Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Patsos Digital: Membedah Bahaya 'Baberdos' di Era Generasi Topping

7 Agustus 2024   06:25 Diperbarui: 8 Agustus 2024   09:33 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: By Justin Tallis/AFP/KOMPAS.ID

Inggris Raya atau Britania Raya tengah diterpa kerusuhan yang menyebar luas usai terjadi peristiwa penikaman yang menewaskan tiga anak gadis berusia 6 hingga 9 tahun dan melukai 10 orang lainnya di sebuah kelas tari bertema Taylor Swift, di wilayah Southport, Senin (29/7/2024). 

Berdasarkan informasi dari berbagai portal berita daring, kerusuhan dipicu oleh misinformasi atau boleh dikatakan sebagai informasi hoaks. Sebab pelaku yang tidak disebutkan identitasnya lantaran masih di bawah umur, untuk beberapa waktu tetap disebut anonim. 

Tapi rupanya anonimitas itu yang kemudian dikaitkan dengan imigran beragama Islam sehingga kelompok sayap kanan anti Islam atau penentang Islam dikabarkan menyebar berita palsu dengan mengaitkan bahwa pelaku merupakan imigran Islam yang datang ke Inggris dengan perahu dan sebagian yang lain mengedarkan berita bahwa pelaku merupakan terorisme. 

Peristiwa semacam, yang diawali oleh adanya kejadian kriminal dengan korban jiwa atau luka dan kemudian menyebar luas di platform digital atau platform media sosial adalah bagian dari patologi sosial atau penyakit sosial yang seharusnya dapat dicegah dengan penanganan cepat di ranah offline oleh otoritas hukum yang berwenang. 

Sebab kasus-kasus misinformasi atau hoaks, yang bersentuhan dengan gejala sosial religius memiliki tingkat sensitivitas jauh lebih tinggi dibanding kasus-kasus patologi sosial atau penyakit sosial lainnya bila tidak segera ditangani. Apa itu patologi sosial? 

Menurut Kartini Kartono, patologi sosial adalah semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin kebaikan dan hukum formal. 

Patologi sosial adalah ilmu tentang gejala-gejala sosial yang dianggap “sakit” yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial atau ilmu tentang penyakit sosial masyarakat. Selama ini apa yang disebut sebagai penyakit sosial masyarakat merupakan sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan norma hukum yang berlaku, adat-istiadat, kebiasaan dan norma agama. 

Penyakit sosial yang tumbuh dan berkembang di masyarakat antara lain, penyalahgunaan narkoba atau narkotika, miras, prostitusi, pornografi, pelecehan, perkosaan, tawuran, perjudian, pencurian, perampokan hingga pembunuhan serta masalah yang terkait dengan gejala sosial religius seperti penyalahgunaan sumbangan, sedekah atau donasi, fanatisme agama dan intoleransi agama. 

Namun seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi, patologi sosial atau lebih sederhana akan diakronimkan sebagai patsos, ketika kemudian berkorelasi dengan dunia digital, mengalami transformasi bentuk perilaku dari para pelakunya. 

Salah satu transformasi perilaku dari para pelaku patsos atau penyakit sosial di masyarakat di era digital adalah berbangga diri atas aktivitas patsos atau penyakit sosial yang dilakukannya. Yakni dengan tanpa ragu dan rasa bersalah melakukan update status di platform digital dan platform media sosial walaupun aktivitas itu bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin kebaikan dan hukum formal.

Eksistensi ruang-ruang peniruan atau ruang imitasi ajaib (magical mirroring chamber) di dunia digital, membuat perilaku berbangga diri atas aktivitas patsos (baca : bangga berbuat dosa atau baberdos) yang diunggah dalam bentuk konten ke platform digital atau media sosial tanpa adanya pencegahan bahkan tanpa penolakan, yang tidak mendapat take down atau blokiran, seolah melegalkan perbuatan tersebut sebagai perilaku yang wajar, tidak melanggar apa pun dan membiarkan perilaku baberdos (bangga berbuat dosa) menular ke benak orang-orang untuk ditiru. Apakah perilaku baberdos bisa menjadi tumbuh kembang patsos (patologi sosial) digital yang menimbulkan bahaya? 

Bertumbuhnya perilaku berbohong di dunia digital juga menjadi persoalan lain yang cenderung melahirkan berita atau informasi hoaks di ruang digital, dan membuat generasi topping akan dikenal sebagai generasi manipulatif, serta menimbulkan satu jenis patsos atau penyakit sosial baru yang sulit untuk diobati. 

Lebih parah lagi, saat karakteristik manipulatif digunakan untuk membuat konten pengakuan bangga berbuat dosa alias baberdos. Perilaku bohong yang justru digunakan untuk mengolok-olok atau menantang norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin kebaikan dan hukum formal

Untuk lebih memahami perilaku baberdos pada sejumlah konten yang beredar di media sosial, baberdos dapat diidentifikasi melalui pengakuan pesan audio-video oleh pelakunya, baik secara langsung maupun terselubung dalam cerita atau wawancara di ruang digital.

Lebih ekstrem, baberdos terdeteksi lewat unggahan dalam bentuk konten prerecord streaming maupun live streaming yang berisi aktivitas patsos atau penyakit sosial berupa penyalahgunaan narkoba, miras, prostitusi, pornografi, pelecehan, perkosaan, tawuran, perjudian, pencurian, perampokan hingga pembunuhan serta masalah yang terkait dengan gejala sosial religius seperti penyalahgunaan sumbangan, sedekah atau donasi, fanatisme agama dan intoleransi agama--yang sengaja diunggah oleh pelakunya. 

Salah satu konten baberdos yang seringkali muncul adalah konten berisi pengakuan kebanggaan melakukan perbuatan hubungan badan (seks) di luar nikah oleh sejumlah konten kreator, bintang tamu atau para pesohor. 

Pengakuan perbuatan yang melanggar norma, nilai, agama, moral, hukum formal dalam konteks pengakuan pesan audio-video langsung maupun terselubung dalam cerita atau wawancara di konten-konten podcast atau talk show, selanjutnya identik dengan ruang stensil, yang mempertontonkan betapa bangganya klaim pelaku atas aktivitas yang mengarah pada prostitusi, seks bebas atau pornografi.

Ironisnya, di tengah ancaman bahaya narkolema (pornografi) seiring dengan bermunculannya ruang stensil yang telah menyasar generasi muda (anak dan remaja) bahkan bangsa Indonesia telah disebut-sebut sedang menghadapi darurat pornografi dan kekerasan seksual terhadap anak, pemerintah justru terindikasi memberikan kebebasan bagi anak dan/atau remaja untuk memilih melakukan seks asal tidak hamil atau tidak terkena penyakit menular kelamin lewat keberadaan pasal penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 tahun 2024 tentang Kesehatan yang memantik polemik, khususnya pada pasal 103 Ayat (4) butir “e”.  

Bahaya narkolema (pornografi) merupakan satu dari sekian banyak dampak yang bisa ditimbulkan oleh aktivitas patsos di ruang digital dalam konteks baberdos. 

Aktivitas barbedos lainnya yang tampak mengemuka di ruang digital antara lain konten pelaku konsumsi miras, pemakai narkoba dan tawuran, yang juga teridentifikasi secara terselubung sebagai bentuk unjuk kekuatan melalui konten prerecord streaming maupun live streaming. 

Paling ekstrem adalah baberdos dalam konteks praktik aktivitas patsos lewat konten prerecord streaming atau live streaming  yang berisi tindak kekerasan, penyiksaan hingga pembunuhan dengan cara sadis dan brutal untuk tujuan unjuk kekuatan, kekuasaan, menebar teror ketakutan dan ancaman. Apa dampak bahaya yang dapat ditimbulkan oleh perilaku baberdos?

Dampak bahaya yang bisa timbul akibat pembiaran perilaku baberdos adalah perseteruan atau kebisingan dalam interaksi sosial digital, bertumbuhnya sikap arogansi yang lalu bertransformasi menjadi sikap asingo, mewajarkan patsos atau penyakit sosial sebagai sesuatu yang tidak harus ditangani, membuat perilaku baberdos ditiru dalam praktik nyata, mengganda bagai virus, menyebar luas dan kembali diunggah ke media sosial. Begitu seterusnya seumpama efek bola salju yang semakin lama kian membesar dan terus melaju serta sanggup menghancurkan apa pun yang ada di depannya.              

Oleh karenanya sebelum dampak buruk itu terjadi, patsos (patologi sosial) digital menjadi wawasan atau pengetahuan sosial yang wajib diketahui dan diajarkan untuk diwaspadai agar gerasi muda, khususnya anak dan remaja sebagai generasi penerus bangsa tidak ikut terjerumus ke dalamnya. 

Pembelajaran tentang patsos dan dampak buruknya serta perilaku baberdos yang menyertainya, harus diperoleh anak dan remaja mulai dari ranah keluarga dalam konteks generasi topping melalui media sosial keluarga, sekolah sebagai jalur pendidikan resmi dan peran serta pemerintah dalam memberantas patsos digital   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun