominan memberikan hasil akhir lebih memuaskan. Tetapi keduanya mempunyai peluang dan keharusan yang sama untuk membawa pendidik mencerdaskan bangsa.
Sehingga amanat yang diemban untuk pencapaian tujuan nasional sesungguhnya bertitik tumpu pada pengembangan dan pembentukkan watak serta peradaban yang bermartabat dalam upaya menggapai kecerdasan kehidupan bangsa.Â
Watak bermartabat yang berkembang dan terbentuk dalam kecerdasan tentunya tidak sekadar mengacu pada hasil Ujian Nasional atau Asesmen Nasional, melainkan mengambil hasil dari kemampuan peserta didik secara keseluruhan, yang meliputi keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.