Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kaum Sebelah, 'Tone Deaf' dan 'Overly Sensitive' di Media Sosial

4 September 2024   07:14 Diperbarui: 4 September 2024   13:05 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Flexing berbuntut bullying kerap terjadi di dunia maya. Beberapa kasus flexing bahkan berlanjut ke KPK hingga berujung bui. Tapi kali ini gaung yang mencuat lebih dahulu adalah narasi "tone deaf" usai adanya flexing dari seorang tokoh populer di media sosial. Apa itu tone deaf?

Tone deaf atau tuli nada berasal dari istilah musik. Frasa yang kemudian digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tidak peka atau tidak acuh terhadap pendapat, kondisi, peristiwa, perasaan atau preferensi publik. Terutama ketika mereka melakukan aksi, tindakan atau ucapan yang mengganggu banyak orang.

Ketidakpekaan alias tone deaf ini rupanya ditujukan untuk menilai status media sosial istri Kaesang, Erina Gudono, yang dianggap tidak peka terhadap kondisi dan situasi yang tengah berkembang di masyarakat ketika memposting perjalanannya ke Amerika Serikat dengan memperlihatkan naik pesawat yang diduga private jet, makan roti seharga Rp400 ribu dan membeli stroller atau kereta bayi berharga puluhan juta.

Perilaku tone deaf di media sosial boleh dibilang sudah umum terjadi, bedanya ketika itu dilakukan oleh tokoh populer atau figur publik, dampaknya bias kemana-mana. Termasuk ke perkara perundungan yang tidak mempunyai korelasi sama sekali terhadap kondisi yang dianggap tone deaf

Coba bayangkan betapa saktinya netizen +62 saat topik yang seharusnya dibahas adalah perihal perilaku ketidakpekaan tentang dugaan pamer kemewahan terhadap kondisi masyarakat yang tengah berjuang mengawal konstitusi, tiba-tiba beralih ke bau badan alias bau ketiak seseorang yang notabene hanya bisa dicium atau diketahui melalui indera penciuman di dunia nyata. Teknologi apa coba, yang bisa mencium aroma dari jarak jauh?  

“Ya Allah lagi hamil gede, dikata-katain mba Erina. Perkara roti Rp400 ribu. Mbak Erina ini keluarga kaya loh dari orok. Masalahnya simple, orang miskin tapi nyalahin pemerintah,” tulis Diviayu Catur Wulandari. Demikian pembelaan Finalis Putri Sultra 2018 untuk Erina. Apakah reaksi pembelaan untuk Erina termasuk tone deaf?

Boleh jadi netizen menilai reaksi pembelaan atas perilaku tone deaf sama saja dengan tone deaf itu sendiri. Namun di ruang-ruang digital, ketika suatu perilaku yang bahkan sepele atau negatif sekalipun, bisa direaksi dalam satu circle yang sama, menunjukkan bahwa ada cara berpikir dengan kecenderungan membentuk konformitas kelompok di media sosial. 

Sebab di luar perilaku tone deaf atau ketidakpekaan, juga terdapat perilaku highly sensitive person (HSP) atau secara negatif disebut overly sensitive. Yaitu istilah yang digunakan untuk menggambarkan seorang individu yang sensitif atau sangat peka terhadap sistem saraf pusat terhadap rangsangan fisik, emosional, atau sosial. HSP menunjukan seseorang yang memiliki tingkat kepekaan yang tinggi atau bisa dikatakan terlalu peka. 

Dalam konteks interaksi sosial digital, HSP ini tentu sangat peka terhadap rangsangan emosional atau sosial yang tersaji di ruang-ruang digital. Kepekaannya terhadap pendapat, kondisi, peristiwa, perasaan atau preferensi publik di berbagai platform digital dan platform media sosial lebih tepat disebut sebagai perilaku overly sensitive.

Sederhananya, overly sensitive yang dimaksud di dunia digital merupakan individu sensitif atau sangat peka terhadap berita, informasi, pendapat, kondisi, peristiwa atau preferensi publik sehingga senantiasa bereaksi atau merespon baik dengan ucapan maupun tindakan atau aksi di media sosial. Reaksi atau respon yang diungkapkan tentu saja condong untuk menguatkan atau berdiri untuk bertahan membela satu sisi.     

Baca juga: Asingo'

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun