Namun pada perkembangannya 7 (tujuh) tahun jelang tahun ke 8 (delapan) tahun kemudian, kasus Vina Cirebon (Vina-Eky) cenderung akan mengalami extra time hukum berkaitan dengan fakta peristiwa hukum yang akan berlanjut terkait penangkapan seorang DPO dari 3 (tiga) orang DPO dari hasil putusan. Meskipun sebenarnya, proses banding dan kasasi sudah termasuk kategori extra time hukum, dan extra time hukum, pada kasus Vina Cirebon (Vina-Eky) kabarnya sudah terjadi extra time sampai ke tahap kasasi bahkan permohonan grasi di 2019.
Seiring penangkapan seorang DPO dari 3 (tiga) DPO setelah tujuh tahun lalu baru tertangkap sekarang, lalu dianggap memiliki kejanggalan oleh banyak kalangan, maka extra time hukum yang cenderung akan berjalan adalah proses peristiwa hukum pengajuan Praperadilan dan proses peristiwa hukum Peninjauan Kembali (PK) yang awalnya didapat dari pengakuan salah satu terpidana yang telah bebas dari menjalani masa tahanan dan mengatakan dirinya tidak bersalah atas kasus Vina Cirebon (Vina-Eky) kemudian bermunculan pengakuan yang sama dari para terpidana lainnya lewat kuasa hukum.Â
Maka bila proses peristiwa hukum yang terjadi atas kasus Vina Cirebon (Vina-Eky) dikaitkan pada fakta peristiwa hukum lainnya, banyak kalangan mengaitkannya dengan peristiwa hukum yang terjadi pada tahun 1974, ketika Sengkon dan Karta diputus bersalah atas perampokan yang berujung pembunuhan terhadap seorang pemilik toko dan istrinya. Dikasus ini kaitannya dengan kasus Vina Cirebon (Vina-Eky) adalah hendak menyamakan kecenderungan sebagai kasus salah tangkap.Â
Lalu sedikit lainnya mengaitkan kasus Vina Cirebon (Vina-Eky) dengan kasus Ferdy Sambo, yang hendak mengarahkan kesamaan kasus sebagai kasus yang di dalamnya ada kemungkinan terjadinya rekayasa peristiwa hukum hingga mengorbankan orang yang tidak bersalah menerima akibat atas perbuatan hukum yang tidak pernah dilakukan. Kecenderungan persamaan kasus itu terkuak setelah kemunculan banyak kesaksian yang bertolak belakang dengan fakta persidangan bahkan beberapa diantaranya mencabut Berita Acara Perkara (BAP) di 2016 silam.
Berdasarkan analisis itulah extra time hukum yang dimaksud adalah pelaksanaan proses hukum lanjutan setelah proses hukum diawal menghasilkan putusan yang dianggap tidak berkesesuaian dengan peristiwa hukum yang diyakini oleh terdakwa atau tidak memenuhi rasa keadilan terdakwa. Pelaksanaan proses hukum lanjutan yang masuk dalam kategori extra time adalah banding, kasasi, Peninjaun Kembali (PK) atau Praperadilan yang berasal dari kasus yang sudah diputus inkracht.
Di sisi lain, peristiwa hukum yang tak kalah ramai mencuat di ruang digital adalah putusan Mahkamah Agung tentang syarat batas usia pencalonan kepala daerah lewat amar putusan terhadap gugatan yang dilayangkan Partai Garuda. Perintah MA itu tertuang dalam Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 pada Rabu, (29/5). MA meminta perubahan pada Pasal 4 ayat 1 huruf d dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Sehingga isi putusannya membuat sulit bagi sejumlah besar publik untuk tidak mengaitkan putusan MA tersebut terhadap pelolosan syarat Kaesang Pangarep di pemilihan pilkada Jakarta ketika menghubungkannya dengan peristiwa hukum yang menghasilkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 90 terhadap pelolosan Gibran Rakabuming di pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang lalu. Sampai istilah MK dan MA di dunia digital dinarasikan sebagai Mahkamah Kakak dan Mahkamah Adik.
Menariknya, kedua peristiwa hukum itu justru terjadi menjelang bahkan disebut-sebut saat akan atau sedang berlangsungnya pilpres dan pilkada. Sehingga sulit kembali bagi sebagian besar publik untuk tidak mengatakan bahwa kedua peristiwa hukum tersebut cenderung bagian dari modifikasi hukum untuk menyesuaikan dan menguntungkan pihak tertentu di waktu injury time.Â
Secara harfiah, injury time dapat diartikan sebagai "waktu cedera". Maka dalam konteks hukum, injury time yang di maksud merupakan waktu-waktu krusial untuk mendapatkan keuntungan atau kesesuaian kepentingan pihak tertentu yang digunakan untuk membuat, mengubah atau memodifikasi aturan hukum, yang dengannya menjadikan hukum asalnya dibuat tergangggu atau mengalami cedera hingga tak berdaya untuk mengajukan pembatalan terhadap putusan hukum terbaru yang menggantikan aturan hukum asalnya.
Referensi