Jika suatu waktu Anda mengunjungi museum dan di dalam museum terpajang benda-benda pusaka atau berbagai benda purbakala warisan budaya, yang tak sekadar memiliki nilai materi, melainkan juga nilai sejarah, apa yang terlintas di benak Anda ketika melihatnya?Â
Estetika, bahan dan proses pembuatan, nilai seni dan histori dalam setiap benda-benda pusaka yang terpajang di museum tentunya membuat setiap orang yang melihatnya kagum, takjub, terpesona, dan bisa mengembalikan memori ke masa silam, mengingatkan otak pada zaman kerajaan atau perjuangan para tokoh dan pahlawan serta berbagai macam pikiran lainnya.Â
Tetapi ada satu pikiran yang mungkin tidak pernah terlintas di benak siapa pun ketika mengunjungi museum. Pikiran tentang nilai jual dari benda-benda pusaka itu yang pasti berharga sangat mahal. Kemudian berpikir tentang kemudahan akses, bagaimana menembus sistem keamanan museum dan cara mengambil benda-benda pusaka di dalamnya tanpa terlacak, untuk dimiliki secara pribadi atau dijual demi keuntungan finansial. Iya. Tepat! Inilah yang disebut 'berpikir kriminal'.Â
Dari sekian banyak pikiran yang ada di benak manusia, berpikir kriminal merupakan cara menggunakan akal budi sebagai alat dalam mempertimbangkan dan memutuskan suatu perbuatan yang akan berlawanan dengan norma kebaikan, keamanan, ketentraman, kedamaian dan hukum yang berlaku. Pertanyaannya, mengapa manusia bisa berpikir kriminal?Â
Pada salah satu program acara berita kriminal televisi swasta RCTI di tahun 2009-an, ada sesi kemunculan satu sosok pembawa acara yang selalu memberi pesan dari balik jeruji besi. Sosok laki-laki bertopeng putih yang menutupi setengah wajah, dengan bagian kepala yang senantiasa dibalut potongan kain sejenis masker buff.Â
Sosok yang kemudian dikenal dengan sebutan "Bang Napi" dan lewat jargon "kejahatan tidak terjadi karena ada niat pelakunya tapi juga karena ada kesempatan, waspadalah! waspadalah!", berpesan sekaligus memberikan pemahaman bahwa kejahatan atau kriminal bisa terjadi karena ada niat atau ada kesempatan. Lalu untuk mengetahui mengapa niat atau kesempatan itu selanjutnya direalisasikan adalah karena adanya motif. Di titik inilah 'berpikir kriminal' dapat tumbuh dan berkembang di benak manusia.
Di sekira tahun 2020, di siang yang terik ketika sedang bersibuk diri dalam work form home (WFH) di depan layar monitor laptop di ruang tengah rumah, tetiba ada informasi bahwa motor keponakan saya, yang diparkir di depan halaman rumah hilang tanpa jejak. Motor berjenis vario 125 berwarna hitam itu dinyatakan dicuri orang. Berdasarkan rekam jejak pencurian kendaraan bermotor di lingkungan tempat tinggal saya, yang ternyata cukup sering terjadi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pencurian motor didasari oleh adanya niat.Â
Namun, setelah saya menerima informasi lebih lengkap terkait hilangnya motor tersebut, faktanya untuk kasus yang satu ini bisa disimpulkan bahwa pencurian yang terjadi adalah karena adanya kesempatan. Pasalnya saat motor diparkir, keponakan saya lupa mencabut kunci motor yang masih tergantung di kontaknya. Sehingga bagi orang yang awalnya tidak berniat untuk mencuri sekalipun, bisa tergoda dan berubah pikiran. Sementara motifnya, tentu saja hanya dapat menduga-duga karena pencurinya tidak pernah tertangkap. Â Â
Berpikir kriminal cenderung akan direalisasikan oleh orang-orang yang mempunyai motif kuat untuk melakukannya. Yakni motif yang mendorong para pelaku kriminal merealisasikan pikiran kriminalnya, yang antara lain terdiri dari kebutuhan ekonomi, balas dendam, sakit hati, ingin punya uang untuk foya-foya atau bersenang-senang, gangguan mental atau mempunyai kelainan jiwa dan motif lainnya. Â
Sehubungan dengan kriminal di museum, ada satu kasus perampokan museum yang pernah menghebohkan Indonesia, yang berangkat dari motif kebutuhan ekonomi dan kecenderungan latar belakang rasa sakit hati dan kecewa terhadap negara serta cara yang sama oleh pelakunya ketika ikut membantu dalam mencari dana revolusi, yang juga dilakukan dengan merampok. Satu peristiwa perampokan di Museum Nasional atau Museum Gajah yang menghebohkan bangsa Indonesia, dan terjadi pada 31 Mei 1961. Dilakukan oleh Kusni Kasdut bersama temannya, Herman, Budi dan Sumali.Â
"Di bawah terik matahari Jakarta yang sedang dimabuk revolusi, Kusni terseok-seok dari Harmoni sampai ke Merdeka Barat, dan melihat orang banyak di depan gedung yang ada patung gajahnya. Ia membaca: museum, dan iseng ikut masuk sekedar melepaskan lelah, pikirnya."Â
"Ia melihat-lihat arca-arca tanpa minat sedikit pun. Tapi ketika sampai Ruang Pusaka, darahnya bergerak dan kegairahan meliputinya. Sekeliling dinding, di pajangan terletak harta yang tak ternilai harganya; pedang, keris, cincin, bros, gelang, kalung, semuanya dari emas, berlian, atau permata," cerita Parakitri T. Simbolon dalam buku Kusni Kasdut (1979).
Pikiran Kusni Kasdut saat mengunjungi museum adalah bagian jelas dari cara berpikir kriminal, yang membedakan dengan pikiran orang-orang lainnya yang mengunjungi museum. Â Bagi Kusni museum yang lebih dikenal sebagai Museum Gajah itu menyimpan kekayaan yang tak sedikit. Bahkan, tak ternilai harganya. Kusni Kasdut mengetahui hal itu karena dirinya telah lama melakukan riset terkait isi museum. Semua benda pusaka yang terbuat dari emas, berlian, hingga permata menggiurkannya. Rencana perampokan itu dimatangkan olehnya.
Aksi perampokan itu lalu dimulai dari sebuah rumah di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Strategi yang dibuat adalah mencoba menyamar sebagai polisi. Demi mendukung aksinya, Kusni dan teman-temannya menyiapkan sebuah jeep curian dengan plat nomor yang dipalsukan. Intinya, rencana perampokan sesudah melalui proses berpikir kriminal, berhasil membawa 11 permata atau berlian dan melarikan diri dengan meninggalkan satu korban tewas.Â
Berpikir kriminal bukan konsep berpikir yang dianjurkan atau direkomendasikan untuk menggunakan akal budi sebagai alat untuk mempertimbangkan dan memutuskan melakukan perbuatan jahat yang akan direalisasikan, bahkan seharusnya tidak dilakukan. Sebab pada dasarnya perbuatan kriminal bertentangan dengan norma kebaikan, moral, agama dan hukum yang berlaku sehingga jangankan direalisasikan, masih berada dalam pikiran saja, berpikir kriminal wajib segera dimusnahkan. Adakah cara membebaskan orang-orang dari berpikir kriminal?
Ranah berpikir kriminal adalah perihal yang tidak dapat dibaca apalagi diketahui karena ada pada masing-masing benak setiap orang. Tetapi penyebab dan gejala berpikir kriminal sampai akhirnya terealisasi pada perbuatan kriminal dapat diprediksi dan dilihat lewat kondisi emosional, psikologis, mental, sosial dan ekonomi setiap orang.Â
Dalam konteks ilmu kriminologi ada istilah kriminogen, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu "krima" berarti kejahatan, dan "genes" berarti asal atau penyebab. Jadi, secara harfiah, "kriminogen" merujuk pada sesuatu yang menjadi penyebab atau pemicu kejahatan.Â
Istilah kriminogen juga bisa ditujukan bagi orang-orang yang mempunyai dominasi gen kriminal lebih kuat dalam tubuhnya (asumsi ini masih perlu kajian lebih dalam lewat ilmu biologi tentang genom). Tapi orang yang di dalam tubuhnya terdapat gen kriminal (kriminogen) akan jauh lebih mudah terpengaruh untuk merealisasikan perbuatan kriminal ketika ada pemicunya.
Maka cara untuk membebaskan setiap orang dari berpikir kriminal sehingga dapat mencegah ke tindakan kriminal adalah melalui individu masing-masing setiap orang, yaitu dengan menonaktifkan gen kriminalnya, menjauhi dan memusnahkan segenap pemicu kriminal dari benaknya, menguatkan iman dan takwanya (religiositas), menjaga emosionalnya, memperkuat psikologis dan mentalnya, dan berupaya memperbaiki sosial dan ekonominya.Â
Tapi dibutuhkan pula peran keluarga, lingkungan dan pemerintah dalam mendukung semua itu. Termasuk di dalamnya jaminan keamanan, hukum, interaksi sosial yang baik, pertumbuhan ekonomi  dan ketersediaan lapangan kerja.  Â
Sebagai ganjaran bagi mereka yang mampu mengubur atau memusnahkan berpikir kriminal sehingga realisasi perbuatan kriminalnya menjadi batal, Rasulullah SAW bersabda, Jika seseorang ingin melakukan keburukan, tapi dia tidak jadi melakukannya, maka Allah mencatat baginya satu kebaikan yang sempurna (HR Bukhari Muslim). Semoga kita semua termasuk orang-orang yang mampu membatalkan apa pun berpikir kriminal yang sempat singgah di benak.Â
Â
Referensi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H