Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Nggak Usah Ribut Diaduk atau Nggak Diaduk, Bubur Itu Dimakan, Cuy!

11 Oktober 2024   15:54 Diperbarui: 11 Oktober 2024   15:55 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rekomendasi bubur di mana pun, nggak akan ada artinya kalau cuma diaduk atau diliatin alias nggak dimakan, benar kan Cuy? Jadi kita nggak usah ribut lebih enak mana bubur diaduk atau nggak diaduk, sebab kalau mau tau enaknya rasa bubur, ya dimakan buburnya, Cuy!. Gitu aja kok repot!

Judul artikel ini boleh saja disebut sebagai candaan punchline stand up comedy atau sekadar sebaris ide belaka. Tapi faktanya, dari narasi 'diaduk atau nggak diaduk', seringkali pada hal apapun ada keidentikan adanya narasi polemik yang dibangun untuk kecenderungan menciptakan ruang-ruang pencitraan terhadap suatu objek. 

Kebiasaaan melakukan pencitraan terhadap suatu objek di ruang-ruang publik melalui narasi polemik yang dibangun sepertinya perlu disikapi sebagai ancaman bagi keberlangsungan persatuan, kesatuan, keamanan, ketertiban, kenyamanan, dan kedamaian sebuah bangsa. Loh, kok dari bubur nyasar ke negara Cuy! 

Karena dari bubur kita belajar hikmah dan nilai kehidupan. Jangan sampai dalam perjalanan kita berproses untuk menjadi lebih baik, entah individu, kelompok maupun dalam konteks kebangsaan justru terjebak pada satu kiasan 'nasi telah menjadi bubur'. Yaitu sesuatu yang terjadi tidak bisa kita ubah kembali seperti sedia kala. Terlebih apa yang sudah terjadi itu hal yang buruk. 

Coba bayangkan ketika dua orang atau dua kubu penyuka bubur diaduk dan nggak diaduk berada di satu ruang saji, di mana di depan mereka sudah terhidang masing-masing semangkuk bubur ayam, lalu mereka berdebat tentang rasa bubur yang lebih enak adalah yang diaduk, dan dipihak satunya ngotot lebih enak yang nggak diaduk. Padahal dimakan pun belum.

Enak nggak enak itu soal rasa, Bung! Diaduk atau nggak diaduk itu soal selera, Non! Tetapi mereka yang nggak ngaduk bubur itu penyendiri, nggak berbaur, Bro! Bubur yang diaduk itu jorok, jember, nggak ada estetikanya, nggak bermoral, Sis! Lah, ini apa sih katanya nggak ribut. Kok ngawur. "Udah dimakan belum itu buburnya, Cuy? Kalau udah baru comment dan debat. Gitu aja kok repot!"

Begitulah konteks imajinasi yang nyatanya senantiasa kita hadapi sekarang di ruang-ruang publik, terutama ruang publik digital. Orang-orang kerap berpolemik, berdebat atau berseteru untuk mempertahankan pendapat, membela, mengungkit, mengangkat, membanggakan, fanatik hingga mengkultuskan sesuatu atau seseorang yang dipercaya, diyakini, diusung, dibela, diagungkan, dibenarsalahkan tanpa mau melihat apa pun kebaikan atau kebenaran dari sisi sebelahnya. 

Baca juga: Berpikir Sains

Polemik, perdebatan dan perseteruan yang tidak memiliki netralitas, dan cenderung tidak berkualitas sebab hanya mengedepankan logika kultus atau logika fanatisme sehingga isi narasinya kosong dan tidak substantif. Debat kusir yang selalu berakhir tanpa solusi. Mirip narasi perdebatan enak mana makan bubur diaduk atau nggak diaduk tapi buburnya belum dimakan. 

Baca juga: Berpikir Dermawan

Dari bubur kita belajar, seharusnya proses untuk menjadikan nasi kemudian ke bubur harus memiliki isi, berkualitas, bernilai gizi, memampukan daya beli, memberikan manfaaat, mencapai visi misi, dan prosesnya sudah dimulai dari pembibitan terbaik pada padinya. 

Begitu pula segala hal yang berbau polemik, debat atau perseteruan seharusnya dibangun berdasarkan potensi, kompetensi, moralitas, kualitas dengan mengedepankan logika ilmu dan logika iman sampai sanggup menciptakan solusi-solusi terbaik dan inovatif untuk bisa keluar dari permasalahan lalu bersama-sama menyambut masa depan lebih baik yang gemilang dan sejahtera.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun