Pada Kamis, 1 Agustus 2024 malam dalam sebuah acara "Zikir dan Doa Kebangsaan 79 Tahun Indonesia Merdeka" di Istana Negara, Jakarta, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyampaikan permintaan maaf kepada masyarat.
"Bapak/Ibu sekalian, Saudara-Saudara sebangsa dan se-Tanah Air, dalam kesempatan yang baik ini, di hari pertama bulan kemerdekaan, Agustus, dengan segenap kesungguhan dan kerendahan hati, izinkanlah saya dan Profesor Kiai Haji Ma'ruf Amin, ingin memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas segala salah dan khilaf selama ini, khususnya selama kami berdua menjalankan amanah sebagai Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia," kata Jokowi.
“Kami sangat menyadari bahwa sebagai manusia, kami tidak mungkin dapat menyenangkan semua pihak. kami juga tidak mungkin dapat memenuhi harapan semua pihak. Saya tidak sempurna, saya manusia biasa. Kesempurnaan hanya milik Allah, kerajaan langit dan bumi serta apa pun yang ada di dalamnya. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,” lanjut Jokowi.
Beraneka macam respon atau tanggapan datang dari para politisi dan masyarakat. Ada yang menyebut permintaan Jokowi sebagai sifat bijak, tidak perlu dihiraukan terlalu serius atau jauh karena sudah terlambat, mendukung, bentuk pertanggungjawaban moral, baik, basa-basi dan berbagai respon atau tanggapan lainnya.
Pada bagian pernyataan maaf yang disebutkan oleh Jokowi bahwa kami tidak dapat menyenangkan dan memenuhi harapan semua pihak, yang tentunya ditangkap sebagai permohonan maaf dalam perspektif global. Sehingga ungkapan permintaan maaf Jokowi tidak disampaikan sebagai permohonan maaf pada pihak yang tidak mendapatkan kesenangan atau pemenuhan harapan secara poin per poin. Sebab konteks acaranya memang bukan dalam rangka pertanggungjawaban. Tetapi apakah dalam konteks acara tersebut masyarakat memaafkan?
Seperti apa yang diungkap oleh Jokowi tentang kesadarannya bahwa sebagai manusia tidak dapat menyenangkan dan memenuhi harapan semua pihak, maka tentu akan seperti itu pula jawaban pihak-pihak yang tidak dapat dibuat senang atau dipenuhi harapannya, bahwa tidak semua dari mereka akan memaafkan lalu melupakan atau memaafkan tapi untuk bagian-bagian tertentu tak akan melupakan.
Dalam konteks cara berpikir bodo amat, sejumlah masyarakat lainnya menganggap permintaan maaf Presiden Jokowi pada acara itu tidak penting atau bukan prioritas, yang apabila ditarik ke dalam polling pertanyaan "Jokowi minta maaf ke masyarakat Indonesia, dimaafkan?" dengan jawaban, a. dimaafkan, b. tidak dimaafkan dan c. tidak tahu/tidak mau menjawab, maka bagi orang-orang yang menjawab c, masuk ke kategori orang-orang yang berpikir bodo amat.
Tapi kenyataannya, pertanyaan "Jokowi minta maaf ke masyarakat Indonesia, dimaafkan?" memang merupakan pertanyaan sebuah polling yang diadakan oleh kumparan.com dengan pilihan 2 jawaban saja, yaitu "dimaafkan" atau "tidak", yang hasilnya menunjukkan 30.86% memilih "dimaafkan" dan 69.14% memilih "tidak" dari 2317 pemilih. Artinya, polling meniadakan orang-orang yang berpikir bodo amat. Apakah berpikir bodo amat ditujukan untuk menjawab permintaan maaf seseorang?
Jawabannya; tentu saja tidak.
Merujuk pada sebuah seni untuk bersikap bodo amat ala Mark Manson, yang pada intinya adalah panggilan untuk menyadari kekuatan dalam memilih apa yang benar-benar penting dalam hidup dan mengabaikan hal-hal yang tidak perlu. Maka berpikir bodo amat adalah menempatkan akalbudi untuk mempertimbangkan dan memutuskan segala sesuatu hanya untuk yang perlu, penting atau prioritas saja di luar dari makna egois atau mementingkan diri sendiri.