Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Stigma dan Spatles: Cara Keliru Membaca Pribadi Orang

15 Oktober 2024   05:55 Diperbarui: 15 Oktober 2024   08:57 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: kompas/Jitet

Ada peribahasa mengatakan "Karena nila setitik rusak susu sebelanga", peribahasa lain mengatakan, "Panas setahun dihapus hujan satu hari". Sekali saja aib, noda atau cacat seseorang terbuka ke publik, baik tanpa sengaja, sengaja diperlihatkan oleh orang lain atau dicari-cari kemudian dipertontonkan meskipun masih dalam konteks dugaan atau bahkan fitnah (belum tentu benar), umumnya akan menjadi stigma di masyarakat luas. 

Stigma tersebut lalu melekat dan berakibat pada respons orang-orang terhadap diri seseorang yang selanjutnya disebut stigmatis (orang-orang yang terkena stigma atau korban stigma). Orang-orang ini di waktu-waktu ke depan cenderung dapat mengalami perundungan, penolakan, pembunuhan karakter hingga boikot atau cancel culture. 

Ironisnya, tidak semua korban-korban stigma adalah orang-orang yang benar-benar pernah melakukan, mempunyai atau masih melakukan aib, noda atau cacat sehingga layak diperlakukan demikian. 

Baca juga: Apa itu Spatles?

Masalahnya, orang-orang tersebut boleh jadi hanya pernah melakukan atau mempunyai aib, noda atau cacat sekali lalu sadar atau insyaf dan tidak mengulanginya lagi atau sama sekali tidak pernah melakukan atau mempunyai aib, noda atau cacat kecuali difitnah. 

Di sisi sebaliknya, ada orang sekali atau dua kali berbuat baik, menunjukkan prestasi, atau dikenal baik, cerdas, mempunyai kemampuan atau  kelebihan lainnya, baik yang terungkap secara tak sengaja, atau sengaja diperlihatkan kepada orang lain atau dibuat-buat untuk melakukan pencitraan, yang kemudian melekat padanya kebaikan, menempel padanya ciri positif pada pribadi seseorang, dan umumnya menjadi spatles di masyakat luas.

Spatles yang melekat atau menempel tersebut lalu direspons oleh banyak orang sebagai sumber prasangka baik, yang di waktu-waktu ke depan bisa mengarah pada penggiringan opini, pujian, sanjungan, pembentukan karakter idola, penerimaan, fanatisme hingga pengkultusan. 

Sehingga seperi stigma, masalahnya, orang-orang yang dispatles boleh jadi bukan orang-orang yang tepat atau layak untuk dispatles atau jangan-jangan justru malah lebih layak atau lebih tepat untuk distigma.

Stigma dan spatles inilah yang kerap membuat banyak orang keliru dalam membaca pribadi orang atau kepribadian seseorang yang sebenarnya. Terutama ketika stigma atau spatles telah banyak dibumbui oleh narasi-narasi subjektif. 

Salah satu contoh stigma yang senantiasa dinilai salah kaprah dan ada di dunia kriminal ialah seorang yang mempunyai tato atau rajah di tubuhnya, yang selalu diidentikkan dengan orang yang melekat padanya perilaku kriminal atau kejahatan. Padahal secara logika, tidak ada hubungannya antara seni gambar di tubuh dengan tindak atau perbuatan jahat yang dilakukan oleh seseorang. 

Di sisi lain, seseorang yang dispatles sebagai orang baik dengan sejumlah perilaku, yang antara lain telah melekat padanya kebaikan seperti tidak banyak bicara, murah senyum, suka menolong, suka berbagi, dihormati lantaran status di lingkungannya yang adalah seorang guru, ustad, kyai atau lainnya, atau kebaikan lainnya. 

Namun suatu ketika tiba-tiba semua kebaikan, baik sangka atau status kehormatan itu terbantahkan atau dibatalkan oleh adanya kasus kriminal pelecehan atau kekerasan seksual, narkoba hingga pembunuhan yang dilakukan olehnya. 

Kemudian setelah diselidik ternyata orang yang keliru dispatles ini mempunyai rekam jejak kriminal atau perilaku yang berpotensi melakukan tindak atau perbuatan kriminal.   

Di dunia politik, Indonesia kini tengah memasuki masa transisi pemerintahan. Sedekat yang sudah diketahui, hampir tak ada pribadi berjiwa idealisme yang awalnya selalu ditunjukkan berulang-ulang di ruang publik dalam rentang waktu tertentu, idealismenya akan menolak ketika ditawari jabatan. Sebab faktanya, banyak dari idealisme yang digaungkan tergerus oleh tawaran posisi sebuah kedudukan atau jabatan.

Di era yang serba terlihat dan tersaji di ruang digital, masyarakat dengan begitu mudah dapat menilai mana orang-orang yang setiap lima hingga sepuluh tahun sekali, melompat bak bunglon, menerapkan ilmu malih warna yang dimilikinya untuk mencari ruang aman sekaligus pemberi harapan bagi dirinya di pemerintahan baru. 

Tetapi di antara sekian banyak penilaian yang bisa secara terbuka diolah dan dikalkulasi oleh masyarakat berdasarkan apa yang terlihat dan tersaji di ruang digital, faktanya penilaian masyarakat seringkali keliru atau belum mampu menunjukkan bahwa penilaian atas pribadi orang atau kepribadian seseorang sudah sesuai dengan kenyataannya. 

Terlebih ketika diketahui, ruang digital adalah media yang memiliki cara mengalihkan proses berpikir kritis, nalar rasional, logika dan kelogisan, yang mampu membolak-balik kepercayaan atau keyakinan akan pilihan atas penilaian yang telah ditetapkan tentang baik atau buruknya perilaku, kinerja, kemampuan atau keseluruhan pribadi seseorang. 

Pertumbuhan dan perkembangan stigma dan spatles di dunia politik bersifat naik-turun karena narasi tentang baik atau buruk yang dibangun di dalamnya, dibentengi dan di-counter atau didengungkan dan digaungkan secara terus-menerus dan masif. 

Sehingga sulit untuk membedakan mana informasi yang benar mana yang palsu. Apalagi saat proses berpikir warganet dalam kondisi heuristic, berada dalam tingkat kesadaran magis atau berpikir cepat, sampai nalar rasional, logika dan kelogisan dibuat lumpuh serta membuat otak mudah terpengaruh oleh subjektivitas. Mengapa stigma dan spatles membuat otak keliru membaca pribadi orang?

Sebelum nalar kritis, daya pikir rasional, logika dan kelogisan dibuat lumpuh, sebagian besar otak manusia Indonesia telah cenderung berada dalam tingkat kesadaran magis dan kondisi heuristic serta sudah lebih dahulu dipengaruhi oleh stigma atau spatles. 

Penyebab stigma atau spatles mempunyai daya pengaruh besar, antara lain terjadi karena hal berikut ini:

1. Rekam jejak baik dan buruknya seseorang sungguh tidak diketahui secara pasti oleh banyak orang karena daftar baik dan buruk tidak dibuat dalam kartu identitas. 

Sehingga pribadi orang atau kepribadian seseorang dalam rekam jejak baik atau buruk yang telah dilabeli sebenarnya tidak mungkin bisa dibaca 100%. 

Oleh karenanya, jangankan orang lain yang tidak mengenal, teman dekat, sahabat, kerabat hingga saudara sedarah sekalipun, tidak akan mengetahui baik dan buruk pribadi seseorang secara pasti. 

2. Keburukan umumnya sangat cenderung ditutup-tutupi untuk melindungi atau menjaga nama baik. Stigma merupakan penggunaan stereotipe tipe heterostereotipe, yang justru bisa digunakan untuk situasi sebaliknya, menyerang pribadi seseorang dengan cara menstigma. 

Sementara kebaikan sangat cenderung dibuka atau diungkapkan secara autostereotipe, terutama untuk menarik simpati dan atensi masyarakat luas. Spatles, jadi salah satu cara yang tepat untuk meraih simpati dan atensi itu. 

3. Ada tendensi bahwa stigma dan spatles sengaja dibangun untuk melakukan separasi (separation), pemisahan antara orang-orang yang melakukan stigma atau spatles dan orang-orang yang distigma atau dispatles, untuk mendapatkan tujuan tertentu bagi yang melakukannya. 

Di titik ini, eksistensi kaum sebelah dengan kecenderungan logika kultus dan logika fanatisme yang digunakannya, patut dicurigai sebagai pihak yang bertanggungjawab atas stigma atau spatles yang bertumbuh dan berkembang di momen-momen tertentu. 

4. Diskriminasi yang terbentuk secara otomatis setelah pelabelan, stereotipe dan separasi oleh masing-masing kaum sebelah, menciptakan kebimbangan atau keraguan bagi tiap individu dalam upaya mengetahui kebenaran yang sesungguhnya serta menghadirkan jurang pemisah bagi kaum sebelah lainnya untuk bisa menerima kebersamaan dalam sikap netral. 

Demikianlah alasan mengapa stigma dan spatles dapat membuat sebagian besar masyarakat keliru membaca pribadi orang. Bila dahulu blusukan hingga ke gorong-gorong merupakan bentuk spatles, maka dalam demokrasi ke depan akan bergeser menjadi stigma. 

Oleh sebab itu, belajarlah untuk mulai menilai kebaikan atau keburukan orang dengan tidak menggunakan sudut pandang stigma atau spatles agar hasil penilaian objektif, logis dan netral serta tidak merugikan di kemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun