Beberapa waktu yang telah berlalu pernah beredar informasi tentang sejumlah figur publik media sosial yang menyatakan pamit dari aktivitas bermedia sosial di masing-masing kanalnya. Namun baru dua atau tiga hari, sosok figur publik  tersebut sudah kembali mengunggah video terbarunya. Perilaku sosok figur publik media sosial ini mengundang berbagai komentar negatif dan sindiran dari warganet.
Sampai ada di antara sosok figur publik itu melaporkan beberapa akun yang komentarnya dinilai keterlaluan.  Pamitnya  sosok figur publik dari kegiatannya bermedia sosial tetapi kemudian melakukan kegiatannya lagi hanya dalam hitungan hari adalah fenomena cuhlep di dunia digital.Â
Sely, yang awalnya berprinsip tak ingin punya anak bila menikah tapi akhirnya memiliki bayi setelah menikah. Babe Haikal yang bilang oposisi sampai mati lalu masuk kabinet Prabowo-Gibran sebagai Kepala BPJHP. Muhaimin Iskandar yang menjawab siap untuk oposisi jika kalah tetiba menjabat Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, merupakan fakta-fakta semakin meningkatnya fenomena cuhlep di masyarakat. Lantas cuhlep ini fenomena apa?Â
Di era teknologi informasi sekarang, perilaku cuhlep mulai terpublikasi oleh orang-orang dengan terang-terangan.  Fenomena cuhlep ini bahkan dilakukan oleh para tokoh dan figur publik.  Mereka tak peduli dengan komentar negatif, sindiran dan caci maki dari warganet. Boleh jadi cuhlep yang mereka lakukan bertujuan untuk mencari sensasi, prank, menyadari kekeliruan, perbaikan diri atau bertujuan mendapatkan keuntungan dan lainnya. Â
Ada satu idiom yang terkait erat dengan fenomena cuhlep, yakni "menjilat ludah sendiri". Dalam arti sebenarnya menjilat ludah sendiri adalah suatu perbuatan yang menjijikkan. Bagaimana tidak menjijikkan apabila ludah yang sudah dibuang dari dalam mulut kemudian dijilat kembali. Sebagai sebuah idiom, menjilat ludah sendiri berarti menarik kembali apa yang sudah dibuang, menerima kembali sesuatu yang dulu pernah ditolak atau orang yang tak tahu malu. Sebuah tindakan yang membuat orang tidak melakukan sesuatu sesuai omongan awalnya.
Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata cuh memiliki arti kata seru untuk mengusir atau menggalakkan anjing. Dalam aktivitas sehari-hari, kata cuh seringkali digunakan oleh banyak orang baik disadari maupun tanpa disadari ketika melakukan aktivitas membuang air liur yang dirasa harus segera dikeluarkan dari dalam mulut.
Sedangkan kata lep merupakan sinonim dari kata caplok, santap, atau makan. Diambil dari salah satu narasi iklan kudapan berbahan dasar daging dengan slogan "tinggal lep", yang melekat terus dalam ingatan banyak orang. Fenomena cuhlep dipinjam dari idiom menjilat ludah sendiri dan diambil dari kata cuh dan lep.Â
Cuhlep dimaksudkan untuk orang yang telah membuang atau melepas suatu kata, kalimat, janji atau sumpah untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dari mulut atau ucapannya kepada seseorang, atau banyak orang di muka umum atau ruang publik tetapi kemudian ditarik atau diambil kembali (tidak dilakukan atau malah dilakukan, yang tidak sesuai dengan omongan  awalnya).
Fenomena cuhlep bukan cancel culture. Cuhlep membatalkan kata, kalimat janji atau sumpah diri sendiri. Namun fenomena cuhlep bisa berarti munculnya kesadaran diri atau perbaikan diri seseorang atas kekeliruan atau kesalahan yang dirasa tidak relevan, tidak tepat atau tidak sesuai lagi dengan kata hati, norma, nilai atau kebiasaan yang ada.
Sementara lepcuh adalah fenomena sebaliknya. Segala sesuatu yang sudah dimakan (dilep) lalu karena tidak enak, tidak suka atau sebab alasan penolakan lainnya, dibuang (dicuh). Yaitu kata, kalimat, janji atau sumpah yang diungkapkan kepada seseorang, atau banyak orang di muka umum atau ruang publik, yang telah diakui dan diperbuat dalam tindakan tetapi kemudian dibuang, dilepas, tidak lagi diakui atau tidak lagi diperbuat karena alasan tertentu.Â
Secara umum, fenomena lepcuh seringkali terjadi di dunia politik dan bisa ditemukan di dunia digital. Janji-janji para elite politik terpilih, yang cenderung dilaksanakan pada masa-masa awal menjabat saja tetapi tidak berjalan secara konsisten adalah contoh dari sekian banyak fenomena lepcuh yang terjadi dan dapat disaksikan lewat konten-konten di berbagai platform digital atau platform media sosial.  Â