Saya juga bukan pemilik akun Fufufafa, yang sedang diburu dan ingin dibongkar serta ingin diketahui siapa pemilik aslinya. Pelaku top up ke saldo gopay saya pun, pasti bukan akun Fufufafa.Â
Ah sangat tak mungkin! Mana mungkin orang yang diduga menggemakan ujaran kebencian, mencemarkan nama baik, cabul, mau berbuat baik. Jikapun mau memberi dalam konteks perbuatan tercela, mana mungkin Rp34.015 bisa dikatakan sebagai suap atau gratifikasi ke rakyat.Â
Upss! Pikiran saya mulai ngelantur. Daripada tambah ngawur saya mencoba lagi berpikir keras, menekan memori ke dasarnya, barangkali ada ingatan di sana dan memang saya yang telah melakukan top up.Â
Tapi lagi-lagi otak saya mengatakan tak mungkin. Saya tak mungkin melakukan top up dengan nominal 15 rupiah di belakangnya.Â
Dalam tanya yang masih berkecamuk dan keingintahuan istri yang coba dipendamnya, ia mengajak saya menggunakan saldo gopay itu untuk membeli es krim untuk kedua anak kami. Saya setuju.
Singkat cerita, dua gelas es krim Mixue sudah berada di hadapan kami. Kedua anak kami tampak senang. Ceria wajahnya, bibirnya senyum menyeringai dan menyeruak tawa lepas ketika suap demi suap es krim Mixue singgah di mulut mereka.Â
Seringkali bahagia itu ternyata sederhana. Namun hari itu saya juga menyadari bahwa sesederhana apa pun kebahagiaan tetap ada harga yang harus dibayar. Siapa yang telah berbagi dana ke saldo gopay saya?
Keesokan harinya dalam perjalanan kerja ke arah Jakarta, saya seperti mengingat sesuatu. Mengingat ke satu-satunya identitas yang memungkinkan saya jadikan tersangka.
Tapi dari akumulasi jejak engagement rate yang saya dapat, ingatan itu coba menepis identitas ini. Tak mungkin pikir saya berulang. Tiba di tempat kerja, fokus saya berganti sudah.Â
Siangnya, ada rezeki yang dititipkan ke saya lewat makan siang. Salah seorang atasan titip menu gado-gado lontong untuk makan siangnya. Sisa uang kembalian sebesar Rp33. 000 beralih ke saku saya.Â