"Rezeki itu sebenarnya ada dimana-mana tanpa kita sadari. Namun, pemikiran sering menyangkal dan akhirnya cuan pun melayang. Mulai ubah pemikiran agar cuan datang dan menambah rezeki anda" -klinikmaucuan-
Apakah mungkin kita hidup tanpa smartphone? Jawaban untuk pertanyaan berikut seharusnya hanya ada dua pilihan sederhana. Yaitu jawaban mungkin atau tidak mungkin. Tetapi tentu saja jawaban apa pun yang dipilih antara kedua pilihan mesti dijelaskan dengan alasan berikut fakta dan datanya.
Kehadiran smartphone dengan dukungan sistem operasi dan teknologi informasi berbasis internet telah mengubah cara manusia dalam melakukan berbagai interaksi sosial digital. Sebagian besar pengguna smartphone terutama yang masuk dalam kategori generasi topping sejak pandemi Covid-19 adalah orang-orang yang 'berpikir cuan'. Dengan kata lain, ngonten dengan tujuan utama untuk meraih cuan.
Maka bagi generasi topping, hidup tanpa smartphone bukan saja tidak mungkin tetapi berarti menutup pintu surganya dan membuka jalan menuju 'kiamat'. Dunia digital dengan segala fasilitas media informasinya, sedekat ini telah membuka celah seluas-luas dan sebebas-bebasnya peluang cuan bagi banyak orang.Â
Cuan yang dimaksud di dunia digital meliputi berbagai keuntungan finansial yang bermula dari informasi tentang monetisasi dari segala bentuk aplikasi game atau beraneka fitur aplikasi, platform digital dan platform media sosial lainnya. Keuntungan finansial juga bisa lebih cepat dan berlimpah dihasilkan oleh para pedagang atau pebisnis online yang memanfaatkan aplikasi, platform digital atau platform media sosial.
Selain keuntungan finansial secara langsung berupa nominal uang, baik berupa uang kontan maupun uang digital yang lebih dulu terakumulasi lewat pengumpulan poin, koin, voucher, komisi atau lainnya, cuan juga bisa berupa keuntungan atau keberhasilan berbentuk status sosial digital profesional atau popularitas seperti terbentuknya sosok kreator konten menjadi selebgram, sebebX, selebTikTok, youtuber, influencer, story teller atau profesi digital lainnya, yang berimbas pada peraihan keuntungan ekonomi.Â
Raihan keuntungan finansial atau pencapaian status sosial digital profesional atau popularitas di dunia digital, dari beberapa fakta yang ada cenderung jauh lebih mudah dan lebih cepat dibanding ketika berupaya untuk meraihnya di dunia offline. Mengapa kecenderungan itu bisa terjadi? Apa penyebabnya?
Sebelumnya, yang perlu diketahui adalah bahwa sebagian besar orang yang kini mulai turut berinteraksi sosial di dunia digital tidak sekadar memanfaatkan smartphone sebagai hiburan semata atau menggunakannya hanya untuk alat berkomunikasi, melainkan sudah bertransformasi untuk tujuan cuan dan cuan atau selalu 'berpikir cuan'.Â
Pikiran cuan pulalah yang membuat segala cara dan strategi digunakan dalam setiap konten yang dibuat dan diunggah ataupun dalam melakukan interaksi sosial digital. Tak peduli cara dan strateginya mengandung unsur yang bertentangan dengan norma kebaikan, moral, etika, adat istiadat, nilai sosial yang luhur, agama, hak orang lain maupun hukum yang berlaku, "yang penting cuan".
Oleh karena itu apa pun dilakukan demi mengejar viral dan mendapatkan akumulasi tertinggi dari keterlibatan audiens (engagement rate)Â yang ujungnya akan meningkatkan jumlah viewer, follower, subscriber, click, like, tap love, comment atau lainnya dan akan memberikan dampak bagus terhadap penentuan verifikasi akun, validasi akun hingga centang biru akun. Sebab ketika seorang kreator konten sudah berhasil mendapatkan centang biru maka kesempatan meraih cuan berupa uang atau status sosial profesional digital semakin dekat.Â
Di dunia digital, akumulasi penilaian tidak berproses dalam garis linier, sehingga perolehan angka didasarkan atas data kuantitatif, bukan kualitatif. Maka konten apa pun yang meraih fase headline, trending, fyp atau lebih umum disebut fase viral akan memiliki peluang jauh lebih cepat meraih cuan.Â
Di titik itulah konten-konten atau komunikasi yang terjadi dalam interaksi sosial digital tak peduli adab, kesopanan, norma kebaikan, etika, adat istiadat, nilai sosial yang luhur, agama, hak orang lain maupun hukum yang berlaku. Demi viral dan akhirnya cuan, konten atau komunikasi yang berisi kontroversi, provokasi, sensasi, hal sepele, hoaks, ujaran kebencian dan SARA serta konten atau komunikasi negatif lainnya justru terus bertumbuh dan berkembang.
Berpikir cuan sejatinya datang dari niat dan tujuan baik untuk mendapatkan penghasilan finansial guna membantu perekonomian diri dan/atau keluarga, memperbaiki keadaan ekonomi dan status sosial diri dan/atau keluarga. Terlebih untuk yang bertujuan lebih mulia jika berhasil meraihnya, yaitu hendak membantu perekonomian sesama manusia. Atas dasar niat dan tujuan baik inilah orang akan berupaya meraih tujuannya dengan cara dan strategi positif.Â
Namun karena minimnya aturan dan pengawasan serta sistem aplikasi, platform digital atau platform media soosial yang tidak mampu memilah untuk memberikan penilaian hanya dari sisi mutu atau kualitas konten maupun komunikasi dalam interaksi digital, akumulasi keterlibatan audiens (engagement rate) dengan segenap turunannya seperti jumlah viewer, follower, subscriber, click, like, tap love, comment atau lainnya, yang malah ditentukan oleh sisi kuantitas justru melahirkan kompetisi tak sehat, tak cerdas dan sangat berpotensi mengubah niat dan tujuan berpikir cuan.
Di benak banyak orang sekarang, mereka tidak akan lagi berfokus pada cara dan strategi positif ketika berupaya meraih cuan di dunia digital. Ketika orang lain melakukannya, menggunakan cara dan strategi curang, bohong atau menentang adab, kesopanan, norma kebaikan, etika, adat istiadat, nilai sosial yang luhur, agama, hak orang lain maupun hukum yang berlaku, lalu faktanya cuan bisa mengalir ke orang tersebut, makacara dan strategi itu cenderung diikuti.
Di dunia digital, kini setiap orang tidak hanya bersaing oleh yang tak kasat mata atau tak terlihat seperti yang kerap dinarasikan oleh Prof. Rhenald Kasali pada banyak konten yang diunggahnya di channel YouTube, melainkan juga bersaing dengan kriminal-kriminal digital yang sulit dijerat secara hukum.
Melalui tulisan 'berpikir cuan' penulis berharap ada regulasi, sistem, aturan atau apa pun itu yang dapat membatasi ruang-ruang digital untuk tidak lagi mengutamakan akumulasi penilaian hanya berdasarkan kuantitas tetapi seharusnya berdasarkan mutu atau kualitas.Â
Mari 'berpikir cuan' dengan niat dan tujuan positif serta dilakukan melalui cara dan strategi positif dengan membuat konten-konten positif dan komunikasi positif dalam setiap interaksi sosial di dunia digital!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H