Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berpikir Profesor

2 Agustus 2024   11:19 Diperbarui: 2 Agustus 2024   11:34 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikutip dari Alinnea.id, guru besar ilmu politik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan "menyalahkan" kultur di masyarakat sebagai salah satu faktor yang menyebabkan maraknya perburuan gelar guru besar yang melanggar aturan. 

Masyarakat Indonesia, kata Cecep berkarakter simbolik. Artinya, publik lebih menghargai simbol ketimbang substansi. Itulah kenapa gelar profesor diburu kalangan pejabat dan politikus. Gelar itu menyimbolkan kepakaran. “Orientasinya hanya pada gelar. Kadang-kadang enggak dilihat juga kualitas yang punya gelarnya,” kata Cecep saat dihubungi Alinea.id, Senin (8/9).

Beranjak dari karakter simbolik masyarakat Indonesia, maka yang perlu dibenahi bahkan dihapuskan ialah karakter simbolik yang telah telanjur melekat dan menjadi kultur masyakarat. Supaya penilaian masyarakat terhadap simbol kuasa, profesi, popularitas, kepakaran, gelar, jabatan dan lainnya bisa berubah menjadi objektif berdasar substansi, kualitas dan prestasi. Bagaimana caranya?

Di era teknologi informasi digital yang tersaji dan disajikan secara terbuka serta terang-terangan, perilaku masyarakat kini telah mulai menunjukkan perkembangan positif dalam menggerus kultur karakter simbolik dengan melakukan kritik, pembantahan, konfrontasi, perlawanan atau menyangkal dengan logis pada simbol-simbol kuasa, profesi, popularitas, kepakaran, gelar, jabatan atau simbol apa pun yang dinilai tidak mempunyai kualitas apalagi prestasi yang berkesesuaian tanpa bisa membuktikan validitas atas simbol-simbol itu.

Tetapi barangkali, selain kultur karakter simbolik, di benak sebagian besar masyarakat sesungguhnya telah tertanam pikiran bahwa profesor adalah seseorang yang menemukan teori, konsep, program, software, rumus, metode, formula, rancangan atau ciptaan berupa produk atau inovasi terbaru, yang mempunyai manfaat berkualitas bagi kebaikan umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Baik temuan berupa theoretical discovery maupun practical discovery

Oleh karena itu, untuk menjadi profesor atau guru besar seharusnya bukan sesuatu yang mudah diraih. Seorang profesor atau guru besar juga harus mampu membuktikan hasil penemuan dan keilmuannya dalam setiap pemberian sesi kuliah atau pengajaran, pengabdian pada masyarakat, penelitian, dan bertanggung jawab penuh atas ilmu yang telah disebarkannya. Mengapa bukan pikiran masyarakat tentang profesor atau guru besar sebagai penemu saja yang dijadikan patokan dasar alur kerangka berpikir untuk pemberian jabatan akademik tertinggi? 

Dengan berpatokan pada paparan alur kerangka berpikir bahwa profesor atau guru besar adalah seorang penemu, maka eksistensi gelar profesor atau guru besar, selain wajib memenuhi semua persyaratan dan kriteria di atas tadi, wajib pula menemukan keilmuan baru, pengetahuan baru, teknologi baru, produk atau inovasi baru, baik berupa teori maupun praktik. Sehingga seorang dosen yang dikukuhkan sebagai profesor atau guru besar bukan sekadar mampu memenuhi prosesnya, tetapi juga mempunyai hasil akhir yang bermanfaat bagi dunia pendidikan khususnya dan masyarakat pada umumnya. 

Bahkan lewat kerangka berpikir bahwa profesor atau guru besar adalah penemu, juga dapat menafikan para pejabat publik, pesohor, politikus bahkan dosen yang sedang berburu gelar (jabatan) profesor atau guru besar, yang tidak mampu memenuhi proses persyaratannya, hanya akan disebut sebagai profesor atau guru besar abal-abal, imitasi, replika, kehormatan atau apa pun sebutan penyertanya, yang tidak mempunyai dampak prestise di masyakarat, dunia pendidikan serta jenjang jabatan. 

Sebab kerangka berpikir itu akan memberikan pemahaman pada para pemangku satuan pendidikan perguruan tinggi yang memegang kewenangan pengesahan gelar (jabatan tertinggi) di ruang lingkup pendidikan tinggi, dosen sebagai kandidat penerima jabatan tertinggi, mahasiswa dan masyarakat sebagai penerima manfaat keilmuwan dari jabatan serta penemuan dan keilmuwan yang bisa dipertanggungjawabkan atas jabatan keprofesorannya, serta hasil temuannya yang terverifikasi, tervalidasi dan bermanfaat. Maka Pemahaman yang dimaksud dan seharusnya dibangun adalah dengan berpikir profesor. Apa itu berpikir profesor? 

Bagi para pemangku satuan pendidikan perguruan tinggi dan pemegang kewenangan pengesahan jabatan tinggi, cara beripikir profesor adalah berupaya menyempurnakan proses pemenuhan syarat dan kriteria pencapaian jabatan di jenjang tertinggi dosen sesuai dengan alur yang benar, dan menerima pengajuan temuan dan mengesahkan temuan tersebut sebagai verifikasi atau validasi untuk mengeluarkan jabatan tertinggi akademik profesor.  

Bagi dosen cara berpikir profesor adalah dengan membiasakan diri produktif dalam mengajar, menunjukkan bentuk pengabdian pada masyarakat, melakukan penelitian dan berupaya memenuhi persyaratan dan kriteria kenaikan jenjang jabatan sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku serta dilakukan dengan cara yang jujur, baik dan benar serta berupaya sekeras mungkin untuk menemukan keilmuan baru, pengetahuan baru, teknologi baru, produk atau inovasi baru, baik berupa teori maupun praktik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun