Fenomena yang dimaksud sama persis seperti ketika video porno atau blue film era pita kaset VHS atau Betamax masih sulit diakses tapi ada kemudahan mendapatkan buku-buku cerita stensil sebagai penggantinya. Sehingga dampak buruk akibat pornografi tidak mampu diminimalisasi secara maksimal karena dari sisi lainnya masih memberikan kontribusi terhadap dampak buruk pornografi. Begitupun yang terjadi kini di dunia digital.  Â
Ruang-ruang stensil yang dimunculkan oleh kreator konten biasanya dikemas dalam bentuk konten video running text cerita stensil, story telling, podcast, talkshow, cerita anak dengan menyelipkan adegan tak pantas atau semacamnya, yang dinarasikan sebagai konten edukasi tetapi dengan bahasa komunikasi, wajah, tubuh dan interaksi keterlibatan orang-orang di dalamnya, yang  menunjukkan dan/atau menampilkan unsur erotisme, pornografi, sensualitas atau obrolan cabul, baik yang diungkap secara vulgar maupun dengan gaya metafora, yang dengannya menjadi ruang alternatif atas kebutuhan hasrat, libido dan nafsu manusia dalam upaya mencari tahu dan menuntaskan rasa penasaran bagi penonton atau penikmatnya usai video porno sukar diakses.Â
Namun yang perlu diketahui dan barangkali tidak atau belum disadari adalah bahwa ruang-ruang stensil pada akhirnya mempunyai daya rusak yang sama terhadap otak penonton atau penikmatnya ketika sajian cerita stensil yang ditontonnya tersebut terakumulasi menjadi sebuah ketergantungan (adiktif) hingga hasrat, libido atau nafsunya membentuk gairah yang kuat atau birahi yang harus segera dipenuhi atau dilampiaskan secara nyata.Â
Di titik itulah kerusakan otak kelak dapat terbukti ketika pemenuhan atau pelampiasannya dilakukan dengan cara yang salah, di tempat yang tidak benar, tidak sah, melanggar etika, moral, norma, agama, nilai dan aturan hukum yang berlaku. Tetapi apakah ruang stensil bukan konten edukasi seks? Mengapa pula disebut sebagai sinyal bahaya narkolema?Â
Dengan mengadopsi istilah stensil di era 70 sampai 90-an, yang mengacu pada karya-karya tulisan bergenre novel romansa dengan mengusung tema erotisme, pornografi, sensualitas atau segala hal yang beraroma cabul, tema stensil hidup kembali di ruang-ruang digital lewat konten-konten bernuansa stensil. Hal tersebut dapat disaksikan pada akun-akun yang membuat konten-konten bertema stensilan. Â Â Â Â
Konten-konten bertema stensil identik dengan konten berjudul erotis, porno, sensual atau cabul. Misal konten dengan judul 'Wanita Pencari Sperma', 'Wanita Ini Jadikan Driver Ojol sebagai Pemuas nafsu', 'Keluar di Dalem', 'Main Sama Temen Suami', 'Salah Sasaran Malah Main dengan Adik dan Kakak Istriku', 'Suami Loyo Cro*tt dengan Gigolo' dan judul lain, yang beberapa di antaranya menggunakan judul clickbait.Â
Salah satu tipe clickbait yang disajikan adalah menggunakan foto atau gambar wanita cantik atau lelaki tampan padahal wanita cantik atau lelaki tampan tersebut bukan korban dan/atau pelaku yang dimaksud dalam objek atau subjek konten stensil yang diposting.Â
Selain dari judul, perbedaan yang tampak jelas antara konten edukasi seks dan konten stensil antara lain ialah materi konten, sumber dan/ atau narasumber, pilihan kata, diksi atau kalimat dan metode penyampaian dalam interaksi komunikasi yang terjadi, konteks bahasan, bahasa wajah dan tubuh pembawa acara dan/atau narasumber, serta dampak atau manfaat yang bisa ditimbulkan oleh konten. Perbedaan antara konten edukasi seks dan konten stensil dapat dipaparkan sebagai berikut:Â
1. Materi Konten
- Materi konten edukasi seks mengacu pada data ilmiah, berdasar hasil riset atau penelitian, berkorelasi dengan dunia medis dan ilmu pengetahuan tentang seputar pertumbuhan dan perkembangan genital dan organ tubuh, kesehatan reproduksi, penyakit menular, kehamilan, kontrasepsi dan berbagai pencegahan terkait penularan penyakit kelamin, bentuk pelecehan, kekerasan seksual dan perkosaan, perilaku seks tidak aman dan/atau menyimpang, pernikahan usia muda, informasi seks yang tidak aman serta seks bebas atau di luar nikah.
- Materi konten stensil mengacu pada pengakuan, cerita, kisah nyata atau peristiwa tindak kriminal seputar dunia seks atau aktivitas seksual yang dialami oleh pelaku dan/atau korban berdasarkan rangkaian kronologis kejadian. Mulai dari pengungkapan biodata pelaku dan/atau korban hingga ke detail-detailnya. Juga bisa mengacu pada saksi atas pengakuan, kisah nyata atau peristiwa tindak kriminal seputar dunia seks atau aktivitas seks dengan mengutip berita atau konten orang lain. Â
2. Sumber dan/atau Narasumber
- Sumber dan/atau narasumber konten edukasi seks tentu saja buku-buku teks, jurnal, hasil riset atau penelitian, data dan orang yang memiliki kompetensi seperti dokter, penyuluh edukasi seks dan kesehatan organ seks, praktisi atau pakar edukasi seks dan kesehatan organ seks, para pendidikan atau pengajar yang telah memiliki bekal pengetahuan seputar materi edukasi seks dan kesehatan organ seks, dan orang-orang yang memiliki wawasan serta jam terbang seputar materi edukasi seks dan kesehatan organ seks.Â
- Sumber dan/atau narasumber konten stensil umumnya adalah pengalaman pelaku dan/atau korban, dan teman, kerabat, saudara atau saksi yang mewakili pelaku dan/atau korban yang mengalami suatu peristiwa atau tindak kriminal seputar dunia seks atau aktivitas seks.
3. Pilihan Kata, Diksi atau Kalimat dan Metode Penyampaian
- Pilihan kata, diksi atau kalimat konten edukasi seks berasal dari kumpulan data, riset atau penelitian, bahasa ilmiah, medis, intelektual, istilah-istilah terkait organ seks dan reproduksi, yang biasanya disampaikan secara santai, serius, formal atau melalui metode penyampaian yang systematic.Â
- Pilihan kata, diksi atau kalimat konten stensil cenderung disampaikan dan diterima dengan nada yang membangkitan gairah, memberi pengaruh pada rasa penasaran atau keingintahuan praktiknya, rasa dan sensasinya, fantasinya, mengundang birahi, dan tentu saja bernada porno atau cabul sehingga metode penyampaiannya sangat cenderung heuristic. Â