Dunia politik akhir-akhir ini diselimuti perilaku olok-olok. Orang-orang yang melakukannya pun datang dari kalangan elite politik.Â
Tetapi yang tak disangka-sangka, olok-olok tersebut, yang berikutnya akan disebut sebagai roasting politik direspons dengan melakukan punchline politik (garis pukulan; bagian pukulan) oleh yang dikritik akibat suasana (set up) yang dibangun oleh para pengkritik politik dengan cara me-roasting.
Respons punchline kini seolah menjadi pionir perlawanan bagi para politisi yang tidak terima dikritik terutama dengan cara-cara yang cenderung bernuansa olok-olok (roasting)Â atau lebih tepatnya bullying.
Olok-olok atau memang lebih tepat disebut bullying di dunia politik, sudah mulai tampak sejak dunia digital mengambil alih dominasi keterlibatan interaksi aktivitas politik di seluruh dunia. Di Indonesia, perilaku me-roasting politik menjadi semakin masif seusai bergulirnya narasi politik dinasti.Â
Kritik bernuansa olok-olok tentu saja lebih sering menyasar keluarga Jokowi. Sejumlah kata, frasa, pelabelan atau julukan yang mengarah ke pemaknaan negatif yang digunakan untuk melakukan roasting pada keluarga Jokowi antara lain, klemar-klemer, plonga-plongo, belimbing sayur, samsul, nepo baby, Mulyono, bebek lumpuh dan lainnya.Â
Seiring waktu bergulir, ternyata kritik yang dibangun melalui roasting dengan menggunakan kata, frasa, pelabelan atau julukan yang mengarah ke pemaknaan negatif, telah menciptakan nuansa politik yang juga menghadirkan kebimbangan bagi para elite politik dalam mengambil keputusan atau mengeluarkan kebijakan. Â
Suatu set up politik yang dibangun oleh masyakarat terutama para pengkritik terhadap seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai keterlibatan politik melalui roasting dengan  harapan terjadi perubahan pada poin yang dikritik. Tetapi yang terjadi atas kritik-kritik bernuansa roasting ternyata ditanggapi santai atau positif bahkan cenderung menantang oleh mereka yang dikritik.Â
Kini roasting politik justru mulai direspon dengan memberikan punchline atau bagian pukulan, yang membuat para pengkritik malah merasa ditantang, dilawan, menjadi marah, tidak terima hingga sakit hati meskipun diantara punchline politik yang dilakukan sesuai dengan roasting yang dilontarkan.Â
Di mana salahnya ketika misalnya Gibran justru melakukan punchline dengan menggunakan kata samsul yang tertera di belakang jaket warna biru dengan logo Naruto saat segmen kedua debat keempat Pilpres 2024 waktu di-roasting lewat julukan samsul (merujuk asam sulfat setelah salah sebut asam folat).Â
Punchline politik berikutnya dilemparkan oleh putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang saat mendampingi calon Bupati dan calon Wakil Bupati Kabupaten Tangerang Zulkarnain-Lerru Yustira, yang kabarnya sekarang telah mendapatkan nomor urut 3 (tiga) di Pilkada 2024.
Bentuk punchline politik atas set up yang sebelumnya telah banyak dinarasikan, disampaikan dan dibangun oleh para pengkritik dalam rangka mengkritik cara-cara berpolitik Jokowi melalui roasting nama lahir Jokowi, yakni Mulyono, di punchline oleh Kaesang dengan menggunakan rompi hitam bertulisan Putra Mulyono dengan gambar siluet tubuh Jokowi. Bukankah itu yang diinginkan para pengkritik? Pengakuan logis bahwa Kaesang dan Gibran adalah benar putra Mulyono atau Jokowi. Mengapa harus marah?
Barangkali bagi para pengkritik, punchline yang dilakukan oleh Gibran dan Kaesang sungguh memberikan pukulan yang berakibat mendalam. Sakit tak tapi berdarah. Seperti judul lagu yang sempat hit dan dipopulerkan oleh Cita Citata "Sakitnya tuh di sini" (sambil mengarahkan tangan ke bagian dada). Roasting dibalas punchline yang logis, di mana salahnya?
Roasting politik adalah mengolok-olok seorang atau sekelompok orang yang terlibat dan berkelindan dengan dunia politik, terutama elite politik. Tetapi roasting politik berbeda dengan roasting di dunia stand up comedy. Di dunia politik, roasting dilakukan dengan sembarangan, seenaknya dan berisiko hukum. Sebab roasting politik tidak melalui proses kesepakatan seperti di stand up comedy sehingga sangat berpotensi ada yang sakit hati.
Momen kritik lainnya yang tak kalah menghebohkan adalah ketika Kaesang pada akhirnya melemparkan punchline tentang private jet ke publik, yang lagi-lagi dinilai menantang, dianggap songong, membuat marah dan sakit hati masyarakat. Terutama tentunya bagi masyarakat yang mengkritik hingga berupaya membongkar berita privet jet tersebut sebagai gratifikasi dan berkeinginan putra bungsu Jokowi ini tersandung kasus hukum.Â
Namun meskipun Kaesang telah datang ke KPK dan memberikan klarifikasi bahwa kepergiannya ke Amerika Serikat dengan menebeng pesawat jet pribadi milik temannya, Â masyarakat pengkritik cenderung antipati dan tidak percaya. Alih-alih melakukan redam kebisingan atas emosional para pengkritik, pada suatu momen kampanye ia justru melemparkan punchline private jet.
Kaesang mengatakan kepada kader-kadernyanya, bagi yang semangat memenangkan pasangan calon Ridwan Kamil (RK) dan Suswono yang mendapatkan nomor urut pilkada 1 (satu) di dapil Jakarta, akan diberi hadiah yang sangat menarik, sangat mahal, sangat mewah. Dia akan memberikan private jet, bukan sepeda. Punchline ini meskipun tersirat hanya sebuah candaan bagi kader-kadernya, bagi para pengkritik harusnya dinilai sebagai tantangan, bukan direspon dengan kemarahan atau sakit hati.
Tantangan untuk dapat membuktikan dugaan atas apa yang dituduhkan, membuktikan bahwa perjalanan Kaesang bersama keluarga ke Amerika Serikat dengan jet pribadi adalah gratifikasi bukan nebeng, bisa? Bukankah kasus fufufafa saja yang tampak lebih bisa dipastikan belum mampu dibuktikan. Malah yang berusaha membuktikan dengan mengatakan 99,9% akun fufufafa identik milik Gibran justru dilaporkan atas pencemaran nama baik.
Pelaporan terkait roasting bernarasi fufufafa, yang cenderung menggunakan logika kultus belum bisa digolongkan sebagai punchline. Selain tidak memberikan pukulan yang berefek sakit hati dan tidak bersifat menantang para pengkritik, pelaporan atas pencemaran nama baik malah dianggap lucu sebab terdapat informasi keliru yang disebut sebagai lambang negara dan terkait yang seharusnya melapor adalah pihak yang dirugikan.    Â
Barangkali pada akhirnya, publik menjadi bertanya-tanya mengapa pihak yang dikritik tidak melakukan punchline pada roasting yang menggemakan narasi fufufafa seperti punchline yang dilakukan pada roasting dengan narasi samsul, Mulyono dan privet jet. Bukankah masyarakat pengkritik telah banyak memberikan tantangan terkait roasting bernarasi fufufafa, seperti tantangan memakai baju, kaos, rompi atau jaket bertuliskan "adik fufufafa"? Mengapa untuk kasus fufufafa pihak yang dikritik tidak berani melakukan punchline?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H